Langsung ke konten utama

Belajar dari Seorang Pemulung



Pagi yang segar. Semerbak aroma sejuk memenuhi rongga dada. Pagi yang membawa semangat bagi jiwa-jiwa yang memiliki hati penuh rasa syukur atas karunia nikmat Rabb semesta. Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 06.10 WIB, saatnya aku bergegas meninggalkan hangatnya suasana rumah. Seperti pagi-pagi biasanya, ku mulai hari dengan doa dan harapan-harapan kebaikan. Berbalut jaket kesayangan, memacu motor scoopy merahku dengan kecepatan rendah di jalanan yang masih sepi. Tak lupa ditemani seputar lagu religi sekedar mengusir rasa kantuk yang barangkali sewaktu-waktu hinggap saat berkendara.

Pagi memang selalu menawarkan awal baru sebelum menjalani sekelumit hiruk-pikuk kehidupan. Meskipun hawa dingin masih terasa menusuk, bagi sebagian orang hal ini tidak menjadi penghalang untuk melanjutkan rutinitas harian. Sepanjang jalanan beberapa kali aku berpapasan dengan bapak-bapak dengan semangat pagi luar biasa mendorong gerobak jualan meniti jalanan. Beberapa bahkan memanggul kuat sebatang bilah dengan dua beban berat di kedua ujungnya. Menjemput rezeki sepagi ini berbekal energi positif dan keyakinan besar pada sang pemilik rezeki itu sendiri. 

Memasuki kota, bau asap kendaraan mengganti keramahan udara segar pagi ini. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan umum dan kendaraan pribadi berisikan orang-orang dengan kepentingan masing-masing. Saling berkejar-kejaran dengan waktu. Hal biasa, kota memang selalu menyajikan kerumunan manusia dengan kesibukan berbeda berdesak-desakan memenuhi kebutuhan sendiri. Aku bahkan salah satu diantaranya.

Terhitung satu jam lagi jam masuk kerja, aku berhenti di sebuah mini market, duduk santai sembari menyeruput secangkir kopi good day moccachino.

Saat tengah asyiknya, tiba-tiba sosok wanita berkerudung biru lusuh mencuri perhatianku. Ada bayi mungil di gendongannya, tangan kanan menggenggam telapak bocah kecil yang perkiraanku berumur empat tahunan. Sedangkan di tangan kirinya terkait sebuah karung cukup besar nampak kotor menguning. Ia berjalan merunduk seperti tengah mencari-cari sesuatu. 

Sontak hatiku terenyuh, di hadapanku ada seorang ibu-ibu muda lusuh tengah luntang-lantung membawa dua orang anak kecil kedinginan. Wajah sang ibu menunjukkan gurat lelah mendalam. Tubuhnya kurus tipis tapi tangannya bergerak sangat cekatan saat memilah-milah barang dari tong sampah.

Dimana suaminya ? Dimana ayah dari anak-anak itu ? Mengapa ia membiarkan istri dan anak-anaknya luntang-lantung begini ? ... Aku bertanya-tanya dan sedikit merasa marah dalam hati.

Sebagai seorang perempuan tentu saja melihat pemandangan begitu membuatku miris, sedih, hancur. Seketika aku membayangkan bagaimana jika aku berada di posisi ibu-ibu tersebut. 

 Entah dia dan anak-anaknya sudah makan atau belum.
..., Mereka tinggal dimana..., mengapa sepagi ini sudah sampe di tengah kota begini..., Pertanyaan-pertanyaan kembali bermunculan dalam otakku.

"Ah anak-anak memang polos tak mengerti apa-apa", pikirku. Bayi mungil dalam gendongan sang ibu terlihat tenang, sedangkan sang kakak berlarian ceria kesana-kemari. Beberapa kali sang kakak berlari mendekati tong sampah di depan pintu mini market, tepat di dekat tempat duduk ku. Tapi beberapa kali pula ia mengurungkan diri saat milihatku sedang memperhatikan gerak-geriknya. Terakhir dia berlari menuju sang ibu sambil berteriak.

"Bu ituu... Buu ituuu...", Ujarnya.

Matanya jelas menatapku seperti ketakutan. Tapi telunjuknya mengarah ke tong sampah di sampingku. Ia seperti sedang memberitahukan pada sang ibu bahwa ada tong sampah di depan tapi ada perempuan aneh yang sedari tadi tak berhenti menatapnya.

Tak berapa lama sang ibu selesai memilah-milah barang bekas di tong sampah pinggir jalan. Sambil menggandeng anak yang lebih tua ia berjalan menuju tong sampah di sampingku.
"Punteun neng", ujarnya sambil menundukkan kepala.

Aku berusaha pura-pura tidak memperhatikan agar sang ibu tidak merasa risih. Namun saat sedang mulai mengoreh sampah, tiba-tiba bayi yang ada di gendongannya menangis, mukanya memerah, suara tangisannya semakin lama semakin keras. Terlihat wajah resah kebingungan sang ibu sembari menenangkan bayi kecilnya. Menggoyang ke kiri dan ke kanan, mengusap-usap kepala, menepuk-nepuk dengan lembut paha sang bayi. Tak berhasil. Sang bayi terus menangis. Hingga beberapa saat kemudian ia memutuskan duduk di lantai untuk memberi asi. Akhirnya, suara tangis sang bayi mereda. Ibu itu pun tampak tersenyum sembari mengusap-usap kepala bayinya dengan penuh kasih sayang.

Pemandangan ini membuat mataku berkaca-kaca. Melihat ibu tersebut masih bisa tersenyum manis saat tengah menenangkan buah hatinya dalam kondisi menyedihkan yang tak bisa tergambarkan olehku. Nuraniku tercabik-cabik, seketika mengingatkanku pada sosok ibuku yang jauh di pulau seberang. Bagaimana tidak, sebagai anak rantauan sepertiku bahkan tak pernah tau pasti sesedih apa perjuangan bersama ayah disana dalam mencukupi segala kebutuhan. Selama ini yang ku dengar hanyalah tawa renyah mereka dari balik telpon sembari terus melontarkan pertanyaan seakan begitu mengkhawatirkan diriku. Seorang ibu bahkan selalu bisa bersikap setegar dan semanis itu walau dalam kondisi bagaimanapun. Seketika rindu-rindu membuncah dalam hati, tak terasa hujan jatuh di pelupuk mataku. Hatiku pedih, air mata tak terbendung lagi.

Satu-persatu orang keluar dari pintu mini market menjatuhkan uang ke lantai di samping sang ibu. Beberapa waktu sang ibu tampak tak menyadari karna sangking asyiknya menenangkan bayi. Namun kemudian suara denting uang koin yang terjatuh mengagetkannya. Menoleh ke samping terlihat ekspresi wajah yang berbeda, beliau sangat kaget. Spontan berdiri dan memanggil seorang remaja laki-laki berseragam SMA yang baru saja menjatuhkan uang seribuan logam ke arahnya. Sang ibu memungut sejumlah uang di bawah kemudian berjalan gontai menuju remaja tersebut. Entah apa yang ia katakan pada remaja tersebut, suaranya kecil hingga tak bisa aku dengar. Yang jelas kulihat tangannya mengulurkan sejumlah uang itu kepada pelajar tersebut, nampaknya ia berusaha mengembalikan sejumlah uang yang dikiranya semua berasal dari sang pelajar. Pelajar tersebut menolak dan berkata:

"Bukan buu... Bukan dari saya semua... Itu yang dari saya cuma seribu... Saya ikhlas buu... Gapapa terima aja...", Ujarnya.

Tapi ia masih berusaha mengulurkan sejumlah uang ditangannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun pelajar tersebut tetap menolak. Sampai pelajar itu pergi ia masih terpaku berdiri di tempat.

Aku terkagum. Belum pernah aku melihat pemandangan luar biasa seperti ini. Melihat perjuangan seorang ibu baik hati yang berkeliaran pagi-pagi sekali untuk memungut dan memilah barang-barang yang bagi kebanyakan orang hanyalah sampah tak berguna. Namun baginya seperti rezeki besar yang harus ia kumpulkan untuk ditukar dengan sesuap nasi. Ketegaran seorang ibu yang sudah kehilangan rasa malu.
"Demi hidup dan demi anak-anak" begitulah sepertinya yang ada dikepalanya.

Andai kata berada di posisi ibu itu, jika berpikiran sempit dan berkeinginan serba instan mungkin menjadi pengemis seperti yang lain akan membuat semuanya menjadi lebih mudah. Hanya berbekal wajah miris dengan dua anak kecil yang mendukung keprihatinan orang lain agar bersimpati. Uang yang datang akan jauh lebih cepat, tanpa didahului oleh usaha-usaha dan proses-proses memeras energi dan pikiran. Hanya cukup duduk bersimpuh memohon belas kasihan orang lain, kemudian uang berdatangan dengan sendirinya.

Ya, sesingkat itu saja jika mau. Namun yang dilakukan seorang ibu dihadapanku berbeda, kerja keras dan kesungguhannya mencari nafkah dengan cara-cara yang tidak menyimpang sangatlah keren. Mungkin memang uang yang didapat berasal dari sampah-sampah kotor dan bau, tapi uang tersebut bersih dan halal karna dihasilkan tanpa merenggut hak-hak orang lain.

Rasanya aku bukan siapa-siapa jika harus dibandingkan dengan ibu ini. Malu sekali. Aku bahkan tak mungkin sekuat ibu tersebut dalam menghadapi ujian-ujian berat seperti yang ia alami. Menolak uang pemberian orang lain hanya agar tak dianggap pengemis membuatku semakin terkagum-kagum. Meskipun hidup sepayah apapun, ada rasa syukur yang kuat dalam hatinya untuk menikmati setiap takdir yang Allah beri. Seperti tak ada penyesalan, yang ada hanyalah perjuangan-perjuangan yang dibalut dengan keyakinan-keyakinan besar.

Aku benar-benar malu. Aku merasa kalah. Jelas saja aku kalah, kalah hebatnya, kalah kuatnya dari seorang ibu pemilik dua anak-anak kecil manis ini, sekalipun ia nampak lusuh dilihat dari luarannya. Sungguh tak sebanding dengan diriku.

Saat ini aku bahkan boleh dibilang lebih beruntung darinya, aku masih bisa duduk santai menikmati secangkir kopi panas yang kubeli dari gajiku, ya... dari gaji kecil yang sering aku keluh-keluhkan. Rasanya keterlaluan sekali karna aku masih sering merasa pusing harus mengenakan baju mana sebelum berangkat kerja sebab merasa punya baju itu-itu saja sedangkan ibu di depanku seperti sudah tak peduli selusuh apa pakaiannya yang penting bisa cari uang.

Terlebih, aku begitu mudah menangis tersebab pekerjaan, merasa terbebani, merasa tertekan dan banyak lagi hal-hal lain yang kadang aku merasa berat menjalaninya. Hal-hal yang menurutku menyedihkan dan mengecewakan. Aku terlampau banyak mengeluh pada urusan sederhana. Suatu waktu bahkan pernah terbesit keinginan untuk menyerah dan berputus asa. Sedangkan Ibu itu... Ah nyatanya aku benar-benar masih sering lupa mensyukuri apa yang aku miliki hari ini.

"Oh Allah... Aku maluuu...".

Aku bagai pohon kecil yang ditampar oleh angin besar ratusan kali. Penyakit-penyakit dalam hatiku seakan dibuat berguguran. Otakku tak habis fikir menyaksikan apa yang baru saja aku lihat. Allah menamparku sangaaat halus. Rasa-rasanya aku sudah tak bisa berkata-kata. Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Ada seorang ibu muda yang menjelaskan padaku melalui perbuatannya, bahwa hidup ini harus dijalani dengan keyakinan penuh serta rasa syukur yang harus terus dipupuk dalam dada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...