Aku tertunduk lesu, sedikit menghela napas. Suara dering handphone kembali berbunyi.
Terdiam, kemudian mengumpulkan energi untuk membuka sebuah chat yang beberapa kali notifikasinya muncul di layar utama handphoneku.
Masih menggenggam handphone, berpikir beberapa menit.
"Mengapa aku masih menyimpan kontaknya?", aku mulai bertanya dalam hati.
"Apa benar dia? atau jangan-jangan aku lupa ada rekan kerjaku yang bernama sama?".
"Ah siapa? Rasanya ga ada". Aku mencoba mengingat-ingat nama semua laki-laki di tempat kerjaku.
"Atau teman di kampus?". Berusaha berpikir, menggigit bibir sembari menatap langit-langit ruang kerja.
"Ah... Ataukah adik mahasiswa baru yang kemarin mau gabung ke himpunan? Siapa nama adik itu ya? Apa ini dia?", Aku kembali menebak-nebak.
Mengetuk dua kali layar handphone, layar menyala. Ada dua pesan belum terbaca. Dari pengirim yang sama.
"BENI".
Belum sempat menggeser pola kunci layar handphone.
Tring... Tring...
Satu notifikasi muncul kembali di layar utama, kali ini aku sempat membaca sekilas kalimat yang terpampang.
"Sore ini aku jemput ya...🙏".
Deggg...
Jantungku berdetak kencang. Memangnya siapalah dia yang berani-beraninya bilang mau menjeputku sore ini.
Secepat kilat ku buka whatsapp. Di baris paling atas, sebuah chat dari seseorang yang namanya sudah tidak asing lagi dikepalaku. Di sudut bawah, ada bulatan hijau bertuliskan angka 3. Ya, ada tiga pesan yang kuterima sejak beberapa menit yang lalu namun belum jua aku baca.
"Apa kabar?".
"Libur kuliah kan?".
"Sore ini aku jemput ya...". Diakhiri dengan emoticon dua tangan mengerucut yang menandakan sedang memohon.
Diam beberapa menit, masih tak habis pikir dengan apa yang baru saja ku baca di layar handphoneku. Seseorang dari masa lalu yang sudah coba kulupakan baru saja mengirimiku sebuah pesan. Menanyakan kabarku, dan yang lebih mengagetkan lagi sekarang ini dia mau menjemputku? Whaat? Ada apa ini sebenarnya?
"Hhh... Memangnya dia tau aku kerja dimana ya, apa dia juga tau aku tinggal dimana? Hhh...dasar aneh", Sungutku kesal.
Tapiii, ah... siapa juga yang tidak tau aku kerja dan tinggal dimana. Setiap hari aku selalu mengunggah kegiatan sehari-hariku di story instagram, bahkan selalu menyertakan lokasi dimanapun aku sedang berada. Termasuk ketika berada di kamar. Rasanya justru aku yang aneh ya kalo masih mempertanyakan apakah dia tau.
"Hhhh...", Aku menghela napas dalam-dalam.
Lalu bagaimana ini, harus ku jawab apakah pertanyaan dan permintaan ini. Dengan jawaban setuju ataukah menolak saja dengan halus.
Kuketik kalimat bermaksud menanyakan apakah dia sedang serius atau hanya bercanda, dihapus lagi. Kuketik kembali, kembali aku hapus. Perasaan aneh seketika menyeruak. Galau. Suasana yang tadinya begitu tentram menjadi sedikit berantakan di dalam hatiku.
"Bagaimana ini?", Aku berdiri dari tempat dudukku, harap-harap cemas kalo aku belum juga menjawab jangan-jangan sekarang dia sudah dalam perjalanan menuju ke tempat kerjaku.
"Dia kan orangnya nekad kalo sudah mau", gerutuku.
Duduk, bediri, duduk lagi, beberapa kali tak sadar aku melakukan gerakan yang membuat jantungku justru semakin berdebar kencang seakan sedang dikejar-kejar oleh waktu.
Kali ini aku berusaha menenangkan diri, ku pegang handphone sedikit agak kuat supaya gemetar di seluruh jemari tanganku berhenti.
"Baiklah... Hanya sekali ini saja", aku mencoba meyakinkan diri.
Ku ketik sepenggal kalimat yang menyatakan bahwa; 'Aku bersedia sore ini dia menjemputku pukul 17.30 WIB di lobi hotel tempatku bekerja'.
Keputusan yang mendadak, aku sendiri agak ragu sebenarnya. Tapi, yaa sudahlah. Kupikir hanya sekali saja tak masalah, tidak mungkin bisa menumbuhkan kembali benih-benih rasa yang dulu sudah mati membusuk.
•••
"Gimana kerjanya? Udah sukses yaa sekarang Masya Allah alhamdulillah...".
Aku membuka bicara. Setelah berpikir panjang untuk memulai topik pembicaraan. Memecah canggung setelah berada kurang lebih 10 menit di dalam mobil yang ia kendarai menjemputku dari tempat kerja.
"Alhamdulillah baik, iyaa belum sukses kok masih banyak yang harus diperjuangkan hehe. Tapi, untuk sampai dititik ini juga berkat doa-doa dari orang-orang disekelilingku. Sepertinyaaa, juga karna kamu dan doa darimu Fin...", jawabnya sambil menoleh ke arahku menyunggingkan senyuman khasnya yang masih sama seperti dulu.
Dulu, setiap melihatnya menatapku dengan senyuman seperti itu aku akan terhipnotis. Merasa bahagia karna memiliki kekasih dengan senyuman menawan seperti ini. Ah benar juga... harus ku akui, sepertinya detik ini pun aku baru saja dibuat terhipnotis pada senyuman Beni.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang mungkin saat itu nampak memerah karna terjangkit virus GR. Apalagi saat Beni menyebut namaku berpengaruh terhadap pencapaian kariernya sampai saat ini. Sekuat tenaga aku mengalihkan perasaan senang membuncah dalam hatiku. Jika saja Beni tidak sedang fokus menyetir, wah berbahaya bisa-bisa wajahku yang memerah sudah tertangkap basah olehnya.
Setelah percakapan itu, suasana kembali hening. Sepanjang perjalan tidak ada kalimat apapun lagi yang keluar dari bibir kami berdua. Aku bahkan terlalu takut memulai obrolan lagi. Takutnya nanti kebablasan dan lebih parah lagi aku tidak bisa mengontrol diri jika sudah nyaman mengobrol panjang lebar.
Menit demi menit berlalu. Tiba-tiba mobil berhenti di di sebuah parkiran masjid.
"Sholat dulu ya", ujarnya Beni padaku.
Tanpa menjawab aku membuka pintu mobil, keluar dan langsung berjalan menuju tempat wudhu wanita disamping kanan masjid. Sedangkan Beni menyusul keluar setelah aku melepaskan sepatu dan menaruhnya di rak sepatu.
Sebenarnya boleh dibilang aku benar-benar berada dalam kondisi tidak nyaman sekarang ini. Disatu sisi aku bingung dengan sikap Beni yang tiba-tiba, disisi lain aku juga penasaran mau kemanakah Beni membawaku. Jika diperhatikan, masjid yang kami singgahi lokasinya berlawanan arah menuju rumahku. Itu berarti ada yang sedang Beni rencanakan dan aku tidak bisa menebak-nebak itu.
"Bagaimana ini... Duuhhh... Bagaimana yaa...", setelah menunaikan shalat aku mendadak cemas dan menunda keluar dari masjid cukup lama. Sampai aku teringat hari akan semakin malam jika lama-lama berdiam disini.
Setelah memastikan diri, aku bergegas keluar masjid sembari terus berusaha agar tidak terlihat cemas. Hanya takut saja jika Beni menyalahartikan kecemasanku seperti; salting misalnya. Ah jangan sampai Beni menganggap yang tidak-tidak. Aku ini terlalu hebat dan tidak boleh kalah dalam permainan Beni hari ini.
Benar saja, 20 menit berlalu sejak berangkat dari parkiran masjid. Mobil kali ini kembali berhenti di parkiran sebuah restoran. Salah satu restoran elite di Bogor. Ya, sebuah restoran yang populer dikalangan atas dan tentunya tidak pernah aku datangi seumur hidupku ini.
"Kita makan malam dulu ya Fin. Ada yang mau aku bicarakan. Gapapa kan?", Tanya Beni memutus lamunan ku yang sedari tadi melongo melihat restoran diluar sana.
"Disini ?", Aku bertanya seperti orang bodoh.
Jelas-jelas mobil parkir tepat di parkiran restoran ini, mana mungkin Beni mengajakku makannya di tempat yang lain. Ah...mengapa juga aku masih saja bertanya. Maklum sajalah, aku menelan ludah sendiri, mendongak menghitung-hitung isi dompet yang kubawa. Barangkali tidak cukup uang yang ada untuk bisa makan di restoran ini. Mataku berkedip malu-malu menunjukkan gelagat yang sama seperti orang sedang berusaha mencari alasan supaya bisa pergi atau menghilang seketika. Seperempat gaji kerjaku atau malah bisa jadi setengah dari gajiku harus dihabiskan dalam semalam.
"Oh tidaaak!!! Ini kan tanggal tua!!! Aku belum gajian... ga punya uang....", plokk...!!! Menepuk jidat berkali-kali.
Kulihat Beni sudah berada diluar mobil, menatap ke arah ku. Kelihatannya dia agak bingung mengapa aku masih berdiam diri di dalam. Akhirnya, dia datang mengetuk kaca mobil dan menyuruhku keluar. Dengan sedikit kebingungan aku terpaksa membuka pintu mobil.
"Kenapa?", Tanya Beni.
"Kayanya aku belum lapar deh Ben...", jawabku gelagapan.
Beni tertawa kencang, sepertinya sudah paham dengan gelagat anehku ini.
"Tenang, aku yang traktir kok. Nanti jangan ga makan sepuasnya yaahh...". Ujarnya sambil berlalu pergi mendahuluiku masuk kedalam restoran mahal itu.
•••
Kerlap-kerlip hamparan bintang memeriahkan langit malam ini. Alunan musik romantis membuat suasana saat itu seperti scane di film-film romance. Beberapa pelayan mondar-mandir mengantar makanan mewah dan menyulap meja penuh berisi makanan yang tidak terhitung harganya dikepalaku.
Namun, aneh memang. Suara berisik hanya datang dari sepasang sendok dan garpu yang bergerak lihai dari satu makanan ke makanan yang lain. Sedangkan, hening. Terasa hening tanpa percakapan di meja makan yang penuh dengan makanan ini.
Aku dan Beni memilih duduk di meja paling tengah supaya bisa berada tepat dibawah langit yang sedang indah-indahnya malam ini. Hanya saja tempat yang nyaman tidak selalu membuat hati orang merasa nyaman. Keberadaanku dan keberadaan Beni diseberang mejaku sangat kaku. Senyuman khas Beni bahkan tak kutemui sejak masuk restoran. Dalam hati terdalam aku sebenarnya sedang menunggu apa yang ingin Beni sampaikan padaku hingga rela mengajak dan mentraktirku makan di sebuah restoran mahal ini.
"Aku mau minta maaf". Tiba-tiba Beni menatap kearahku. Sedikit lama tatapannya, lalu tertunduk seraya tersenyum simpul dan kembali melanjutkan bicaranya.
"Aku tau kemarin terlalu sulit untukmu Fina... Makanya dengan setulus hati aku mohon maaf juga berharap kamu bersedia memaafkan kecerobohanku yang dulu".
Aku menelan makanan yang ada di mulutku sangat cepat. Dalam hati terkaget-kaget mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Beni. Bergegas mengambil minum sembari terbatuk-batuk kecil. Entah, karena makanan yang masih nyangkut di tenggorokan atau perasaanku yang agak lemah, tiba-tiba mataku berair dengan sendirinya. Hanya saja aku berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol keadaan.
"Ti... tidak ada yang.... perlu dibahas lagi... tentang semua yang... sudah berlalu", aku menjawab terbata-bata. Suaraku sedikit berubah dari sebelumnya, lebih lemas dan terdengar haru. Tapi, lagi-lagi tidak selaras dengan wajahku yang aku arahkan agar tetap menujukkan sikap biasa-biasa saja. Berusaha sok kuat dihadapan seseorang yang dahulu telah menyingkirkan wanita sepertiku dengan ego tingkat dewanya. Namun, hari ini berani-beraninya minta dimaafkan seakan-akan itu semua terlalu mudah dilupakan.
Aku terdiam agak lama. Masih memikirkan jawaban yang tepat. Tidak ingin terbuai oleh suasana yang Beni buat, aku tidak akan luluh seindah dan sesantun apapun malam ini Beni memperlakukanku.
Setelah berpikir beberapa waktu. Aku mulai buka suara, sedikit basa-basi sebagai pembukaan agar pembicaraan tidak terlalu kaku.
"Benii heiii kamu gapapa kan? Sehat kan Ben? Well, yang lalu biar berlalu. Haha... lagi pula bukan cuma kamu kok yang salah. Aku juga salah kan Ben? Santai aja kok semua udah ga perlu dibahas lagi hehe". Aku tersenyum paksa setelah mengatakan kalimat yang tidak cocok dengan isi hatiku.
Lalu, saat Beni masih terdiam aku mulai bicara agak serius. Mencoba menatap mata Beni diseberang meja sana dengan tatapan agak tajam. Kemudian melempar senyuman dan bicara sembari memainkan sendok dan garpu ditanganku.
"Ben... Ga kerasa waktu cepat berlalu yaa... Masih inget sih gimana dulu kamu hadir dalam kehidupanku pertama kali. U know? Aku yang kasih kamu kesempatan waktu itu kan. Setelah itu kita bertahan lama juga karna aku yang kasih kamu tempat. Kalo pada akhirnya kamu bosan, bisa jadi juga karna aku ga terlalu peka, cuma sibuk nyediain tempat buat kamu tapi ga bikin kamu nyaman dan stay sampe akhir. So, aku juga bisa disalahkan kok Ben." Jelasku panjang lebar.
Kalimat yang banjir keluar dari mulutku tidak sesuai dengan genangan yang memenuhi dalam lubuk hatiku. Dalam hati sebenarnya agak berisik, berontak, aku mengumpat dan bersumpah serapah.
Angin berhembus dingin menusuk kulit. Malam semakin larut, alunan musik sudah tak terdengar jelas lagi di telingaku. Aku menarik diriku mengenang kejadian tiga tahun silam.
Padahal, seandainya tiga tahun yang lalu semua berakhir dengan cara yang lebih baik. Seandainya Beni lebih cepat dan dengan lugas mengatakan bahwa pergi yang dia maksud adalah untuk meninggalkan aku selamanya karna rasa bosan yang tidak lagi mampu ditunda. Mungkin, lebih awal dibicarakan baik-baik aku pun tidak akan kesulitan. Tentu, sudah sekencang-kencangnya aku berlari, secepat-sepatnya aku menghapus Beni dari kehidupanku saat itu. Hanya saja yang dilakukan Beni malah sebaliknya, betapa menyedihkan dan menyakitkannya hari itu, jika saja Beni paham. Hatiku tidak utuh lagi, hancur berkeping saat dia memutuskan harapan yang dulu menguat dihatiku tentangnya.
Terdiam, kemudian mengumpulkan energi untuk membuka sebuah chat yang beberapa kali notifikasinya muncul di layar utama handphoneku.
Masih menggenggam handphone, berpikir beberapa menit.
"Mengapa aku masih menyimpan kontaknya?", aku mulai bertanya dalam hati.
"Apa benar dia? atau jangan-jangan aku lupa ada rekan kerjaku yang bernama sama?".
"Ah siapa? Rasanya ga ada". Aku mencoba mengingat-ingat nama semua laki-laki di tempat kerjaku.
"Atau teman di kampus?". Berusaha berpikir, menggigit bibir sembari menatap langit-langit ruang kerja.
"Ah... Ataukah adik mahasiswa baru yang kemarin mau gabung ke himpunan? Siapa nama adik itu ya? Apa ini dia?", Aku kembali menebak-nebak.
Mengetuk dua kali layar handphone, layar menyala. Ada dua pesan belum terbaca. Dari pengirim yang sama.
"BENI".
Belum sempat menggeser pola kunci layar handphone.
Tring... Tring...
Satu notifikasi muncul kembali di layar utama, kali ini aku sempat membaca sekilas kalimat yang terpampang.
"Sore ini aku jemput ya...🙏".
Deggg...
Jantungku berdetak kencang. Memangnya siapalah dia yang berani-beraninya bilang mau menjeputku sore ini.
Secepat kilat ku buka whatsapp. Di baris paling atas, sebuah chat dari seseorang yang namanya sudah tidak asing lagi dikepalaku. Di sudut bawah, ada bulatan hijau bertuliskan angka 3. Ya, ada tiga pesan yang kuterima sejak beberapa menit yang lalu namun belum jua aku baca.
"Apa kabar?".
"Libur kuliah kan?".
"Sore ini aku jemput ya...". Diakhiri dengan emoticon dua tangan mengerucut yang menandakan sedang memohon.
Diam beberapa menit, masih tak habis pikir dengan apa yang baru saja ku baca di layar handphoneku. Seseorang dari masa lalu yang sudah coba kulupakan baru saja mengirimiku sebuah pesan. Menanyakan kabarku, dan yang lebih mengagetkan lagi sekarang ini dia mau menjemputku? Whaat? Ada apa ini sebenarnya?
"Hhh... Memangnya dia tau aku kerja dimana ya, apa dia juga tau aku tinggal dimana? Hhh...dasar aneh", Sungutku kesal.
Tapiii, ah... siapa juga yang tidak tau aku kerja dan tinggal dimana. Setiap hari aku selalu mengunggah kegiatan sehari-hariku di story instagram, bahkan selalu menyertakan lokasi dimanapun aku sedang berada. Termasuk ketika berada di kamar. Rasanya justru aku yang aneh ya kalo masih mempertanyakan apakah dia tau.
"Hhhh...", Aku menghela napas dalam-dalam.
Lalu bagaimana ini, harus ku jawab apakah pertanyaan dan permintaan ini. Dengan jawaban setuju ataukah menolak saja dengan halus.
Kuketik kalimat bermaksud menanyakan apakah dia sedang serius atau hanya bercanda, dihapus lagi. Kuketik kembali, kembali aku hapus. Perasaan aneh seketika menyeruak. Galau. Suasana yang tadinya begitu tentram menjadi sedikit berantakan di dalam hatiku.
"Bagaimana ini?", Aku berdiri dari tempat dudukku, harap-harap cemas kalo aku belum juga menjawab jangan-jangan sekarang dia sudah dalam perjalanan menuju ke tempat kerjaku.
"Dia kan orangnya nekad kalo sudah mau", gerutuku.
Duduk, bediri, duduk lagi, beberapa kali tak sadar aku melakukan gerakan yang membuat jantungku justru semakin berdebar kencang seakan sedang dikejar-kejar oleh waktu.
Kali ini aku berusaha menenangkan diri, ku pegang handphone sedikit agak kuat supaya gemetar di seluruh jemari tanganku berhenti.
"Baiklah... Hanya sekali ini saja", aku mencoba meyakinkan diri.
Ku ketik sepenggal kalimat yang menyatakan bahwa; 'Aku bersedia sore ini dia menjemputku pukul 17.30 WIB di lobi hotel tempatku bekerja'.
Keputusan yang mendadak, aku sendiri agak ragu sebenarnya. Tapi, yaa sudahlah. Kupikir hanya sekali saja tak masalah, tidak mungkin bisa menumbuhkan kembali benih-benih rasa yang dulu sudah mati membusuk.
•••
"Gimana kerjanya? Udah sukses yaa sekarang Masya Allah alhamdulillah...".
Aku membuka bicara. Setelah berpikir panjang untuk memulai topik pembicaraan. Memecah canggung setelah berada kurang lebih 10 menit di dalam mobil yang ia kendarai menjemputku dari tempat kerja.
"Alhamdulillah baik, iyaa belum sukses kok masih banyak yang harus diperjuangkan hehe. Tapi, untuk sampai dititik ini juga berkat doa-doa dari orang-orang disekelilingku. Sepertinyaaa, juga karna kamu dan doa darimu Fin...", jawabnya sambil menoleh ke arahku menyunggingkan senyuman khasnya yang masih sama seperti dulu.
Dulu, setiap melihatnya menatapku dengan senyuman seperti itu aku akan terhipnotis. Merasa bahagia karna memiliki kekasih dengan senyuman menawan seperti ini. Ah benar juga... harus ku akui, sepertinya detik ini pun aku baru saja dibuat terhipnotis pada senyuman Beni.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang mungkin saat itu nampak memerah karna terjangkit virus GR. Apalagi saat Beni menyebut namaku berpengaruh terhadap pencapaian kariernya sampai saat ini. Sekuat tenaga aku mengalihkan perasaan senang membuncah dalam hatiku. Jika saja Beni tidak sedang fokus menyetir, wah berbahaya bisa-bisa wajahku yang memerah sudah tertangkap basah olehnya.
Setelah percakapan itu, suasana kembali hening. Sepanjang perjalan tidak ada kalimat apapun lagi yang keluar dari bibir kami berdua. Aku bahkan terlalu takut memulai obrolan lagi. Takutnya nanti kebablasan dan lebih parah lagi aku tidak bisa mengontrol diri jika sudah nyaman mengobrol panjang lebar.
Menit demi menit berlalu. Tiba-tiba mobil berhenti di di sebuah parkiran masjid.
"Sholat dulu ya", ujarnya Beni padaku.
Tanpa menjawab aku membuka pintu mobil, keluar dan langsung berjalan menuju tempat wudhu wanita disamping kanan masjid. Sedangkan Beni menyusul keluar setelah aku melepaskan sepatu dan menaruhnya di rak sepatu.
Sebenarnya boleh dibilang aku benar-benar berada dalam kondisi tidak nyaman sekarang ini. Disatu sisi aku bingung dengan sikap Beni yang tiba-tiba, disisi lain aku juga penasaran mau kemanakah Beni membawaku. Jika diperhatikan, masjid yang kami singgahi lokasinya berlawanan arah menuju rumahku. Itu berarti ada yang sedang Beni rencanakan dan aku tidak bisa menebak-nebak itu.
"Bagaimana ini... Duuhhh... Bagaimana yaa...", setelah menunaikan shalat aku mendadak cemas dan menunda keluar dari masjid cukup lama. Sampai aku teringat hari akan semakin malam jika lama-lama berdiam disini.
Setelah memastikan diri, aku bergegas keluar masjid sembari terus berusaha agar tidak terlihat cemas. Hanya takut saja jika Beni menyalahartikan kecemasanku seperti; salting misalnya. Ah jangan sampai Beni menganggap yang tidak-tidak. Aku ini terlalu hebat dan tidak boleh kalah dalam permainan Beni hari ini.
Benar saja, 20 menit berlalu sejak berangkat dari parkiran masjid. Mobil kali ini kembali berhenti di parkiran sebuah restoran. Salah satu restoran elite di Bogor. Ya, sebuah restoran yang populer dikalangan atas dan tentunya tidak pernah aku datangi seumur hidupku ini.
"Kita makan malam dulu ya Fin. Ada yang mau aku bicarakan. Gapapa kan?", Tanya Beni memutus lamunan ku yang sedari tadi melongo melihat restoran diluar sana.
"Disini ?", Aku bertanya seperti orang bodoh.
Jelas-jelas mobil parkir tepat di parkiran restoran ini, mana mungkin Beni mengajakku makannya di tempat yang lain. Ah...mengapa juga aku masih saja bertanya. Maklum sajalah, aku menelan ludah sendiri, mendongak menghitung-hitung isi dompet yang kubawa. Barangkali tidak cukup uang yang ada untuk bisa makan di restoran ini. Mataku berkedip malu-malu menunjukkan gelagat yang sama seperti orang sedang berusaha mencari alasan supaya bisa pergi atau menghilang seketika. Seperempat gaji kerjaku atau malah bisa jadi setengah dari gajiku harus dihabiskan dalam semalam.
"Oh tidaaak!!! Ini kan tanggal tua!!! Aku belum gajian... ga punya uang....", plokk...!!! Menepuk jidat berkali-kali.
Kulihat Beni sudah berada diluar mobil, menatap ke arah ku. Kelihatannya dia agak bingung mengapa aku masih berdiam diri di dalam. Akhirnya, dia datang mengetuk kaca mobil dan menyuruhku keluar. Dengan sedikit kebingungan aku terpaksa membuka pintu mobil.
"Kenapa?", Tanya Beni.
"Kayanya aku belum lapar deh Ben...", jawabku gelagapan.
Beni tertawa kencang, sepertinya sudah paham dengan gelagat anehku ini.
"Tenang, aku yang traktir kok. Nanti jangan ga makan sepuasnya yaahh...". Ujarnya sambil berlalu pergi mendahuluiku masuk kedalam restoran mahal itu.
•••
Kerlap-kerlip hamparan bintang memeriahkan langit malam ini. Alunan musik romantis membuat suasana saat itu seperti scane di film-film romance. Beberapa pelayan mondar-mandir mengantar makanan mewah dan menyulap meja penuh berisi makanan yang tidak terhitung harganya dikepalaku.
Namun, aneh memang. Suara berisik hanya datang dari sepasang sendok dan garpu yang bergerak lihai dari satu makanan ke makanan yang lain. Sedangkan, hening. Terasa hening tanpa percakapan di meja makan yang penuh dengan makanan ini.
Aku dan Beni memilih duduk di meja paling tengah supaya bisa berada tepat dibawah langit yang sedang indah-indahnya malam ini. Hanya saja tempat yang nyaman tidak selalu membuat hati orang merasa nyaman. Keberadaanku dan keberadaan Beni diseberang mejaku sangat kaku. Senyuman khas Beni bahkan tak kutemui sejak masuk restoran. Dalam hati terdalam aku sebenarnya sedang menunggu apa yang ingin Beni sampaikan padaku hingga rela mengajak dan mentraktirku makan di sebuah restoran mahal ini.
"Aku mau minta maaf". Tiba-tiba Beni menatap kearahku. Sedikit lama tatapannya, lalu tertunduk seraya tersenyum simpul dan kembali melanjutkan bicaranya.
"Aku tau kemarin terlalu sulit untukmu Fina... Makanya dengan setulus hati aku mohon maaf juga berharap kamu bersedia memaafkan kecerobohanku yang dulu".
Aku menelan makanan yang ada di mulutku sangat cepat. Dalam hati terkaget-kaget mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Beni. Bergegas mengambil minum sembari terbatuk-batuk kecil. Entah, karena makanan yang masih nyangkut di tenggorokan atau perasaanku yang agak lemah, tiba-tiba mataku berair dengan sendirinya. Hanya saja aku berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol keadaan.
"Ti... tidak ada yang.... perlu dibahas lagi... tentang semua yang... sudah berlalu", aku menjawab terbata-bata. Suaraku sedikit berubah dari sebelumnya, lebih lemas dan terdengar haru. Tapi, lagi-lagi tidak selaras dengan wajahku yang aku arahkan agar tetap menujukkan sikap biasa-biasa saja. Berusaha sok kuat dihadapan seseorang yang dahulu telah menyingkirkan wanita sepertiku dengan ego tingkat dewanya. Namun, hari ini berani-beraninya minta dimaafkan seakan-akan itu semua terlalu mudah dilupakan.
Aku terdiam agak lama. Masih memikirkan jawaban yang tepat. Tidak ingin terbuai oleh suasana yang Beni buat, aku tidak akan luluh seindah dan sesantun apapun malam ini Beni memperlakukanku.
Setelah berpikir beberapa waktu. Aku mulai buka suara, sedikit basa-basi sebagai pembukaan agar pembicaraan tidak terlalu kaku.
"Benii heiii kamu gapapa kan? Sehat kan Ben? Well, yang lalu biar berlalu. Haha... lagi pula bukan cuma kamu kok yang salah. Aku juga salah kan Ben? Santai aja kok semua udah ga perlu dibahas lagi hehe". Aku tersenyum paksa setelah mengatakan kalimat yang tidak cocok dengan isi hatiku.
Lalu, saat Beni masih terdiam aku mulai bicara agak serius. Mencoba menatap mata Beni diseberang meja sana dengan tatapan agak tajam. Kemudian melempar senyuman dan bicara sembari memainkan sendok dan garpu ditanganku.
"Ben... Ga kerasa waktu cepat berlalu yaa... Masih inget sih gimana dulu kamu hadir dalam kehidupanku pertama kali. U know? Aku yang kasih kamu kesempatan waktu itu kan. Setelah itu kita bertahan lama juga karna aku yang kasih kamu tempat. Kalo pada akhirnya kamu bosan, bisa jadi juga karna aku ga terlalu peka, cuma sibuk nyediain tempat buat kamu tapi ga bikin kamu nyaman dan stay sampe akhir. So, aku juga bisa disalahkan kok Ben." Jelasku panjang lebar.
Kalimat yang banjir keluar dari mulutku tidak sesuai dengan genangan yang memenuhi dalam lubuk hatiku. Dalam hati sebenarnya agak berisik, berontak, aku mengumpat dan bersumpah serapah.
Angin berhembus dingin menusuk kulit. Malam semakin larut, alunan musik sudah tak terdengar jelas lagi di telingaku. Aku menarik diriku mengenang kejadian tiga tahun silam.
Padahal, seandainya tiga tahun yang lalu semua berakhir dengan cara yang lebih baik. Seandainya Beni lebih cepat dan dengan lugas mengatakan bahwa pergi yang dia maksud adalah untuk meninggalkan aku selamanya karna rasa bosan yang tidak lagi mampu ditunda. Mungkin, lebih awal dibicarakan baik-baik aku pun tidak akan kesulitan. Tentu, sudah sekencang-kencangnya aku berlari, secepat-sepatnya aku menghapus Beni dari kehidupanku saat itu. Hanya saja yang dilakukan Beni malah sebaliknya, betapa menyedihkan dan menyakitkannya hari itu, jika saja Beni paham. Hatiku tidak utuh lagi, hancur berkeping saat dia memutuskan harapan yang dulu menguat dihatiku tentangnya.
Baiklah. Sekarang semua sudah berlalu. Rasa sakit di hatiku seiring perjalanan waktu perlahan pudar. Setelah sekian lama tak ada Beni dalam hari-hariku ternyata aku biasa. Aku tetap baik-baik saja kok. Sebenarnya aku bahkan sudah lupa siapa Beni. Sedikit yang teringat memang hanya tentang aku yang pernah menangis dibuatnya, lebih-lebihnya aku sudah tidak ingat sama sekali.
Setiap butir air mata yang mengalir lama-kelamaan menghapus lukisan kenangan bersama Beni. Aku sudah melupakan perlakuan apa yang pernah membuatku menjadi bahagia ketika disampingnya. Aku sudah melupakan apa alasan terkuat ku hingga bisa bertahan bersamanya. Well, Aku sudah lupa semuanya. Yang sedikit terbesit hanya luka-lukanya saja. Ya, itu saja. Luka yang Beni goreskan teramat dalam, hingga tidak lagi bisa aku melihat kebaikan dari kebersamaan kami yang lalu. Atau memang tidak pernah ada kebaikan disana sebenarnya. Sekarang semua sudah selesai seperti apa yang Beni mau. Aku dan Beni tidak lagi sepasang saling mendukung seperti dulu.
"Aku minta maaf Finaaa, tolong maafkan aku..."
Suara Beni parau, tertunduk seakan sangat menyesali perlakuannya dahulu padaku.
"Sudahlah Beniii... tidak ada yang perlu dimaafkan lagi", aku mengalihkan pandanganku pada layar handphone untuk menormalkan keadaan hatiku yang sesak menahan emosi, yang rasanya ingin sekali saat itu aku hamburkan saja. Aku berusaha ambil posisi santai dan tenang. Kubuka akun instagram agar fokusku teralihkan.
Hening lagi. Hening agak lama. Tak ada pembicaraan. Tidak ada gelagat apa-apa. Aku sibuk menatap layar handphone. Sedangkan Beni masih tertunduk diam di tempatnya.
Beberapa menit kemudian Beni kembali bicara, dengan nada memelas dan sedikit merendahkan diri.
"Fin, apakah kita bisa memulai lagi semuanya dari awal? Feelingku bicara kamu masih punya perasaan sama denganku Fin, masih tetap seperti dulu kan? Aku masih selalu ada di hatimu kan Fin?", Tiba-tiba Beni mengatakan lagi kalimat yang tak ku sangka keluar dari bibirnya.
•••
Tiga tahun sudah berlalu sejak hari Beni meninggalkanku dengan alasan yang tidak masuk akal untukku. Terkadang memang sesuatu yang sulit kita terima dalam hidup ini nampak tidak masuk akal dalam logika kita.
Hari itu adalah hari ulang tahunku. Ingat betul bagaimana Beni dan teman-temannya ada di depan pintu kontrakanku membawa beberapa kue ulang tahun dan kado. Memberi kejutan luar biasa membuatku menyeringai kesenangan. Terutama saat dimana Beni mendekatiku sambil mengatakan kata-kata yang masih jelas kuingat. Entahlah itu doa yang tulus atau hanya basa-basi untuk membuatku merasa berbahagia di hari spesialku itu.
"Selamat ulang tahun...!!!"
"Semoga kita langgeng sampai maut memisahkan ya Fiin".
Sangking senangnya, aku tidak bisa berucap kata apa-apa. Hanya kegirangan dan mengaminkan setiap doa-doa yang disampaikan Beni. Wajah sumringah Beni membuat hatiku berbunga-bunga sampai seakan-akan di wajah Beni yang kulihat hanya cahaya berkilauan. Aku bahagia sekali menemui Beni dan teman-temanya datang demi memberi kejutan ulang tahun ku yang ke 20 tahun saat itu.
Perjalanan hubunganku dengan Beni sudah menginjak tiga tahun, bahkan tepat di hari ulang tahunku sudah tiga tahun enam bulan. Tidak ada yang tidak tahu mengenai hubunganku dengan Beni. Orang tua, keluarga besar, kerabat, sahabat dekat, teman jauh pun orang-orang yang hanya sekedar mengenal Beni semua tahu mengenai hubungan kami. Semua orang tau bahwa Beni sudah dimiliki hatinya olehku.
Kuceritakan sedikit. Dahulu saat pertama kali mengenal Beni semasa remaja. Ketika kami masih duduk dibangku SMA. Sebuah masa penuh kenangan saat masih hidup di kampung. Aku adalah adik kelas Beni. Setingkat dibawahnya. Pertama dekat dulu ketika aku jadi juniornya di salah satu ekstrakulikuler di sekolah. Seperti Beni yang sekarang, kekerenan Beni memang sudah terbangun sejak zaman SMA. Dia remaja populer yang namanya dikenal seantero sekolahan. Bukan karena prestasi akademik, tapi karena bakat leadershipnya hingga banyak mengepalai organisasi-organisasi yang mengharumkan nama sekolah, desa bahkan sekecamatan.
Saat berkuliah tak jauh beda, kemampuannya makin terasah. Beni jadi mahasiswa aktif, berorganisasi, aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan banyak lagi. Semakin terkenal dan membanggakan. Tentu, hal itu menyeret namaku ikut serta dalam hidupnya, sebab aku adalah kekasih Beni ketika itu. Teman-temannya akan jadi akrab denganku, apalagi rekan kerjanya, hal yang sangat aneh andai saja mereka tidak mengenalku. Aku hidup bersama ketenaran Beni, aku juga tenar sebagai perempuan yang dianggap menemani Beni dalam lika-liku perjuangannya.
Hari ulang tahunku menjadi hari terbahagia sepanjang tahun ketiga hubunganku dan Beni. Sekaligus kenangan terpahit. Hari itu, hatiku menyala terang oleh rasa bahagia karena Beni membuatku seolah tampil sebagai wanita yang beruntung sekali dia miliki. Semua temanku mengungkapkan ke irian mereka dengan hubungan ku yang begitu indah bersama Beni. Hari itu, sepertinya tidak ada selain rasa bahagia yang menyelimuti.
Seperti kebanyakan serial romance atau ftv di beberapa stasiun televisi yang penuh drama. Menawarkan intrik yang menguras emosi. Di dunia nyata bahkan tak jauh beda. Keretakan hubungan kami pun berangsur-angsur dimulai. Hanya berjarak beberapa hari dari ulang tahun ku.
Berawal dari Beni yang jarang sekali menghubungiku, tidak seperti biasanya. Saat aku coba tanyakan ke sahabat baiknya, mereka bilang Beni sibuk di beberapa kegiatan kampus belakangan. Kadang keluar kota, karna ada acara yang diagendakan diluar. Baiklah, untuk beberapa alasan masih bisa di toleransi. Beni sedang sibuk, toh sibuknya untuk hal positif, pikirku saat itu.
Namun, hampir sebulan Beni menghilang. Pernah mengabariku sekali. Itu pun untuk minta maaf karna sibuk, sementara tidak mau diganggu. Sampai selama itu belum ada yang mencurigakan dari gelagat Beni sebenarnya, sudah biasa Beni disibukkan dengan kegiatan bejibun semenjak SMA, sebagai pasangannya aku harus selalu bisa bertenggangrasa.
Entahlah, hal yang tidak disangka-sangka itu terjadi sejak kapan aku tidak tahu dan tidak ingin tau. Siapa sangka, jika pada akhirnya sebuah kesempatan membuat Beni bertemu dengan seorang wanita lain. Kemudian wanita itu meluluhlantakan segenap hati Beni yang sebelumnya hanya terisi penuh olehku. Wanita yang aku akui lebih baik dalam banyak hal ketimbang diriku ini.
Sejak itu hari-hari kami berubah, minggu ke minggu semakin banyak perubahannya. Sampai suatu hari dengan teganya Beni mendatangiku untuk menyayat luka begitu lebar. Tentu, untuk memutuskan hubungan kami dan meninggalkanku dengan amat tega.
Tanpa perasaan, tanpa basa-basi, tanpa memikirkan perasaanku terlebih dahulu. Beni menjelaskan alasan-alasan dibalik keinginannya agar segera mengakhiri temali kasih dengan ku.
"Maafkan aku Fina, aku juga tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu saja. Tidak ada yang bisa menghalangi perasaan seseorang Fin. Mungkin ini takdir kita. Kita bukan ditakdirkan untuk berjodoh. Fin, kamu itu terlalu baik untukku. Aku mau mengisi hatiku dengan orang yang apa adanya. Aku berharap kamu melepaskanku dengan ikhlas dan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku yang cocok mendampingi wanita baik-baik sepertimu". Begitulah cara Beni mencampakkanku hari itu.
Sungguh betapa sangat lucu. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun lamanya untuk saling mengenali dalam segala hal, hanya tercerai berai sebab seorang wanita yang baru saja ia kenal belakangan. Bagaimana mungkin Beni bisa melakukan itu semua padaku? Nurani Beni telah teracuni panah asmara yang dibawa wanita baru itu.
Tapi, baiklah aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Kupikir putusnya temali kasih ku dengan Beni adalah petunjuk dari Allah bahwa Beni memang bukan yang terbaik bagiku. Hanya saja aku sedikit tenggelam dalam kesakitan agak lama. Sulit sekali aku melaluinya. Wanita yang hadir menyingkirkan diriku di hati Beni, pun aku tak mampu menyalahkannya, perasaan siapa yang bisa dicegah. Aku saja selalu gagal menahan laju perasaan cinta yang mengalir deras pada sosok Beni ku yang dulu.
Hanya sekejap saja, Beni benar-benar membuangku dari dalam hatinya sampai tidak bersisa. Mudah saja Beni menghapus seluruh fotoku dari akun sosial medianya, tidak meninggalkan satu pun. Kemudian mengupload satu per satu fotonya bersama kekasihnya yang baru. Sontak saja itu jadi berita hangat sebulan penuh. Tak terhitung berapa kali sudah pertanyaan mengapa terlontar dari semua orang yang mengenal hubungan kami. Menyisakan misteri bagi mereka. Aku pun tak ingin mengungkapkan apa-apa. Kubiarkan semua berlalu dan biarkan waktu dengan sendirinya mengobati hatiku.
•••
"Fin, apakah kita bisa memulai lagi semuanya dari awal? Feelingku bicara kamu masih punya perasaan sama denganku Fin, masih tetap seperti dulu kan? Aku masih selalu ada di hatimu kan Fin?", Tiba-tiba Beni mengatakan lagi kalimat yang tak ku sangka keluar dari bibirnya.
Setiap butir air mata yang mengalir lama-kelamaan menghapus lukisan kenangan bersama Beni. Aku sudah melupakan perlakuan apa yang pernah membuatku menjadi bahagia ketika disampingnya. Aku sudah melupakan apa alasan terkuat ku hingga bisa bertahan bersamanya. Well, Aku sudah lupa semuanya. Yang sedikit terbesit hanya luka-lukanya saja. Ya, itu saja. Luka yang Beni goreskan teramat dalam, hingga tidak lagi bisa aku melihat kebaikan dari kebersamaan kami yang lalu. Atau memang tidak pernah ada kebaikan disana sebenarnya. Sekarang semua sudah selesai seperti apa yang Beni mau. Aku dan Beni tidak lagi sepasang saling mendukung seperti dulu.
"Aku minta maaf Finaaa, tolong maafkan aku..."
Suara Beni parau, tertunduk seakan sangat menyesali perlakuannya dahulu padaku.
"Sudahlah Beniii... tidak ada yang perlu dimaafkan lagi", aku mengalihkan pandanganku pada layar handphone untuk menormalkan keadaan hatiku yang sesak menahan emosi, yang rasanya ingin sekali saat itu aku hamburkan saja. Aku berusaha ambil posisi santai dan tenang. Kubuka akun instagram agar fokusku teralihkan.
Hening lagi. Hening agak lama. Tak ada pembicaraan. Tidak ada gelagat apa-apa. Aku sibuk menatap layar handphone. Sedangkan Beni masih tertunduk diam di tempatnya.
Beberapa menit kemudian Beni kembali bicara, dengan nada memelas dan sedikit merendahkan diri.
"Fin, apakah kita bisa memulai lagi semuanya dari awal? Feelingku bicara kamu masih punya perasaan sama denganku Fin, masih tetap seperti dulu kan? Aku masih selalu ada di hatimu kan Fin?", Tiba-tiba Beni mengatakan lagi kalimat yang tak ku sangka keluar dari bibirnya.
•••
Tiga tahun sudah berlalu sejak hari Beni meninggalkanku dengan alasan yang tidak masuk akal untukku. Terkadang memang sesuatu yang sulit kita terima dalam hidup ini nampak tidak masuk akal dalam logika kita.
Hari itu adalah hari ulang tahunku. Ingat betul bagaimana Beni dan teman-temannya ada di depan pintu kontrakanku membawa beberapa kue ulang tahun dan kado. Memberi kejutan luar biasa membuatku menyeringai kesenangan. Terutama saat dimana Beni mendekatiku sambil mengatakan kata-kata yang masih jelas kuingat. Entahlah itu doa yang tulus atau hanya basa-basi untuk membuatku merasa berbahagia di hari spesialku itu.
"Semoga kita langgeng sampai maut memisahkan ya Fiin".
Sangking senangnya, aku tidak bisa berucap kata apa-apa. Hanya kegirangan dan mengaminkan setiap doa-doa yang disampaikan Beni. Wajah sumringah Beni membuat hatiku berbunga-bunga sampai seakan-akan di wajah Beni yang kulihat hanya cahaya berkilauan. Aku bahagia sekali menemui Beni dan teman-temanya datang demi memberi kejutan ulang tahun ku yang ke 20 tahun saat itu.
Perjalanan hubunganku dengan Beni sudah menginjak tiga tahun, bahkan tepat di hari ulang tahunku sudah tiga tahun enam bulan. Tidak ada yang tidak tahu mengenai hubunganku dengan Beni. Orang tua, keluarga besar, kerabat, sahabat dekat, teman jauh pun orang-orang yang hanya sekedar mengenal Beni semua tahu mengenai hubungan kami. Semua orang tau bahwa Beni sudah dimiliki hatinya olehku.
Kuceritakan sedikit. Dahulu saat pertama kali mengenal Beni semasa remaja. Ketika kami masih duduk dibangku SMA. Sebuah masa penuh kenangan saat masih hidup di kampung. Aku adalah adik kelas Beni. Setingkat dibawahnya. Pertama dekat dulu ketika aku jadi juniornya di salah satu ekstrakulikuler di sekolah. Seperti Beni yang sekarang, kekerenan Beni memang sudah terbangun sejak zaman SMA. Dia remaja populer yang namanya dikenal seantero sekolahan. Bukan karena prestasi akademik, tapi karena bakat leadershipnya hingga banyak mengepalai organisasi-organisasi yang mengharumkan nama sekolah, desa bahkan sekecamatan.
Saat berkuliah tak jauh beda, kemampuannya makin terasah. Beni jadi mahasiswa aktif, berorganisasi, aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan banyak lagi. Semakin terkenal dan membanggakan. Tentu, hal itu menyeret namaku ikut serta dalam hidupnya, sebab aku adalah kekasih Beni ketika itu. Teman-temannya akan jadi akrab denganku, apalagi rekan kerjanya, hal yang sangat aneh andai saja mereka tidak mengenalku. Aku hidup bersama ketenaran Beni, aku juga tenar sebagai perempuan yang dianggap menemani Beni dalam lika-liku perjuangannya.
Hari ulang tahunku menjadi hari terbahagia sepanjang tahun ketiga hubunganku dan Beni. Sekaligus kenangan terpahit. Hari itu, hatiku menyala terang oleh rasa bahagia karena Beni membuatku seolah tampil sebagai wanita yang beruntung sekali dia miliki. Semua temanku mengungkapkan ke irian mereka dengan hubungan ku yang begitu indah bersama Beni. Hari itu, sepertinya tidak ada selain rasa bahagia yang menyelimuti.
Seperti kebanyakan serial romance atau ftv di beberapa stasiun televisi yang penuh drama. Menawarkan intrik yang menguras emosi. Di dunia nyata bahkan tak jauh beda. Keretakan hubungan kami pun berangsur-angsur dimulai. Hanya berjarak beberapa hari dari ulang tahun ku.
Berawal dari Beni yang jarang sekali menghubungiku, tidak seperti biasanya. Saat aku coba tanyakan ke sahabat baiknya, mereka bilang Beni sibuk di beberapa kegiatan kampus belakangan. Kadang keluar kota, karna ada acara yang diagendakan diluar. Baiklah, untuk beberapa alasan masih bisa di toleransi. Beni sedang sibuk, toh sibuknya untuk hal positif, pikirku saat itu.
Namun, hampir sebulan Beni menghilang. Pernah mengabariku sekali. Itu pun untuk minta maaf karna sibuk, sementara tidak mau diganggu. Sampai selama itu belum ada yang mencurigakan dari gelagat Beni sebenarnya, sudah biasa Beni disibukkan dengan kegiatan bejibun semenjak SMA, sebagai pasangannya aku harus selalu bisa bertenggangrasa.
Entahlah, hal yang tidak disangka-sangka itu terjadi sejak kapan aku tidak tahu dan tidak ingin tau. Siapa sangka, jika pada akhirnya sebuah kesempatan membuat Beni bertemu dengan seorang wanita lain. Kemudian wanita itu meluluhlantakan segenap hati Beni yang sebelumnya hanya terisi penuh olehku. Wanita yang aku akui lebih baik dalam banyak hal ketimbang diriku ini.
Sejak itu hari-hari kami berubah, minggu ke minggu semakin banyak perubahannya. Sampai suatu hari dengan teganya Beni mendatangiku untuk menyayat luka begitu lebar. Tentu, untuk memutuskan hubungan kami dan meninggalkanku dengan amat tega.
Tanpa perasaan, tanpa basa-basi, tanpa memikirkan perasaanku terlebih dahulu. Beni menjelaskan alasan-alasan dibalik keinginannya agar segera mengakhiri temali kasih dengan ku.
"Maafkan aku Fina, aku juga tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu saja. Tidak ada yang bisa menghalangi perasaan seseorang Fin. Mungkin ini takdir kita. Kita bukan ditakdirkan untuk berjodoh. Fin, kamu itu terlalu baik untukku. Aku mau mengisi hatiku dengan orang yang apa adanya. Aku berharap kamu melepaskanku dengan ikhlas dan mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dariku yang cocok mendampingi wanita baik-baik sepertimu". Begitulah cara Beni mencampakkanku hari itu.
Sungguh betapa sangat lucu. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun lamanya untuk saling mengenali dalam segala hal, hanya tercerai berai sebab seorang wanita yang baru saja ia kenal belakangan. Bagaimana mungkin Beni bisa melakukan itu semua padaku? Nurani Beni telah teracuni panah asmara yang dibawa wanita baru itu.
Tapi, baiklah aku tidak bisa menyalahkan siapapun. Kupikir putusnya temali kasih ku dengan Beni adalah petunjuk dari Allah bahwa Beni memang bukan yang terbaik bagiku. Hanya saja aku sedikit tenggelam dalam kesakitan agak lama. Sulit sekali aku melaluinya. Wanita yang hadir menyingkirkan diriku di hati Beni, pun aku tak mampu menyalahkannya, perasaan siapa yang bisa dicegah. Aku saja selalu gagal menahan laju perasaan cinta yang mengalir deras pada sosok Beni ku yang dulu.
Hanya sekejap saja, Beni benar-benar membuangku dari dalam hatinya sampai tidak bersisa. Mudah saja Beni menghapus seluruh fotoku dari akun sosial medianya, tidak meninggalkan satu pun. Kemudian mengupload satu per satu fotonya bersama kekasihnya yang baru. Sontak saja itu jadi berita hangat sebulan penuh. Tak terhitung berapa kali sudah pertanyaan mengapa terlontar dari semua orang yang mengenal hubungan kami. Menyisakan misteri bagi mereka. Aku pun tak ingin mengungkapkan apa-apa. Kubiarkan semua berlalu dan biarkan waktu dengan sendirinya mengobati hatiku.
•••
"Fin, apakah kita bisa memulai lagi semuanya dari awal? Feelingku bicara kamu masih punya perasaan sama denganku Fin, masih tetap seperti dulu kan? Aku masih selalu ada di hatimu kan Fin?", Tiba-tiba Beni mengatakan lagi kalimat yang tak ku sangka keluar dari bibirnya.
Beni menceritakan seluruh kisahnya yang tidak aku ketahui semenjak kami putus. Dari cerita Beni yang kutangkap, wanita yang ia menangkan tiga tahun lalu untuk mencampakkan diriku ternyata memutuskan menikah dalam waktu dekat ini dengan pria lain. Sialnya, pria itu adalah sahabat dekat Beni sendiri, aku sendiri kenal betul siapa orangnya. Betapa malangnya Beni.
Mendengar alasan Beni yang menyatakan bahwa baru menyadari selama ini dia telah salah dan hanya aku lah yang terbaik yang pernah ada. Membuatku merasa muak. Walaupun sejenak mendengarnya sempat membuatku senang, "Yaa...terbukti bahwa kamu benar akan kembali", teriakku dalam hati. Namun, sayang sekali Beni sudah terlambat. Tidak ada lagi ruang dihatiku untuknya.
Iya, aku mungkin pernah merasa begitu terlukai. Tapi sejujurnya aku sudah melupakan kejadian itu. Lebih tepatnya aku sudah berusaha keras melupakannya. Harus kuakui berkali-kali Beni masih sering muncul dalam pikiranku. Hanya saja itu hanya hadir renungku, bukan karena merindu. Aku tidak lagi pernah mengharap rindu apalagi bertemu Beni. Beni selalu hadir sebagai bayangan hitam, kelam, seakan berisi penyesalan dan rasa takut akan kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Entahlah. Mengapa sepertinya ini adalah hukuman yang harus terus kutanggung. Bayangan Beni datang hanya untuk membuatku menangisi kebodohan-kebodohanku, sebab pernah terjebak dalam kisah cinta yang salah. Ya, semakin hari aku semakin tersadarkan betapa bodoh aku yang dahulu pernah membiarkan Beni masuk menerjang kokohnya pertahanan hatiku. Mengapa kala itu mataku seakan terbutakan oleh permainan Beni.
Sejak Beni pergi aku juga sudah pergi. Jangan dikira aku masih mau berdiam disana menunggunya. Tidak lagi. Seperti kata Beni, aku terlampau baik untuk dia. Aku tidak perlu bersikeras menunggunya memberi bahagia di hari nanti bukan? Karena Beni sudah pergi untuk kebaikan antara kami. Sudah jelas, dia bukanlah seseorang yang dihadirkan menggenapi diriku kelak. Bukan Beni wujud dari yang aku pinta dalam doa. Allah hanya membuat kami berpisah dengan cara-Nya.
Aku tersentak dari lamunanku saat suara musik berganti ke salah satu lagu kesukaanku. Lirik yang selaras dengan kondisi hatiku sekarang ini.
...
Pergi saja cintamu pergiBilang saja pada semua
Biar semua tahu adanya
...
Diriku . . . kini. . . sendiri. . .
Akhirnya, aku membulatkan tekad dan mengatakan semuanya dengan baik.
"Maaf Beni... mohon maaf sekali... sudah tidak ada kesempatan lagi. Semua yang berlalu sudah berlalu Ben, tidak bisa diulang lagi. Maafin aku... Semoga kamu segera mengobati lukamu hari ini yaa, sabar semoga cepat dapat pengganti. Maaf sekali pengganti dia bukan aku Ben". Aku menutup bicaraku sambil mengangkat tas jinjingku kemudian berjalan pergi meninggalkan Beni. Benar-benar pergi begitu saja.
Sepanjang perjalanan pulang, beberapa kali aku menyeka tetes air di ujung mataku. Pertemuan ini sangat sulit ternyata, kukira tidak mungkin bisa menumbuhkan kembali benih-benih rasa yang dulu sudah mati membusuk. Padahal baru saja aku kewalahan menahan perasaan yang masih sama seperti dulu kepada Beni. Tapi hari ini aku menyadari, bagaimanapun cinta bukan hanya tentang melupakan semua kesakitan untuk memulai lagi awal yang baru, ini tentang mempertahankan kehormatan diriku sebagai seorang wanita.
Move on. Inilah yang kujalani setelah Beni pergi. Sebuah usaha menghilangkannya dari ingatan. Sebuah upaya menetralkan rasa. Sebuah keinginan beralih dari segala hal yang sempat membersamai. Sebuah harapan menjadi lebih baik di masa mendatang.
Aku terisak dalam tangis yang panjang di grab yang aku tumpangi menuju rumah. Aku sudah bertekad. Menjadi baik setelah Beni tak ada. Bukan karena dia Bukan pula untuk dia. Ini tersebab aku yang baru menyadari Allah begitu menyayangi diriku. Ia jauhkan aku dari orang-orang yang salah sepertimu. Ia luruskan aku dari kesalahan langkahku. Membaikkan hidupku dengan memberi sedikit luka sebagai awalan.
Aku bersyukur, dulu Allah masih menegurku dengan membuatku menangis di malam-malam panjang sampai air mataku terkuras habis. Menangisi luka-luka yang masih menganga saat Beni baru saja beranjak. Namun setelahnya aku justru menjadi terampil dalam mengobati luka sendiri. Menjadi lebih kuat. Lebih tangguh.
"Aku selesai", kuazzamkan dalam hati paling dalam.
"Hari ini anggap saja sebagai kesempatan untuk benar-benar meyakinkan diri bahwa aku memang sudah mengakhiri semuanya".
Aku selesai pada titik akhir dari mengenang Beni di hidupku. Membayangkan Beni, juga dari menduakan Allah sebagaimana dahulu aku terbiasa. Aku berhak bahagia dengan semua yang Allah pilihkan dalam hidupku, termasuk dengan tidak adanya Beni di masa depanku.
"Hari ini anggap saja sebagai kesempatan untuk benar-benar meyakinkan diri bahwa aku memang sudah mengakhiri semuanya".
Komentar
Posting Komentar