Langsung ke konten utama

Postingan

Bukan Tidak Sayang atau Tidak Peduli

Kemarin, selepas pulang kerja seperti biasa aku ikut menumpang seperempat jalan dengan salah seorang atasan di tempat kerja. Cara ini dilakukan demi menemani atasan ku yang sering pulang lebih lambat dari karyawan lain, juga demi terbebas dari berlama-lama menunggu angkutan umum yang luar biasa macet di jalan Ciroyom. Sudah beberapa bulan belakangan aku sering ikut beliau, jadi teman ngobrol beliau juga kalo lagi di perjalanan. Ngobrol sama emak-emak ya gitulah, segala di jadikan bahasan. Kadangkala hal remeh dan ga penting tapi malah bisa jadi panjang banget ga selesai-selesai. Cuma, kemarin topik yang di bahas bikin aku jadi kepikiran juga ternyata. Akhirnya kebawa-bawa sampe ke kamar kosan, berlanjut pula jadi tema over thinking aku semalam menjelang tidur. Bukan hal yang sensitif sih, hanya barangkali apa yang di ceritakan agak relate juga sama diriku di masa lalu. Karenanya, aku dibikin seolah sedang menoleh ke belakang, mengorek kisah di masa-masa remaja. "Kasian yah si bos...

Dear, pojok jeda

Lama tidak meninggalkan jejak disini, dan lama juga rasanya sejak terakhir kali menulis sebuah catatan. Ah, barangkali sementara yang lalu aku demikian larut dalam antrean sibuk tak berkesudahan. Hingga sering lupa menepi, padahal aku butuh sejenak rehat dan kembali menyuarakan isi hati. Ah,aku... Kemanakah diriku kemarin? Apakah bahagia dan baik-baik saja? Tentu saja aku bahagia. Walaupun yaa, tidak selalu dalam keadaan baik. Tetapi bagaimana pun, tidak baik-baik adalah nikmat yang patut disyukuri. Apalagi di tengah kekacauan wabah sekarang ini. Tanpa aku jabarkan pun semua orang di muka bumi tau; betapa sulit, menyedihkan, dan penuh ketakutan dalam menjalani hari-hari. Bahkan, seperti tak heran lagi bila berita duka menghiasi sarapan pagi. Cepat dan di luar dugaan, satu demi satu berpulang dengan cara yang hampir serupa. Iya... sebab pandemi yang tak kunjung menemui titik henti. Terjebak dalam aturan pembatasan aktifitas berlevel-level dan tak tahu kapan selesai, adalah sebuah pen...

Yang Sabar, Tidak Akan Pernah Merugi

  Hidup ini adalah perjalanan menghadapi ujian tak berujung. Barangkali iya, aku bukanlah seseorang yang hebat dalam memecahkan masalah. Tidak mampu menemukan solusi dari persoalan yang dihadapi dalam waktu singkat. Sadarnya, aku seorang yang kerap tenggelam lebih dulu di lautan kekecewaan dan ketakutan. Sebelum pada akhirnya mencoba bangkit dan mulai menata apa yang semestinya dilakukan. Memang benar, hidup ini bukan soal siapa cepat atau lambat. Sebab kapasitas setiap orang berbeda. Perihal menghadapi ujian: boleh jadi ada yang bisa mengerahkan pikiran, perasaan dan energi dalam waktu bersamaan, tetapi tidak sedikit pula yang bahkan payah sekadar memusatkan pikiran. Membuat yang rumit menjadi lebih rumit.  Tidak salah, caranya saja yang berbeda. Maka dari itu, pada diriku aku berupaya tidak banyak menyalahkan.  "Kalo kita sabar, pasti ada aja jalan dikasih sama Allah"  Kalimat itu lagi-lagi membuatku menitikkan air mata. Iya, salah satu kalimat pamungkas yang tidak...

Kenapa Belum Menikah?

Beberapa waktu lalu, aku tergelitik miris oleh pertanyaan ibu-ibu di sebuah acara syukuran. Hmm, apalagi kalo bukan soal; kapan menikah atau kenapa belum menikah? Kayaknya, ini udah jadi pertanyaan wajib para ibu ketika bertemu perempuan lajang seusiaku deh. Huh, dasar ibu-ibu.  Lalu, entah kenapa aku terpikir untuk membahasnya di blog kali ini. Pengen aja gitu menulis kembali sesuatu yang berbau nikah-nikahan. Walaupun barangkali nanti isinya lebih menjurus kepada curahan hatiku saja. Iya... tak apalah, itung-itung meluapkan uneg-uneg. Syukur-syukur bikin hati jadi plong. Sebenarnya udah nggak kaget lagi sama mulut latahnya para ibu yang senang nanyain hal sensitif. Suka nggak pake mikir nanya-nanya tuh, main ceplos-ceplos tanpa melihat kondisi orang yang ditanya. Sebel juga sih kalo keseringan. Tapi mau apa dikata, ngadepin ibu-ibu gituloh. Jurus paling aman menghadapinya sementara ini; yaa... diam saja sembari senyum meringis.  Kalo mau jujur-jujuran, mana ada orang yang me...

Berdamai Dengan Kenyataan

"Fir, kamu suka ngerasa gini ga? Kalo sehabis bicara banyak sama orang, badan tuh rasanya capek banget. Lemes, seolah-olah kehabisan energi gitu. Kenapa ya?". Tanya temanku, saat aku baru saja hendak berbaring. Aku terdiam sejenak. Mendengarnya otakku berusaha menelaah kondisi. Apakah pertanyaan itu semacam kode bahwa obrolan kami sudah mulai membosankan ataukah pertanyaan serius yang menuntut adanya sebuah jawaban. "Hemm, mungkin karena kita orangnya memang jarang banget ngobrol sih. Bukan tipe orang yang sedikit-sedikit buka mulut. Kayak hemat suara gitu. Nggak terbiasa bicara panjang lebar. Jadi wajarlah kalo sampai merasa secapek itu". Jawabku sederhana. "Iya, benar ya". Ujarnya sembari mengangguk tanda setuju. Lalu merebahkan kepalanya di kasur dengan mata menatap langit-langit kamar. Seperti sedang merenungkan sesuatu, spontan membuatku ikut terbenam dalam lamunan pula. Aku sadar: panjang memang diskusi kami sampai mulut lelah berkata-kata. Walau...

Alhamdulillah, masih banyak orang baik

Rasa syukur tak berhenti aku utarakan kepada Allah yang sudah selalu melindungiku dimanapun berada. Dengan perantara orang lain yang bahkan tidak aku kenali, juga dengan cara-cara yang tidak aku sangka-sangka. Mahabaik Allah, tidak ada penjagaan terbaik selain penjagaan Allah. Ucapan terimakasih pula berulang kali aku sampaikan dari jauh kepada seorang Bapak berpeci putih yang tempo hari dengan tulus mau menolong anak rantau sepertiku. Pastilah aku orang asing baginya, namun naluri kebaikan itu telah menggerakkan hatinya melakukan perbuatan yang mungkin bukan apa-apa baginya, tapi sangat berarti bagiku.  Hari itu ialah hari yang cukup menyesakkan dada. Bayangan rumah, kedua orang tua, adik-adik dan juga Bumi; si kucing manja kesayangan masih berputar-putar di depan mata. Seperti belum bisa menerima jika kemarinnya aku sudah membulatkan tekad untuk melangkah pergi meninggalkan kehangatan bersama keluarga. Kembali ke rantau, demi melanjutkan segala asa yang sempat tertunda berbulan-b...

Hai kamar kosan! Setelah ditinggal 9 bulan

Dulu, niat awal pulang nggak bakal lama-lama amat. Rencana sekitar satu minggu doang, lagian dapet cuti ya memang nggak bisa lebih dari seminggu sih. Pada saat kondisi covid19 di Indonesia belum terlalu menghebohkan. Kebetulan kantorku sudah mulai menerapkan WFH, beruntung saat mengajukan cuti langsung di- acc .  Pulang karena permintaan Ombai, yang saat itu masuk rumah sakit. Seperti alur yang sudah tersusun rapi. Tadinya, pingin pulang jenguk Ombai cuma masih bingung jadi apa nggak. Juga kabarnya kondisi Ombai mulai membaik, bikin dilema gitu selama seminggu. Tapi, di minggu ketiga Ombai dirawat orang tua ngabarin kondisinya tiba-tiba drop. Tanpa keraguan, tanpa pikir panjang. Bissmillah , aku mutusin pulang dengan mengaplikasikan protokol kesehatan, udah lebay gitu lah selama dijalan. Pake masker lapis dua, sarung tangan plastik, handsanitizer kaga lepas. Pas sampe di Palembang juga, masuk rumah lewat pintu samping, langsung masuk kamar mandi. Semua barang-barang di cuci. Wak...