"Fir, kamu suka ngerasa gini ga? Kalo sehabis bicara banyak sama orang, badan tuh rasanya capek banget. Lemes, seolah-olah kehabisan energi gitu. Kenapa ya?". Tanya temanku, saat aku baru saja hendak berbaring.
Aku terdiam sejenak. Mendengarnya otakku berusaha menelaah kondisi. Apakah pertanyaan itu semacam kode bahwa obrolan kami sudah mulai membosankan ataukah pertanyaan serius yang menuntut adanya sebuah jawaban.
"Hemm, mungkin karena kita orangnya memang jarang banget ngobrol sih. Bukan tipe orang yang sedikit-sedikit buka mulut. Kayak hemat suara gitu. Nggak terbiasa bicara panjang lebar. Jadi wajarlah kalo sampai merasa secapek itu". Jawabku sederhana.
"Iya, benar ya". Ujarnya sembari mengangguk tanda setuju. Lalu merebahkan kepalanya di kasur dengan mata menatap langit-langit kamar. Seperti sedang merenungkan sesuatu, spontan membuatku ikut terbenam dalam lamunan pula.
Aku sadar: panjang memang diskusi kami sampai mulut lelah berkata-kata. Walaupun yang tersampaikan barangkali hanya sedikit bagian dari permukaan saja, belum semua, tidak merata, tidak sampai ke akar-akarnya.
Namun bagaimana juga dialog kami hari itu cukup berkesan. Ada banyak hal positif yang bisa dipetik.
Sudah sepuluh jam aku ditemani seorang teman lama. Sebuah pertemuan yang dirancang sejak seminggu lalu. Entah karena alasan merindu satu sama lain atau sebab sama-sama sedang membutuhkan seseorang untuk menampung cerita. Panjang waktu pertemuan kami sungguh meleset dari dugaan. Iya, hari itu kami banyak sekali bicara. Mengupas berbagai peristiwa yang pernah terjadi sepanjang perjalanan takdir.
Kebetulannya kami berdua adalah sesama introvert. Orang-orang yang merasa nyaman dalam sepi, orang-orang pendiam, orang-orang kurang pergaulan. Wah pasti sering ada yang membayangkan: "Duh, kalo sesama pendiam ketemu gimana ya? Hmm...nggak gimana-gimana".
Menghibur, melegakan dan menyenangkan. Masing-masing kami bisa saling bertukar cerita yang kadangkali memiliki kesamaan. Jadi, layaknya mentransfer apa yang ada di dalam kepala dan di dalam hati ke wadah yang tepat. Seluruh topik yang dibahas terasa nyambung dan menjadi asyik dibicarakan.
Pertemuan kali ini topik bahasannya berat-berat semua. Seumur gini kalo ketemu teman kayaknya memang diharuskan bahas yang berat-berat deh. Entah kenapa aku merasa akhir-akhir ini selalu begitu, benar-benar sudah naik level.
Seputar diri dengan segala problematika, seputar kehidupan rumah tangga, seputar kondisi iman, seputar pencapaian, seputar ahh banyak sekali. Ketemu teman sama dengan siap-siap menguras banyak energi.
Seperti halnya hari ini. Ada satu topik berat yang menyita banyak waktu saat kami bahas, agak ngeri-ngeri sedab juga sih. Ialah mengenai sesuatu yang berkaitan dengan self healing. Apa itu self healing? Self healing adalah upaya menyembuhkan diri sendiri.
Lha kenapa bikin ngeri-ngeri sedap untuk dibahas?
Soalnya... mau tidak mau masing-masing dari kami perlu sedikit menurunkan gengsi. Harus rela menyibak bagian-bagian yang tersembunyi dan tidak terungkap soal diri selama ini. Mengulas masa lalu, segala trauma dan luka batin yang pernah dialami.
Sebelumnya, aku boleh dong menyebut diri sebagai wanita tangguh?
Bolehlah...
Ini sih terlepas dari bagaimana cara orang lain di luar sana menilai ya. Yang jelas, aku sendiri merasa aku adalah orang yang piawai dalam memagari rahasia kehidupan pribadi. Tidak menggantung harapan agar dikasihani publik adalah sikap yang menunjukkan betul bahwa aku orang yang tangguh, bukan?
Aku pikir sih begitu. Tadi, sebelum akhirnya aku malah tertampar oleh kata tangguh itu sendiri.
Merasa tangguh saat diri sebenarnya tidak setangguh itu ternyata sikap yang tidak selalu benar. Di beberapa kondisi, menerima bahwa diri sendiri adalah makhluk yang lemah justru menjadi sebuah keputusan bijak dan menyelamatkan.
Seperti yang dialami seorang teman yang tengah bersamaku.
Jujur, aku dan si teman ini memang telah menjalin ikatan pertemanan sejak lama. Tapi, lamanya hubungan tidak menjamin masing-masing dari kami mengetahui seluk beluk kehidupan pribadi.
Bahkan aku baru saja mendengar kisah tentangnya mengenai; bagaimana ia melakoni peran rumit di tengah lingkungan keluarga yang sudah lama tidak kondusif, termasuk soal pola pengasuhan. Sempat aku terpukul menatap matanya yang berkaca-kaca kala mendeskripsikan kejadian demi kejadian pahit bertabur luka. Semua kenangan buruk itu begitu terekam baik di dalam ingatan, hingga terasa mustahil jika sampai terhapus.
Aku melihat dampak dari tidak adanya harmonisasi dalam lingkup keluarga itulah yang telah membentuknya tumbuh sebagai pribadi se-tertutup ini. Memutuskan berusaha tangguh sendirian, diam dan bersembunyi memeluk diri sendiri. Padahal luka itu ada dan nyata, menganga dan pedih namun ia terus menepisnya. Tidak sekali-kali berontak, hanya memendam dalam-dalam. Katanya semua dilakukan agar beroleh ketenangan. Namun alih-alih menenangkan. Keputusan untuk berpura-pura tangguh malah menjadi boomerang baginya.
Belakangan ia mengalami depresi berat. Merasa kehabisan cara untuk menanggung seluruh sakit di hati. Bahkan tidak lagi bisa berpikir jernih untuk menetapkan mana yang benar atau salah dilakukan.
Demikianlah dampak buruk yang terjadi.
Dan, aku paham sulit menemukan solusi terbaik dalam situasi begini, kecuali melibatkan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan.
Sebab, aku pun pernah mengalami depresi. Puncaknya adalah sebuah kejadian di beberapa bulan lalu. Entah tengah kerasukan apa. Dalam sadar aku mengatakan; di usia sekarang ini sewajarnya untukku bertindak penuh kedewasaan. Tetapi apa yang terjadi justru berkebalikan. Dimana aku kehilangan kendali diri, berada di fase sefutur-futurnya diri; sebobrok-bobroknya diri. Hanya untuk sebuah alasan sepele, namun siapa sangka itu cukup membuatku berlaku di luar waras.
Kendati mungkin pada saat itu banyak hal dalam hidupku berubah secara tiba-tiba, sehingga kapasitas diri juga dipaksa mengikuti segala perubahan. Jelas, aku sedang tidak baik-baik, tidak mumpuni menanggung kesulitan-kesulitanku sendirian. Namun merasa hebat dan tangguh membuatku keras kepala bersembunyi di balik topeng berbeda.
Melihat ke belakang, aku juga punya lika-liku hidup yang tidak biasa. Terserah jika orang lain menganggapnya belum seberapa, jika menganggap apa yang aku rasakan berlebihan.
Orang yang dengan mudah meremehkan permasalahan orang lain memiliki dua kemungkinan; Pertama, sebab ia belum pernah merasakan langsung berada di posisi itu. Kedua, ia terbiasa berada dalam zona aman yang menyamankan sehingga tidak pernah mendapati luka batin dalam hidupnya. Apa yang terasa berat bagiku barangkali memang tidak bagi orang lain. Begitupun sebaliknya, apa yang berat bagi orang lain barangkali tidak bagiku. Semua orang berjalan pada roda hidup dengan porsi dan kapasitasnya masing-masing.
Tidak menutup kemungkinan bagiku mendapati banyak luka hati selama ini. Trauma sampai terbawa ke alam bawah sadar. Luka-luka yang tidak terlihat tapi ia lebih menyakitkan daripada seluruh luka-luka yang berwujud. Luka-luka yang tidak cepat mendapat penanganan, ternyata akan tetap ada sampai kapanpun.
Tindakan di luar warasku saat itu adalah petunjuk bahwa aku telah berada pada batas kemampuan diri. Meskipun tindakan itu pada akhirnya kutangisi penuh penyesalan tersebab telah menyakiti orang-orang di sekelilingku. Menyakiti mereka yang mungkin tidak menyadari bahwa emosi lepas kendali itu bukan sebab satu masalah saja. Ia adalah hasil dari berbagai beban yang selama ini terpendam dan dibiarkan tanpa mendapatkan perhatian.
Iya, perasaan sakit yang dibiarkan terus-menerus tidak akan pernah sembuh dengan sendirinya. Sebaliknya, lama kelamaan ia hanya akan semakin memburuk, menjadi bom waktu; meledak tak terkendali dan berlebihan.
Aku hanyalah manusia biasa yang tercipta bersama segala kelemahan, sehingga tidak mungkin untuk terus-menerus berlaku tangguh. Ada kalanya harusnya aku boleh mengekspresikan isi hati tanpa takut dibalas dengan caci-maki. Diberi ruang jeda, didengarkan, iyaa...aku butuh dimaklumi penuh pengertian.
Aku mengakui; diriku masih belum bisa berlapang hati menerima kejadian traumatis di masa lalu. Butuh proses dan waktu tidak sebentar untukku menyembuhkan diri.
Lalu, apakah kemudian aku bisa sembuh?
Bisa karena terbiasa, maka aku juga perlu banyak belajar. Belajar meluapkan seluruh uneg-uneg meskipun harus dalam bentuk tangisan atau amarah bila diperlukan. Belajar mengatakan ketika merasa tidak terima diperlakukan demikian menyakitkan. Belajar menjelaskan bahwa diri ini tidak baik-baik. Belajar menyampaikan soal batas kemampuan diri. Belajar melepaskan diri dari tekanan yang menyesakkan, tidak lagi-lagi menumpuk beban di dalam hati.
Pun atas segala sakit yang butuh penerimaan, belajar tidak menolak rasa sakit itu. Tidak merasa harus melupakan; tak apa bila harus membenci segala bentuk perbuatan menyakitkan yang disebabkan orang lain. Tak apa pula menghindar dan menutup diri jika dirasa menjadi pilihan yang paling menentramkan.
Berdamai dengan kenyataan. Kata-kata yang barangkali nampak klise, tapi demikianlah seharusnya dilakukan. Sebab, hidup menuntut agar tetap mengayunkan langkah ke depan.
Melupakan dan memaafkan memang dua hal yang berbeda. Jika melupakan adalah pilihan yang tidak mungkin diambil. Maka masih ada pilihan lain yang namanya; memaafkan. Memaafkan untuk menciptakan ruang tenang di dalam hati, memaafkan hanya supaya hati tidak merasa terus terbebani.
Bandung, 8 Februari 2021
By: Zulfannisafirdaus
Komentar
Posting Komentar