Langsung ke konten utama

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru


Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap.

Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah. 

Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driver pengantar makanan sejenisnya adalah salah satu yang bikin kangen, lagi pengen apa kan tinggal buka aplikasi. Boro-boro bisa pesan antar makanan yang diinginkan, jualan makanan saja tidak variatif, mau makan martabak aja mesti nunggu hari pasar tumpah. Itupun hanya martabak kampung biasa. Hmm, begitulah...
 
Hidup di kampung dengan segala tuntutan penyesuaian mencipta kewalahan tersendiri. Kembali ke rumah memang menenangkan, tetapi terjun ke tengah masyarakat adalah kecanggungan yang butuh sekian energi untuk berhasil dilalui. Bertemu orang lama yang tak lagi melihat diri sebagai anak-anak atau remaja, bertemu orang baru yang menyangka diri terlampau asing. Beragam manusia yang tadinya saling kenal tapi menjadi tak sekenal itu rupanya, atau yang saling tak tahu-menahu malah menjadi akrab seolah tak ada batasan. Ah kisah beradaptasi memang kerap seunik ini.
 
Rumah yang ku tinggalkan demi merajut asa setelah menamatkan bangku SMA, menjadi tempat pulang untuk memulai kehidupan rumah tangga dari nol. Bahkan atas keputusan terjun ke dunia pelayanan masyarakat membuatku semakin banyak belajar mengenai tanah asal ku sendiri. Membantu berbagai persoalan yang berhubungan dengan masyarakat langsung agaknya membantu juga diri ini melebarkan sayap dalam bersosialisasi.
 
Meskipun yaa..., berbagai kemudahan atas segala akses yang kemudian ditinggalkan. Sudah harus mulai membiasakan diri. Tak ada tempat rekreasi, tak ada cafe-cafe aesthetic itu, tak ada mall, tak ada restoran atau tempat makan ala-ala yang bisa memberi hiburan kala lelah dan bosan menyertai. Ada sih beberapa tempat yang bisa didatangi seperti warung makan padang, warung pecel lele, warung makan pindang yang cukup legend juga sebenarnya, atau warung-warung yang menyediakan masakan-masakan khas, kedua minimarket andalan juga sudah ada dan cukup memudahkan. Tapi ya itu dia, bagi kami yang sudah pernah dibuat nyaman akan pilihan yang bervariatif jadinya apa yang ada ini terbilang sedikit dan kurang menyenangkan. Bukan tidak bersyukur, lagi-lagi namanya juga manusia..., ada aja maunya.
 
Jarak yang ditempuh untuk ke kota terdekat paling cuma satu jam saja, tapi yang namanya menyesuaikan waktu untuk berpergian bukan hal yang simple, terlebih setelah menikah ini. Terkait menyamakan jadwal kosong saja kadang memakan perbincangan dan pertimbangan cukup panjang. Tidak semudah cus ngeluarain motor dan on the way lah kemana kita mau tanpa terencana seperti biasanya hidup di perkotaan. 
 
Alhasil, menyenangkan diri sendiri kualihkan pada aktifitas yang lain. Sekedar menonton drakor pilihan, menulis di blog ini, mengorek resep-resep makanan dan berkreasi. Mencari kesibukan lain setelah menjalani rutinitas padat nan melelahkan. Agaknya, menjalani rutinitas berlapis-lapis seolah tak miliki waktu senggang. Padahal, ada kala bisa rebahan dan bersantai sejenak demi menghirup nafas lega. Beristirahat dari kesibukan yang memaksa diri berlarian mengejar alur rezeki. Layaknya manusia yang ingin hidup di dunia dengan baik-baik saja, aku merasa perlu bersungguh-sungguh perihal menggali rezeki. Meskipun materi tidak dibawa mati, setidaknya ia menghidupi beberapa jiwa semasa di dunia ini.
 
Lingkungan baru memang tidak menawarkan kesenangan dan ketenangan, sebaliknya justru memberi tekanan agar bisa menyesuaikan dimanapun dan apapun yang terjadi. Sama seperti kehidupan semasa awal-awal di kota Bandung, tentu berbagai penyesuaian telah memakan banyak pengorbanan rasa. Tapi bukannya pergi dan menghindar, malah dibuat menjadi terbiasa. Culture shock yang dahulu jadi bulan-bulanan pada akhirnya malah menyatu dengan diri seakan itu hal yang telah dipahami sejak dini. Cobalah untuk bertahan dalam berbagai perbedaan, sekalipun menjengkelkan. Tidak ada tempat yang benar-benar menentramkan selama ia masih beralamatkan dunia. 
 
Kehidupan bertetangga misalnya, tidak sesantai di perkotaan. Disini adat budaya masih dipegang teguh, ibarat kata masih membawa kebiasaan orang-orang zaman dahulu. Sehingga anak yang tebilang muda semacam kami agak lambat untuk memahami. Entah segala tatanan dikaitkan dengan mitos yang berkembang, atau segala kepercayaan yang terlontar melebihi pengetahuan dokter di dunia maupun ahli ulama. Emak-emak di desa bahkan memiliki mulut yang terlampau ceplas-ceplos dalam mengomentari orang lain. Tidak sekali dua kali diri terkaget-kaget pun terisak dalam tangis seketika mulut tajam begitu mudah melukai dinding hati. 

Namun, begitulah alur yang mesti dijalani. Kalo kata orang tua: "pandai-pandailah membawa diri". Dewasa ini yang kupahami dari kalimat tersebut, bukan tentang menjadi manut atau rela berkorban perasaan demi beroleh tempat di hati sesiapa. Tetapi tentang menjaga dan mengatur posisi, tidak semua perlu diurusi, tidak semua perlu dibuat senang, ambil jarak aman untuk beroleh hati yang lapang dan nyaman.

Jika perkumpulan menjadi hal yang wajib supaya tak terasingkan, maka lakukan seadanya, semampunya dan seperlunya. Tak usah mengobral banyak waktu pada kegiatan yang tidak penting-penting amat. Juga tak usah repot membangun image baik, toh semua orang bisa menilai sendiri. Hindari yang bukan urusanmu, buat batasan untuk hal yang tidak butuh campur tanganmu. Sebaliknya, jika kemampuan dan keputusanmu dibutuhkan maka lakukan setiap pekerjaan setulus hati. Kamu akan berarti bagi mereka yang merasakannya.

Mari kita nikmati dan syukuri apa yang ada hari ini. Semangat Ul🌵
 
#menatajejak 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...