Langsung ke konten utama

Postingan

Fokus, jadilah diri sendiri!

Saat menulis catatan ini, aku terpaku sejenak. Bayangan wajah kedua orang tua berkelabat dalam benakku. Dua sosok yang begitu menginginkan diriku sesukses impian mereka. Rasa-rasanya aku tidak sanggup jika harus memberi luka, sebab tak mampu berbuat sebagaimana mereka mau. Ya, aku tak mungkin menambah luka lagi setelah begitu banyak luka tertoreh di hati mereka. Aku memang belum mampu memberi seperti yang mereka ingini, tapi jauh didalam lubuk hatiku aku ingin menghadirkan senyuman di wajah mereka sepanjang masa "dengan caraku sendiri".  Banyak sekali ku tampung masukan-masukan dari orang-orang yang  ngakunya  memberi nasihat supaya lebih terarah. Namun, nyatanya aku menangkap setiap kata yang keluar dari bibir mereka semacam kritikan tanpa solusi. Mereka terlalu banyak memberi perumpamaan. Memberi contoh dengan menghadirkan cerita sosok A sampai Z yang menurut mereka telah mencapai kata sukses dalam urusan pekerjaan. Entah mengapa tak satupun kisah yang terpa...

Belajar dari Seorang Pemulung

Pagi yang segar. Semerbak aroma sejuk memenuhi rongga dada. Pagi yang membawa semangat bagi jiwa-jiwa yang memiliki hati penuh rasa syukur atas karunia nikmat Rabb semesta. Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 06.10 WIB, saatnya aku bergegas meninggalkan hangatnya suasana rumah. Seperti pagi-pagi biasanya, ku mulai hari dengan doa dan harapan-harapan kebaikan. Berbalut jaket kesayangan, memacu motor scoopy merahku dengan kecepatan rendah di jalanan yang masih sepi. Tak lupa ditemani seputar lagu religi sekedar mengusir rasa kantuk yang barangkali sewaktu-waktu hinggap saat berkendara. Pagi memang selalu menawarkan awal baru sebelum menjalani sekelumit hiruk-pikuk kehidupan. Meskipun hawa dingin masih terasa menusuk, bagi sebagian orang hal ini tidak menjadi penghalang untuk melanjutkan rutinitas harian. Sepanjang jalanan beberapa kali aku berpapasan dengan bapak-bapak dengan semangat pagi luar biasa mendorong gerobak jualan meniti jalanan. Beberapa bahkan memanggul ku...

Move On

Aku tertunduk lesu, sedikit menghela napas. Suara dering  handphone  kembali berbunyi. Terdiam, kemudian mengumpulkan energi untuk membuka sebuah  chat  yang beberapa kali notifikasinya muncul di layar utama  handphone ku. Masih menggenggam  handphone , berpikir beberapa menit. "Mengapa aku masih menyimpan kontaknya?", aku mulai bertanya dalam hati. "Apa benar dia? atau jangan-jangan aku lupa ada rekan kerjaku yang bernama sama?". "Ah siapa? Rasanya ga ada". Aku mencoba mengingat-ingat nama semua laki-laki di tempat kerjaku. "Atau teman di kampus?". Berusaha berpikir, menggigit bibir sembari menatap langit-langit ruang kerja. "Ah... Ataukah adik mahasiswa baru yang kemarin mau gabung ke himpunan? Siapa nama adik itu ya? Apa ini dia?", Aku kembali menebak-nebak. Mengetuk dua kali layar  handphone , layar menyala. Ada dua pesan belum terbaca. Dari pengirim yang sama. "BENI". Belum sempat menggeser pol...

Me Time

Setiap orang punya cara berbeda. Aku termasuk yang menyukai menyendiri di tengah keramaian. . . Semilir angin nyaman membelaiku. Pagi yang tak biasa. Hari ini entah mengapa naluri membawaku mengalihkan langkah ke sebuah tempat untuk meredam gejolak dalam hati. Tiba-tiba saja aku memutuskan pergi dan menunda rutinitas harian demi kengininan hati untuk ber- me time.  Aku berdalih ini adalah upaya mencari kesejukan, menikmati sepi setelah sekian lama aku berpura-pura menyukai keramaian.  Menarik, semuanya bahkan berjalan begitu saja tanpa  planning  apapun. Mau kemana? Dan sama siapa? Biasanya kedua pertanyaan tersebut mengawali perencanaan ku sebelum bepergian, tapi entah mengapa tidak dengan hari ini. Mendadak aku tak peduli harus pergi ke tempat seindah dan senyaman apa, harus ditemani oleh teman yang mana, pokoknya yang terpenting aku bisa menikmati hari lebih berarti, dan biarkan kali ini mengikuti saja kemana hati membawaku pergi. Setelah sej...

Perjalanan Menuju 14 July 2018

Masih teringat bagaimana rasanya untuk pertama kali melambaikan tangan sebagai tanda berpisah pada kebersamaan, yang sejak hari itu harus kupahami hanya akan terulang jika aku kembali. Kembali yang tidak bisa semudah membalik telapak tangan. Sebuah keputusan telah diambil setelah melewati pertimbangan panjang nan berat. Bagi anak-anak Sumatera, pergi meninggalkan desa menuju kota perantauan dengan tekad kuat serta keberanian menghadapi segala lika-likunya, sudah menjadi hal biasa. Aku bukan satu-satunya yang memutuskan meninggalkan hangatnya kebersamaan demi merajut asa.  Sejak dahulu kala, saat usia putra-putri Sumatera berada di ambang pintu kedewasaan maka sudah masanya untuk berpikir tentang hendak kemana ia pergi. Seolah tuntutan hidup memang mengarahkan bahwa untuk sukses maka jemputlah, pergilah ke tempat lain, sejauh mungkin kalo bisa. Seolah dunia akan terasa sempit jika tinggal di kampung saja.  Pergi telah menjadi alasan biasa supaya dikemudian hari kes...