Langsung ke konten utama

Me Time



Setiap orang punya cara berbeda.
Aku termasuk yang menyukai menyendiri di tengah keramaian. . .

Semilir angin nyaman membelaiku. Pagi yang tak biasa. Hari ini entah mengapa naluri membawaku mengalihkan langkah ke sebuah tempat untuk meredam gejolak dalam hati. Tiba-tiba saja aku memutuskan pergi dan menunda rutinitas harian demi kengininan hati untuk ber-me time. Aku berdalih ini adalah upaya mencari kesejukan, menikmati sepi setelah sekian lama aku berpura-pura menyukai keramaian. 

Menarik, semuanya bahkan berjalan begitu saja tanpa planning apapun. Mau kemana? Dan sama siapa? Biasanya kedua pertanyaan tersebut mengawali perencanaan ku sebelum bepergian, tapi entah mengapa tidak dengan hari ini. Mendadak aku tak peduli harus pergi ke tempat seindah dan senyaman apa, harus ditemani oleh teman yang mana, pokoknya yang terpenting aku bisa menikmati hari lebih berarti, dan biarkan kali ini mengikuti saja kemana hati membawaku pergi.

Setelah sejam bekendara mengitari jalanan kota Bandung, aku tergerak untuk melewati taman balai kota barangkali ada keinginan untuk melihat-lihat sekitaran sana. Ah benar saja, tanpa banyak berpikir aku langsung mengarahkan scoopy merah ku masuk ke pelataran parkir taman ini. Taman balai kota, salah satu taman di  di tengah-tengah kota Bandung yang menurutku cukup sejuk untuk ukuran sebuah taman di tengah kota, parkir dan wifi gratis satu dari sekian alasan yang ada di otak ku saat itu. Setidaknya aku bisa menikmati waktu-waktu sendiriku lebih lama dengan fasilitas mendukung seperti ini. 

Meninggalkan parkiran aku berjalan mengelilingi taman, tak lama pilihanku berhenti pada tempat berteduh yang menawarkan view cukup indah di depannya, aku memilih duduk di salah satu kursi yang tersedia dengan posisi mengarah pada hamparan bunga-bunga di depanku. Tepat sekali, bahkan suasana menjadi benar-benar mendukung, aku berada tepat dibawah pohon besar nan rindang, bayangan dedaunannya berayun kesana-kemari membuat mataku tak berhenti berkaca-kaca, sejenak tertegun, dalam hati aku menyadari; ternyata hari ini aku telah kembali pada diriku yang sebenarnya.

Belakangan ini aku mengalami begitu banyak kejadian-kejadian tak terbayangkan, rasa sakit bertubi-tubi mengahantam hati selalu berujung penyesalan dan keinginanan menyerah yang begitu mudah muncul di benakku, yang begini seringnya benar-benar menarik diriku terlampau jauh dari tempatku berdiri sebelumnya. Hariku layaknya diliputi perasaan campur aduk, tak terkendali, hingga ruang-ruang dalam hati seakan diisi penuh oleh kerisauan. Ya~aku bukan malaikat, hanya manusia biasa yang dalam hidupnya boleh jadi berada pada keadaan terpuruk setelah diterpa gelombang dahsyat, bencana yang berhasil memporak-porandakan pertahanan hati yang selama ini tampak kuat dipandang mata. Manusia biasa sepertiku wajar-wajar saja sewaktu-waktu bertindak egois bukan? Kadang ada saat aku bahkan tidak tau harus berbuat apa lagi. 

Pelik memang tentang urusan mengelola hati tuk tetap stabil. Sudah berkali-kali aku memaksa hati untuk tetap normal, bertahan dan terus berusaha tampil baik-baik saja. Sudah berulang-ulang kalimat motivasi ku putar untuk me-refresh otak yang barangkali sedang eror tak karuan. Nihil, kali ini aku tak berhasil menjaga pertahanan, virus-virus negatif masuk mengacaukan seluruh sistem pengendalianku. Hati dan otakku dibuat kritis, itu sebabnya hari ini semua menjadi hampa.

Sudah lama sebenarnya aku ingin menyisakan satu hari saja untuk ber sepi ria begini, rencana-rencana hanya wacana yang dipajang dalam papan to do list tanpa realisasi. Lagi-lagi aku lupa sebab disibukkan menjalani dunia nyata orang dewasa yang telah merenggut segalanya. Padahal sudah sejak lama hati meminta diperhatikan, bercengkrama sesekali dengannya itulah yang sebenarnya dibutuhkan. Dan hari ini puncaknya, seperti sedang berontak, galau level tinggi menggenapi seantero ruang-ruang dalam hati, hingga membawakuku mewujudkan keinginan untuk menyendiri ditengah taman kota ini, dibawah pohon besar beranting indah yang sekali mendongak aku bisa mengintip langit dari sela dedaunannya yang rimbun.

Jika harus menyebutkan apa saja yang aku sukai, maka menyendiri disini adalah salah satunya. Saat keramaian di depanku bukan lagi penghalang untuk beradu dengan hatiku. Aku hanya peduli tentang bunga-bunga mungil warna kuning yang bergoyang, suara kicauan burung-burung yang seolah sedang memamerkan kebebasannya padaku, cahaya yang berusaha menembus celah pepohonan seketika membentuk satu garis memancar ke arahku, angin yang bertiup ke hulu dan ke hilir menerbangkan sejumput rasa padahal baru saja mampir di hati, semut-semut hitam berjalan berakakan, daun layu bertebaran jatuh dibawa angin, gemericik irama air mancur, dan banyak hal sederhana yang hari ini benar-benar menyita fokusku hingga harus ku nikmati sendiri.

Kapan lagi begini bukan? Sepertinya hari ini Allah sedang memberiku kesempatan paling baik dalam mengurai nikmat-Nya. Alih-alih membuatku berhitung, ia telah mencapai nilai tak terhingga. Aku tak akan mampu menjelaskan bagaimana baiknya Allah dalam memberi apa-apa yang bahkan lebih dari yang aku butuhkan di dunia. Ah benar juga, disaat begini siapa yang menggerakkan hatiku ke tempat ini kalo bukan Allah. Pasti ada maksud mengapa dari sekian tempat-tempat indah di kota Bandung, aku malah menginjakkan kaki disini. Ya~Allah pasti punya maksud, tapi apa yang sedang ia perlihatkan padaku ? Butuh waktu lama aku mendapat jawaban dari pertanyaanku. Bola mataku berkeliaran bebas menatap detail apa saja yang ada di depannya, sampai beberapa menit kemudian aku terkesima; Ah mengapa aku baru menyadarinya?

Air mata seketika mengalir membasahi pipiku, dengan refleks jemariku segera mengusap butiran bening yang semakin deras berjatuhan itu. Tak kusadari, sangking perasaan galau telah menyelimuti hati, aku sampai buta dari melihat kebesaran Allah yang sedang mencoba menghiburku. Ada begitu banyak kehidupan di depan mataku, semua kehidupan yang diatur oleh Allah begitu luar biasa. Sedari tadi aku berusaha fokus pada hal-hal sederhana disini, aku tak memberi kesempatan mata melirik orang-orang yang berlalu lalang disekitarku. Sejujurnya hati ku sedang tidak tentram terhadap orang-orang yang berlalu lalang sembari tertawa bahagia. Entah mengapa emosi negatif telah membuat semua seakan-akan tengah mengejek ku yang sendiri disini dalam kubangan hitam keterpurukan diri. Maka dengan perasaan kacau ini aku bergegas untuk tak peduli seputaran manusia lain yang ada bersamaku di tempat ini.

Padahal aku tak perlu menerka, menilai-nilai tingkat kebahagian orang lain saat ini, apalagi sampai membenci pancaran kebahagiaan di wajah mereka. Sedangkan sebenarnya aku tidak bisa menebak semua begitu saja. Tidak ada yang bisa menyelami hati orang lain sebagaimana Allah mengetahui isi hati hamba-Nya. Aku kan manusia biasa, tidak berhak memberi penilaian sekecil apapun pada perasaan-perasaan orang yang sama sekali tak nampak dari luarannya. Ah betapa bodohnya diriku. Mungkin saja sebagian dari mereka justru sedang mengalami gejolak yang sama denganku saat ini, itulah mengapa mereka ada disini sepertiku. Mencari tempat sebagai pengalihan kesedihan-kesedihan.

Betapa sudah kelewatannya aku dalam memaknai kebahagiaan hanya seputar apa yang tidak aku peroleh sedangkan banyak yang aku ingini Allah adakan tanpa aku pintai dahulu. 

Lihatlah makhluk-makhluk yang diciptakan hanya untuk bertasbih pada-Nya. Seperti pepohonan yang menjagaku dari terik matahari ini, bahkan ia hidup hanya untuk menebar manfaat pada bumi dan seisinya, menjalankan perintah Allah tanpa ada tuntutan apapun, sekalipun manusia-manusia sepertiku sering bertindak serakah dan gegabah terhadap hak-hak perlindungan keberadaannya. Ia bahkan tetap berbaik hati menghasilkan oksigen yang mana menjadi kebutuhan utama manusia sepertiku. Bukan itu saja, lihatlah kerumunan semut hitam dibawah sana, bukankah mereka diciptakan sebagai bentuk sebab akibat? Sesuatu Allah ciptakan karna dibutuhkan. 


Sayangnya manusia sepertiku terlampau hina karna banyak membuat keinginan-keinginan tanpa menyertakan rasa syukur atas apa-apa yang sudah ada. Seperti diriku yang akhir-akhir ini banyak menuntut pada Allah, dan hanya karna doa-doaku belum Allah wujudkan aku menjadi mudah bersedih dan putus asa. Terbiasa menyalahkan keadaan ku yang tak hentinya di terpa ujian silih berganti. Terbiasa membanding-bandingkan kehidupan dan menyebutnya tak seberuntung orang lain. Aku bahkan membiarkan pikiran bercabang-cabang, stress hingga apapun yang aku kerjakan tidak berjalan dengan baik. Ahh mengapa aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku sendirilah yang telah memperkeruh hatiku dengan prasangka-prasangka buruk pada Allah hingga dengan prasangka buruk itu aku berjalan dengan pemikiran-pemikiran yang salah. 

Angin berhembus membelai manis pipiku, air mata mengering bersamaan udara sejuk yang masuk ke ruang-ruang hatiku. Oh Allah bahkan tak meninggalkan ku sendirian meskipun sedang berada dalam keburukan-keburukan prasangka ini. Hanya Dia yang tak akan mungkin meninggalkanku saat aku berusaha lari dari banyak kondisi.

Hari ini aku telah berusaha lari menghindar dari keramaian seperti biasanya dalam rutinitas harianku. Keramaian yang menawarkan kejahatan bertopeng manis, seperti mereka-mereka yang memasang senyum terbaik namun mengumpat dibelakangku, atau yang lebih buruk ialah mereka-mereka yang menggandengku sebagai seorang sahabat sedang otaknya menghitung waktu terbaik untuk menusukku. Hari ini aku telah memilih menyendiri dan memblokir kesempatan siapa saja yang ingin menyapaku. Keinginan seperti ini memang jarang sekali, tapi entah mengapa ini yang sedang aku butuhkan. Biasanya jika hati sedang tak baik maka bibir tak terkontrol untuk mengungkapkan kekesalan, terkadang bahkan tidak menyaring sesiapa yang tepat dijadikan penampungnya. 

Selalu menempatkan diri pada posisi korban hanya menjadikan kita seorang makhluk egois yang berharap hanya untuk didengarkan. Sayang sekali, saat segala perasaan menjadi tak terkontrol secara tak sengaja membiarkan urusan pribadi berceceran pada tempat yang salah. Kali ini aku tak ingin melakukan yang demikian. Tersebab itu pilihanku menyendiri disini sepertinya lebih baik. Waktu-waktu seperti ini barangkali boleh ku nikmati sekali saja. Ya~sekali ini saja bukan?

Diam bibirku kali ini adalah seni mengungkapkan paling romantis, hanya ribut berbisik dalam hati pada Allah. Merasakan hadir Allah lebih dekat. Aku bebas menyampaikan tanpa bersusah payah memilah kata-kata, Allah sudah paling mengerti. Menyendiri kali ini setidaknya sedikit berarti. Aku menemui lega seusai kegelisahan menguap begitu saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...