Langsung ke konten utama

Alhamdulillah, masih banyak orang baik



Rasa syukur tak berhenti aku utarakan kepada Allah yang sudah selalu melindungiku dimanapun berada. Dengan perantara orang lain yang bahkan tidak aku kenali, juga dengan cara-cara yang tidak aku sangka-sangka. Mahabaik Allah, tidak ada penjagaan terbaik selain penjagaan Allah.

Ucapan terimakasih pula berulang kali aku sampaikan dari jauh kepada seorang Bapak berpeci putih yang tempo hari dengan tulus mau menolong anak rantau sepertiku. Pastilah aku orang asing baginya, namun naluri kebaikan itu telah menggerakkan hatinya melakukan perbuatan yang mungkin bukan apa-apa baginya, tapi sangat berarti bagiku. 

Hari itu ialah hari yang cukup menyesakkan dada. Bayangan rumah, kedua orang tua, adik-adik dan juga Bumi; si kucing manja kesayangan masih berputar-putar di depan mata. Seperti belum bisa menerima jika kemarinnya aku sudah membulatkan tekad untuk melangkah pergi meninggalkan kehangatan bersama keluarga. Kembali ke rantau, demi melanjutkan segala asa yang sempat tertunda berbulan-bulan lamanya.

Perjalananku menuju Bandung kali itu benar-benar diliputi perasaan yang campur aduk. Membawa hati yang agak berantakan, tubuh yang sedang tidak baik-baik, mata berat seolah tengah membendung air yang tak kunjung punya kesempatan untuk mengalir. Tentu ada rindu pada kota tempatku menempuh pendidikan itu, tapi di hati ini juga ada rasa kehilangan sangat besar, yang tidak dapat tergambarkan pedihnya. Terlebih lagi, kali ini aku pergi sendirian dan akan memulai hidup benar-benar sendirian pula.

Aku terbangun dari lelapnya tidurku. Teringatnya, aku sungguhan tertidur lama. Sebab aku memutuskan menutup mataku sejak bus turun dari kapal, lalu terbangun tepat saat bus sedang antri di depan gerbang tol Padalarang.

"Tol Padalarang?"

Aku terbelalak saat menyadari apa yang aku lihat. Tadinya aku mengira masih di sekitaran Tangerang atau baru mau masuk Jakarta. Ternyata, malah sudah mau sampai Bandung. Senyenyak itukah aku tidur?

Tanganku bergegas membuka tas selempang yang semalaman beralih fungsi menjadi bantal. Mencari hape guna melihat jam berapa saat itu. Mataku kembali membesar, rasanya kantuk sudah benar-benar terpukul hebat dan enyah dari mataku sebab berulang kali terbelalak kaget. 

Angka 02.00 tertera dilayar hape. Membuatku bingung harus berkata apa, sebab ini tidak biasa. Masih dini hari begitu sudah mau sampai di Bandung. 

Aku berusaha menahan panik. Ya, wajar saja jika aku panik, sebab aku tinggal sendirian di kota ini. Mau minta bantuan siapa pagi buta begitu, masih terlalu malam untuk merepotkan orang lain. Tapi juga, banyak hal berpeluang terjadi; seperti tindak kejahatan misalnya. 

"Semoga saja sampai di Caringin ternyata udah siangan, mana tau masih nganter penumpang lain dulu keliling", gumamku sedikit menghibur diri.

Namun perkiraanku meleset, selang 30 menit kemudian bus berhenti dan sopir mulai berteriak; "Habis, habis, habis...". Menandakan bahwa kami sudah berada di pemberhentian terakhir dan harus segera turun dari bus. 

"Hah, udah sampai Bandung? Beneran nih, aku sekarang di Bandung? Ya ampun, kok udah di Bandung sih?". Pertanyaan tidak menyangka bersahut-sahutan didalam kepala.

Dengan perasaan yang masih semrawut, aku berusaha menepis prasangka buruk apapun. Dalam hati berharap banyak penumpang yang akan menunggu sampai hari agak siangan untuk pulang ke tempat masing-masing. 

Lagi-lagi, ternyata tidak. 

Satu persatu mereka pergi sebab di jemput sanak sodaranya. Sehingga hanya menyisakan aku dan seorang Bapak berpeci putih yang berdiri cukup jauh dari tempat aku duduk. Ku perhatikan Bapak tersebut juga sedang sibuk telponan entah dengan siapa. Sudah bisa ditebak sih, mungkin saja sama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menjemput.

Jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Melihatnya jantungku tiba-tiba berpacu sangat kencang, kembali panik karena takut Bapak yang bersamaku juga pergi lalu aku hanya tinggal sendirian malam-malam begitu. 

Secepat kilat memencet hape dengan tangan gemetar, tapi juga malah semakin bingung sendiri. Karena, takut juga mau pesan taxi online di jam begitu dengan kondisi jalanan masih sepi. Harus tetap waspada kan, apalagi aku nih perempuan, sendirian lagi. Sebab, kejahatan bisa saja terjadi bukan semata karena adanya niat tapi juga adanya kesempatan. Naudzubillah. 

Mana kalo malam aku suka tidak bisa membaca lokasi. Ah, kacau deh pokoknya.

Kejadian yang ditakuti pun terjadi. Secara tiba-tiba beberapa laki-laki datang mengerumuniku, mereka menawarkan tumpangan dengan harga bervariasi. Tak masalah jika menawarkan jasa, masih bisa diterima. Tapi, aku juga boleh menolak dong jika merasa tidak tertarik. Namun ternyata, yang ini bukan main kelewatan dan keterlaluannya. Mereka malah seakan menekanku harus ikut tidak boleh tidak. Mencurigakan, bukan? Sampai-sampai salah satu dari mereka sudah menenteng koper milikku menuju mobilnya. 

Spontan saja aku marah dan teriak;

"Saya gak mau! Kok maksa sih?!". Dengan nada sangat tinggi. 

Beruntungnya, secara langsung pula Bapak berpeci putih yang berdiri agak jauh dariku tadi ikutan berteriak marah;

"Hei, hei, hei, jangan dipaksa kalo orang ga mau. Nyari duit ya nyari duit, tapi ga usah pake maksa-maksa gini dong!", Ujarnya sembari mengambil koperku dari tangan laki-laki tidak sopan tersebut.

Alhamdulillah masih ada yang membantu. Aku mengelus dada penuh lega.

Sebenarnya, sampai disitu saja aku sudah merasa bersyukur karena masih ada yang bersedia tidak cuek dengan keadaan orang lain yang butuh pertolongan. 

Para laki-laki tidak beradab itu pun akhirnya pergi begitu saja. 

"Darimana Dik?". Bapak berpeci putih itu membuka pembicaraan.

"Saya dari OKU Timur Pak".

"Wong kito berarti yo"

"Hehe, iya Pak."

"Sudah lamo di Bandung?"

"Sudah sekitar 5 tahunan Pak".

"Begawe apo kuliah?"

"Dari jaman kuliah, sekarang begawe".

"Begawe dimano?"

"Dulu di Soekarno-Hatta, tapi garo-garo pandemi saya resign. Sekarang baru mau nyari-nyari lagi Pak".

"Tinggal dewean?"

"Iyo Pak"

"Tinggal dimano?"

"Buah Batu"

"Bener yo wong Sumatera ni, salut nian aku samo kau. Perempuan, biso merantau jauh dari keluargo."

Tiba-tiba terdengar suara hape berbunyi. Bapak itu pun langsung mengangkatnya, lalu berjalan agak jauh dariku lagi. 

"Yah, pasti keluarganya sudah sampai". Tebakku.

Tidak lama bapak tersebut berjalan lagi kearahku sembari tersenyum. 

" Anak Bapak yang jemput pecah ban di jalan Dik, ado-ado bae yo", katanya sembari terkekeh.

Entah mengapa mendengar berita tersebut aku malah merasa lega. Bukan senang diatas kesusahan orang lain loh ya. Tapi, semacam mensyukuri alur yang dikasih sama Allah. Pasti ada sebab mengapa Allah mengatur kejadiannya menjadi demikian.

Hikmahnya, aku masih punya teman menunggu dan tidak harus ketakutan sendirian. 

"Nah, Bapak pesan taxi online Dik. Nak bareng Bapak dak?", Beliau menawariku.

"Memangnya Bapak nak kemano?"

"Ke Cicalengka, kan masih searah. Gek dianter sampe rumah. Rumah apo ngekos?"

"Kosan Pak".

"Payulah melok Bapak bae, kasian kamu dewean. Khawatir diganggu lagi.

"Alhamdulillah, iya Pak. Makasih ya Pak". Sambutku lega.

Akhirnya, aku bisa pulang ke kosan tanpa rasa khawatir apapun lagi. Karena menumpang di taxi online Bapak baik hati tersebut.

Setibanya di kosan, aku turun dari mobil dan cepat-cepat menurunkan barang-barang. Ternyata, Bapak itu pun ikut keluar dari mobil. 

"Udah, ga usah dibayar ya. Sekalian nanti sama Bapak". 

"Eh, jangan dong Pak", berusaha menolak sembari menyodorkan uang limapuluh ribuan. 

"Ga usah, udah gapapa". Sambutnya lagi, sekarang dengan logat Sunda.

"Yah jangan lah Pak", aku masih berusaha menolak.

"Udah aja, pokoknya kamu baek-baek disini. Jaga diri baek-baek, sehat-sehat, hati-hati pokoknyo. Semoga selalu di lindungi Allah ya". 

Beliau tersenyum dan mengucapkan salam lalu kembali masuk ke dalam mobil. Meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat dengan tatapan haru. 

Kita tidak pernah tau perbuatan mana yang terekam dalam memori orang lain sebagai kebaikan tak terlupakan, meskipun tindakan itu sederhana saja. Bahkan, kata-kata sederhana, jika dikatakan di waktu dan kondisi yang tepat ternyata justru memberi kekuatan hebat bagi yang mendengarnya.

Baik-baik, sehat-sehat, hati-hati dan semoga selalu dilindungi sama Allah. Kalimat begini memang biasa banget. Cuma, untuk aku yang hari itu baru memulai kembali lembaran baru seakan mendapat suntikan kekuatan luar biasa.

Seperti mendengar nasihat dan doa-doa Bapakku sendiri, namun kali ini keluar dari mulut orang lain saja. Seperti disuruh untuk mengingat, kalo Allah itu tidak akan membiarkan aku sendirian.

Terimakasih, terimakasih ku ucapkan pada Bapak berpeci putih yang tidak sempat aku tanyakan namanya. Semoga Allah juga selalu melindungi Bapak sekeluarga. Semoga Allah balas kebaikan Bapak pula dengan kebaikan yang lebih. Bahagia, panjang umur, dan sehat selalu ya Pak.

Terimakasih sudah membuka mataku kalo aku memang tidak sungguh sendirian di kota ini. Akan selalu ada orang-orang baik disekelilingku yang sedia berbuat tulus dan meninggalkan bekas berupa pembelajaran yang sangat berarti untukku.

#curitauul #hikmah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...