Langsung ke konten utama

Bukan Tidak Sayang atau Tidak Peduli



Kemarin, selepas pulang kerja seperti biasa aku ikut menumpang seperempat jalan dengan salah seorang atasan di tempat kerja. Cara ini dilakukan demi menemani atasan ku yang sering pulang lebih lambat dari karyawan lain, juga demi terbebas dari berlama-lama menunggu angkutan umum yang luar biasa macet di jalan Ciroyom.

Sudah beberapa bulan belakangan aku sering ikut beliau, jadi teman ngobrol beliau juga kalo lagi di perjalanan. Ngobrol sama emak-emak ya gitulah, segala di jadikan bahasan. Kadangkala hal remeh dan ga penting tapi malah bisa jadi panjang banget ga selesai-selesai.

Cuma, kemarin topik yang di bahas bikin aku jadi kepikiran juga ternyata. Akhirnya kebawa-bawa sampe ke kamar kosan, berlanjut pula jadi tema over thinking aku semalam menjelang tidur.

Bukan hal yang sensitif sih, hanya barangkali apa yang di ceritakan agak relate juga sama diriku di masa lalu. Karenanya, aku dibikin seolah sedang menoleh ke belakang, mengorek kisah di masa-masa remaja.

"Kasian yah si bos, saya dengar ceritanya aja jadi pingin nangis, mata langsung berkaca-kaca. Sebagai seorang ibu yang punya hati, saya mah ga bisa kalo anak saya sampai harus mengalami hal yang sama kaya si bos". Ujar atasanku.

"Kenapa gitu Bu?", tanya ku penasaran

"Tadi kan saya sama si bos lagi ngobrol, tiba-tiba dia malah cerita soal dia yang sudah terbiasa mandiri sejak kecil.

Katanya; dulu dari jaman masih SMA kalo bangun tuh mesti subuh banget dari jam 3 atau 4 gitu.

Terus kan saya tanyain, lahh kok ngapain subuh banget?

Dia bilang; ya masak lah... dulu tuh suka jualan kaya bikin spaghetti, aneka kue, apa aja buat nyari uang jajan.

Walaupun orang tuanya berkecukupan bahkan kalo dari kacamata kita bergelimang harta tapi ya mereka ga peduli sama anak. Hanya fokus soal pendidikan aja, untuk jajan dan keperluan lain-lain malah ga dipenuhi sebagaimana mestinya. Karena itu, si bos mesti biasa nyari sendiri. Pokoknya gitulah, dari kecil si bos kurang mendapat asupan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya.

"Iya sih Bu, keliatan memang si bos memang tipe laki-laki yang pekerja keras dan multitalent banget orangnya", kata ku menimpali.

"Bener, cuma saya ga tega aja dan heran juga. Kok ada ya orang tua yang bisa begitu sama anak sendiri. Saya aja rasanya ke anak tuh ga mau liat anak mesti susah-susah nyari uang, maunya ya saya aja yang susah mereka ga perlu harus ikut serta. Apalagi di usia yang harusnya ga perlu banyak hal yang dipikirkan. Fokus sekolah, semua kebutuhan mereka bisa saya penuhi. Rasa sayang ke anak tuh lebih dari rasa sayang ke diri sendiri". Katanya melanjutkan.

Apa yang disampaikan atasan ku ini berhasil mencipta jeda. Ada dua kesimpulan yang kemudian mengendap dalam pikiran, seperti sedang melihat dua sisi mata uang. Di satu sisi memahami posisi si bos, di lain sisi juga mengerti bagaimana ternyata perasaan seorang ibu.

Sebab aku pernah berada di posisi si bos, pernah merasakan jualan kue dari jaman SMP. Mulai dari menggoreng kerupuk yang di bungkus-bungkus pake api lilin. Bikin kue basah seperti; kue lapis, sakura dan kue lumpang lalu di titip ke tukang kue keliling. Bikin bakwan, pempek dos, keripik pisang, dan kerupuk ubi balado lalu jualan di sekolah. Pernah harus repot sepulang sekolah demi memproses si keripik pisang, tidur sampe larut malam gara-galara si kue lapis, dan bangun subuh karena harus bikin kue lumpang dan sakura sembari menggoreng bakwan dan pempek dos. I know it's so hard untuk diriku di usia itu, saat teman seusia ku makan aja masih disuapin by the way.

Apakah orang tau apa yang pernah aku lewati? Apakah orang tau kisah ku di masa silam? BIG NO! Mereka cuma sok tau dengan mengatakan hidup ku selalu berada di zona nyaman.

Tetapi aku tidak menyesali semua, tidak pula menyalahkan kedua orang tua atas keputusan mereka untuk jauh dan sementara meninggalkan anak-anak. Meski pun ya, tidak di pungkiri jika dahulu sering bersedih dan menggulung banyak sekali pertanyaan.

Orang tua ku tidak pernah salah, sebagai anak yang tidak aku tahu adalah bagaimana sulitnya mereka berperang dengan nurani sendiri. Aku mungkin hanya tidak melihat tangisan Mamak, pun kegelisahan Bapak. Mereka juga ingin melihat dan membersamai tumbuh kembang anak-anak. Namun, namanya juga hidup tentu selalu bergandengan dengan pilihan dan risiko. Demi beroleh kebaikan bersama itulah keputusan jauh dari anak-anak saat itu menjadi pilihan paling tepat.

Bukan tidak sayang atau tidak peduli, justru seluruh tekad kuat yang mereka miliki tentu lah selalu berangkat dan bertujuan sama, yaitu; demi membahagiakan anak-anak. Lagipula, sama dengan orang tua muda lainnya, memiliki aku dan adik-adik adalah pengalaman pertama bagi mereka.

Kalau sayang dan peduli, lalu mengapa harus sibuk berjualan di usia remaja? Apakah tidak dapat uang jajan dari orang tua? Hm yaa, pertanyaan begini kerap muncul dari mulut orang-orang yang tidak pernah berada di posisi yang sama. Mereka tidak merasakan maka dari itu merasa heran.

Anak-anak yang tinggal berjarak dengan orang tua acap kali tumbuh menjadi lebih dewasa dibanding anak-anak lain di usia yang sama. Kebanyakan dari mereka menjadi lebih pengertian, punya hati begitu lapang, dan terbiasa dengan rasa prihatin kepada kedua orang tua.
 
Aku di masa remaja dahulu bukanlah termasuk ke dalam jenis anak-anak yang ditelantarkan atau dibiarkan. Menyadari bahwa orang tua di tempat lain sedang bersusah payah mengumpulkan pundi-pundi uang, maka keinginan untuk meringankan beban mereka pun seiring waktu muncul. 
 
Menyaksikan kemudian mencontoh, melihat kemudian merealisasikan. Didikan Mamak sejak dini soal perempuan yang harus bisa diandalkan, dan laki-laki yang harus bertanggung jawab benar-benar telah membentuk jiwa super power di dalam diri anak-anaknya. Alhasil, ketiga anak mereka biasa untuk mau berjerih payah terlebih dahulu agar mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Kami biasa jualan ini itu, tidak merasa perlu malu dan rendah diri terhadap apa yang kami geluti ketika ia adalah hal positif, tidak jadi anak menye-menye yang cuma bisa menengadahkan tangan melulu kepada orang tua.
 
Barangkali apa yang aku rasakan sedikit memiliki kesamaan dengan si bos. Berjuang di usia remaja mungkin adalah serangkaian kisah yang agaknya menyesakkan kala diingat, tetapi ia adalah bagian terhebat dari diri yang harusnya perlu terus diapresiasi. Bukan merasa sudah sangat hebat, namun untuk berterimakasih banyak-banyak pada diri karena sudah mampu melewati masa-masa di masa lalu dengan tetap berada dalam jalur positif.

#pojok jeda #curitauul 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...