Langsung ke konten utama

Perjalanan Menuju 14 July 2018



Masih teringat bagaimana rasanya untuk pertama kali melambaikan tangan sebagai tanda berpisah pada kebersamaan, yang sejak hari itu harus kupahami hanya akan terulang jika aku kembali. Kembali yang tidak bisa semudah membalik telapak tangan. Sebuah keputusan telah diambil setelah melewati pertimbangan panjang nan berat.

Bagi anak-anak Sumatera, pergi meninggalkan desa menuju kota perantauan dengan tekad kuat serta keberanian menghadapi segala lika-likunya, sudah menjadi hal biasa. Aku bukan satu-satunya yang memutuskan meninggalkan hangatnya kebersamaan demi merajut asa. 

Sejak dahulu kala, saat usia putra-putri Sumatera berada di ambang pintu kedewasaan maka sudah masanya untuk berpikir tentang hendak kemana ia pergi. Seolah tuntutan hidup memang mengarahkan bahwa untuk sukses maka jemputlah, pergilah ke tempat lain, sejauh mungkin kalo bisa. Seolah dunia akan terasa sempit jika tinggal di kampung saja. 


Pergi telah menjadi alasan biasa supaya dikemudian hari kesuksesan dalam genggaman menjadi berita pulang paling melegakan.

Di jaman milenial ini, berjarak bagai tak ada sekat. Jika dijaman nenek moyang, atau mungkin masih terasa hingga usia orang tuaku dahulu. Berkabar mungkin butuh perjuangan. Perjuangan menunggu tak ada habisnya. Tidak terbayang bagaimana luar biasa perasaan orang tua yang kerap kali mencemaskan buah hati nan jauh dimata. Kekhawatiran tentang sudah makan atau belum, sedang dimana, sehat atau sakit, atau perasaan berkecamuk lainnya yang hanya bisa dirasa dalam dada dan secepat kemudian diganti dengan doa-doa. 

Sepucuk surat berisi deretan pertanyaan ditulis  diawal bulan maka jawabannya belum tentu datang di akhir bulan. Barangkali butuh menunggu dua bulan lagi, enam bulan setelahnya atau jangan-jangan tidak pernah berbalas sekalipun. Sebab jarak membuatnya menjadi benar-benar kaku. Aku harusnya mensyukuri nikmat hidup dijaman serba instan ini. Agar rindu ku berbalas, kini hanya tentang seberapa sering jari mengklik tombol panggil atau mengetik pesan yang tak lagi butuh waktu lama bagiku menanti balasannya.

Empat tahun telah berlalu, berarti empat kali lebaran, empat kali sudah aku pulang. Bukankah lagi-lagi harusnya ku syukuri kesempatan pulang sesering ini. Ketika orang lain barangkali masih bergelut dengan segudang urusan hingga harus berulang kali menunda pulang.
Perjuangan empat tahun ku berakhir setelah menyelesaikan pergolakan dalam kehidupan perkuliahan di tanah sunda ini. Bapak dan mamak yang sepanjang hidupnya hanya selalu memberi tanpa berharap kembali. Mengingatnya, tergugah semangatku segera mempercepat langkah untuk menyelesaikan tugas besar yang semakin hari terasa semakin berat. Bagi mereka, tidak ada yang lebih melegakan selain mendengar berita bahagia dari sang buah hati, sesepele apapun berita yang datang. Pun sebaliknya akan begitu menyesakkan mengetahui secuil saja kesulitan yang berhasil diperbuat oleh seorang anak yang dimata mereka menjadi sosok pembawa harapan dan impian kesuksesan, sedikit atau bahkan jauh lebih baik dari titik pencapaian yang pernah mereka gapai.

14 July 2018, Alhamdulillah I am officially S.Ak setelah berjuang sebagai mahasiswa pindahan pada salah satu Universitas di Bandung, yang konon katanya demi lulus sesuai target maka butuh perjuangan ekstra, tapi Alhamdulillah ala kulli hal... Allah mudahkan justru diluar perkiraan ku sebelumnya.

Katanya pindah kuncir toga dari kiri ke kanan itu prosesnya bagaikan memindahkan beban bermuatan ribuan kilo dari kiri ke kanan, sungguh berat sekali. Apakah benar begitu? Hemm... Seperti perjalananku menuju salah satu kota besar Indonesia ini, demi beroleh gelar sarjana sebagai langkah perwujudan impian sederhana seorang gadis desa ini, sebenarnya susah-susah gampang. Berkat ridho dan tulusnya doa kedua orang tua yang senantiasa menyertai.

Mungkin setiap orang selalu punya kisah berbeda dan hanya mereka sendiri sebagai tokoh utama yang paham betul rasanya. Karena pahit manis atau asamnya dalam berproses setiap manusia sama Allah pasti dikasih dengan takaran yang berbeda-beda. Pahit bagiku belum tentu pahit bagi yang lain, pun sebaliknya.

Diawal masa kuliah di tanah sunda, aku mungkin pernah di posisi tersibuk. Bentrok sana-sini sebab harus mengejar beberapa jadwal yang mesti diambil kalo memang mau lulus tepat waktu. Adaptasi pada beberapa kelas berbeda harus dijalani. Hal biasa berada di lingkungan teman-teman seangkatan. Tapi jadi hal yang mau tidak mau dijalani ketika mata kuliah yang di ambil adalah mata kuliah semeter bawah yang otomatis meletakkanku bersama mahasiswa baru di tiga semester melelahkan. Bagiku tidak ada yang terlampau sulit jika mau dijalani sepenuh hati, setiap hal memang akan terjalani begitu saja seiring waktu berlalu.

Jangan sekali-kali mengira tentang biaya hidup dan biaya sepanjang perkuliahan ku senantiasa lancar-lancar saja. Aku pun salah satu yang terseok-seok dalam hal ini. Tapi Allah itu maha baik, beberapa kali aku terbentur dengan biaya ini dan itu. Berhadapan dengan kesulitan keuangan yang seolah jadi titik berat dalam hidupku tapi kadangkali justru mendatangkan jalan keluar tak terkira.

Sebuah kesadaran bahwa tidak ada doa yang sia-sia sebanyak apapun kita minta, selalu aku temukan jawabannya pada saat yang tepat. Allah selalu beri jalan keluar dengan cara-cara luar biasa, tanpa pernah bisa kutebak dari mana arahnya. Rezeki Allah ternyata memang bukan se sempit pemikiran tentang seberapa banyak harta yang mampu menghidupi kita di dunia ini. Sekali-kali tidak hanya tentang harta. Salah satu yang paling ku syukuri adalah betapa banyak Allah menghadirkan orang-orang yang punya kasih sayang setulus hati, mereka yang rela berkorban waktu, tenaga juga pikiran terbaik demi diriku ini.

Aku tidak ada apa-apanya dan tidak punya kemampuan apa-apa tanpa Allah, orang tua, keluarga, sahabat, juga orang-orang yang datang silih berganti membawa kebermanfaatannya masing-masing padaku. Selain nikmat usia, nikmat sehat, nikmat masih bisa mencapai apa yang aku ingini, nikmat dikelilingi orang-orang terkasih adalah alasan kenapa aku bisa berada di titik ini.

Allah itu Maha Baik ya...

Hari dimana aku bisa memeluk lega kedua orang tua ku. Hari dimana aku memberikan senyuman hangat bagi mereka yang tercinta. Hari bahagia karna ada tuntutan yang setidaknya telah lepas dari jiwaku. Hari yang semuanya jadi tentang mensyukuri segala yang ada. Ya hari itu adalah hari wisuda ku yang sangat sederhana tapi menjadi begitu terasa luar biasa karna dibaliknya ada perjuangan memeras keringat dan air mata mereka yang mesti ku ingat sepanjang masa. Hari yang pernah terasa begitu sulit digapai, tapi nyatanya bisa dicapai.

Setidaknya ada perjuangan yang telah usai. Bukan tentang akhir perjuangan orangtua. Karena percayalah sampai kapanpun tidak ada kata berakhir bagi orang tua untuk menopang putra-putrinya bahkan ketika sang buah hati telah berada di posisi mampu dalam segala hal.

Ini hanya tentang perjuangan menyelesaikan salah satu tugas hidup. Bagiku, wisuda seperti menaiki satu anak tangga fase kehidupan. Dari satu sisi nampak sebagai seorang yang telah berhasil menyelesaikan, sedangkan dari sisi lain nampak seperti pemula yang tengah meraba-raba kondisi untuk menginjakkan kaki kembali dalam fase lebih tinggi dengan tantangan lebih berat. Wisuda seperti moment untuk menyiapkan diri, sebab perjalanan hidup sebagai seorang pengemban amanah yang sesungguhnya hanya akan baru dimulai pasca wisuda.

Aku hanya selalu percaya, bahwa janji Allah tentang dibalik kesulitan selalu ada kemudahan adalah jawaban dari kegundahan, maka lagi-lagi nikmati saja prosesnya~ Satu fase dengan segala pergolakan telah usai, apa yang harus dilakukan setelahnya? Melanjutkan perjalanan tentunya, perjalanan yang hanya akan kita nikmati sekali ini bukankah menuntut untuk diselesaikan tanpa mengecewakan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...