Langsung ke konten utama

Dear, pojok jeda


Firda Zulfannisa Ariga




Lama tidak meninggalkan jejak disini, dan lama juga rasanya sejak terakhir kali menulis sebuah catatan. Ah, barangkali sementara yang lalu aku demikian larut dalam antrean sibuk tak berkesudahan. Hingga sering lupa menepi, padahal aku butuh sejenak rehat dan kembali menyuarakan isi hati. Ah,aku...

Kemanakah diriku kemarin? Apakah bahagia dan baik-baik saja? Tentu saja aku bahagia. Walaupun yaa, tidak selalu dalam keadaan baik. Tetapi bagaimana pun, tidak baik-baik adalah nikmat yang patut disyukuri.

Apalagi di tengah kekacauan wabah sekarang ini. Tanpa aku jabarkan pun semua orang di muka bumi tau; betapa sulit, menyedihkan, dan penuh ketakutan dalam menjalani hari-hari. Bahkan, seperti tak heran lagi bila berita duka menghiasi sarapan pagi. Cepat dan di luar dugaan, satu demi satu berpulang dengan cara yang hampir serupa. Iya... sebab pandemi yang tak kunjung menemui titik henti.

Terjebak dalam aturan pembatasan aktifitas berlevel-level dan tak tahu kapan selesai, adalah sebuah pengalaman pertama aku lalui sendirian di kota rantau. 

Awalnya, sempat terus dihantui oleh prasangka tidak-tidak. Andai saja aku tidak disini. Andai saja semua ini tidak pernah terjadi. Andai aku terpapar, bagaimana caranya aku isolasi mandiri? Seandainya kantor merumahkan beberapa waktu, lalu bagaimana aku mencukupi kebutuhan hidup? Andai tidak ada yang membersamai kesulitan ku, kepada siapa aku meminta pertolongan? Bagaimana bisa dengan tenang aku mengabari keluarga di seberang?

Begitulah aku dan pikiran ku yang sejauh itu. 

Kekhawatiran pada sesuatu yang belum tentu terjadi telah mencuri kenyamanan dan ketentraman hati. Sulit tidur sebab overthinking menemani setiap malam, sering menangis tiba-tiba seperti kehilangan yakin bila ada waktunya semua akan membaik. Merasa kesepian, merasa tidak ada yang peduli, yaa~ emosi negatif itu menempeli diriku terbilang lama.

Sungguh lusuh. Aku, perasaan dan pikiran ku. 

Manalagi, belakangan berkali-kali aku dan keluarga didera dengan ujian kehilangan. Mulai dari kehilangan orang terdekat, kehilangan sebagian dari penghasilan, merasa kehilangan kemampuan bertahan, kehilangan kebebasan, dan banyak bentuk kehilangan lain yang tak kalah sesak. Termasuk pula; kehilangan diri sendiri. Hmm, mungkin memang tidak sedikit yang merasa kehilangan jati diri di dua tahun belakangan, sepertiku.

Segala bentuk kehilangan berdatangan susul menyusul. Di lain kepala ada pula yang datang menyergap bersamaan. Saat belum sembuh hati dari duka, dan belum jernih pikiran dari rasa tidak percaya. Pahit dan pedih sebuah kenyataan, namun hendak berbuat apa bila sudah bagian dari takdir-Nya.

Sedih, barangkali tidak lagi menjadi kata yang pantas menggambarkan keadaan hati. Lebih dari sedih, entah apa pula namanya sampai-sampai sering merasa menjadi paling menderita di seluruh alam semesta. 

Padahal tidak benar begitu. 

Sebabnya, tidak henti upaya ku untuk membangun narasi positif di dalam kepala; "Aku sungguh orang yang sabar". 

Dengan terus menguatkan diri; "Sabar-sabar ya diriku, tolong banyak bersyukur... jangan biarkan bejana syukurmu bocor. Kurangi mengeluh, tabah dalam menjalani roda kehidupan ini... Allah tidak membiarkanmu benar-benar sendirian!".

Well, hidup di dunia orang dewasa dengan segala perubahan yang tidak terkendali membuatku harus bekerja keras supaya tetap berada dalam kewarasan. Juga, tetap melibatkan Allah sebagai sebaik-baik tempat bersandar dan mengharap belas kasih. Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Allah saja.

It's okay, Ul. Memang banyak hal dalam alur takdir ini tidak bisa di ubah, tidak bisa di otak-atik. Sebab ia memang bukan untuk di ubah, melainkan untuk diterima. Jika mampu menerima semua dan mampu melewatinya adalah hebat. Maka berarti bukan kamu yang sungguhan hebat, tapi... Allah mu. Mahabaik Allah dengan segala cara-Nya, mengatur jalan cerita mu hingga kamu masih berjalan tegar sampai hari ini.

Bandung, 03 Oktober 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...