Langsung ke konten utama

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan


 

Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan?

Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabelkan "Ibu". Seakan pasangan halal yang belum memiliki keturunan adalah sebuah cela yang berada pada level hina-dina.

Bahkan suatu waktu, seorang ibu-ibu tetangga dengan tega menyayangkan kondisiku ini dengan menambah lagi kalimat menyayat hati. Katanya, "Andaikan Mamakmu masih hidup, mana mungkin kamu dibiarkan begini, pasti sudah kemana-mana kamu dibawa berobat...". Hahaha betapa sok tahunya beliau, siapalah beliau yang bisa menebak bagaimana Mamakku bersikap terhadap apa yang terjadi sekarang. Justru, andaikan Mamak masih ada tidak akan ia biarkan mulut kejam itu menyakiti anak perempuannya ini. Andai Mamak masih ada, beliau tidak akan merasa perlu mempermasalahkan keadaan ini.

Seperti halnya kematian, kehamilan juga sebuah takdir yang tidak mampu ditebak kapan datangnya. Cepat atau lambat biarlah ia berjalan sesuai kehendak dan kuasa Sang Pemilik Takdir. Apalah dayaku sebagai manusia, jikalau usaha dan doa-doa bersama suami belum dikehendaki untuk terjadi. Karena semua harus tetap berjalan sesuai rencana terbaik dari-Nya, yang kami mampu hanyalah menunggu sembari kembali berikhtiar memantaskan diri. Sebab menjadi calon orang tua juga perlu banyak belajar.

Meskipun tidak bisa dipungkiri, belakangan aku banyak terluka oleh serangkaian pertanyaan berulang-ulang itu. Di sisi lain aku juga tengah berusaha untuk tidak terlalu tenggelam dalam dibuatnya. Kendati menutup telinga adalah hal mustahil, aku masih bisa berupaya menjernihkan pikiran dan menenangkan diri dengan sibuk pada hal yang lebih penting. Lagipula aku memiliki support system terbaik di sampingku, ialah suami yang mencintai apapun yang ada pada diriku.

Perjalanan pernikahan rumit ya, ujian yang datang berupa-rupa bentuknya. Entah muncul dari dalam rumah tangga itu sendiri atau malah dari faktor-faktor di luaran. Untungnya, memiliki cinta dan rasa percaya membuat semua sejauh ini terjalani dengan baik. Iya, katanya pernikahan kami masih begitu muda untuk bicara begini, tetapi bukankah semua rumah tangga menginginkan pernikahan yang baik-baik saja selamanya? Tidak hanya sampai akhir menutup mata, tetapi berlanjut pula bersama-sama hingga ke syurga.

Sebagai pasangan muda, aku dan suami bukan tidak menginginkan keturunan apalagi sampai melakukan berbagai upaya pencegahan. Sejak hari pernikahan kami sama-sama percaya bahwa apapun akan terjadi di waktu yang tepat, termasuk rezeki materi dan buah hati. Kami menjalani pernikahan selayaknya pasangan muda lainnya, berbunga-bunga dan penuh rasa saling percaya. Barangkali, masih belum tepat saja waktunya untuk kami menimang buah hati kala adik-adik masih lebih membutuhkan perhatian khusus. Nampaknya ada yang perlu diprioritaskan dahulu dan Allah hanya menunda sebentar saja kehadiran sang penyejuk hati di tengah rumah tangga ini, begitulah prasangka kami.

Atau yhaa, terlebih jika dipikir-pikir memiliki anak artinya sudah harus siap terhadap tanggungjawab baru yang lebih kompleks. Sedangkan masih terlalu cetek bekal ilmu parenting diri, manalagi kehidupan ekonomi dan perasaan labil di usia pernikahan setahunan ini. Banyak yang mesti kami perbaiki, dibangun dan dipupuk lebih lanjut, tentang belajar dan belajar lagi. Menjadi orang tua tidak pernah sesimple membicarakannya. Segala pergolakan di dalamnya kelak ialah sebuah zona yang tidak mungkin dihindari apalagi ditinggal pergi. 

Beragam saran dari orang lain sebagai upaya untuk bersegera menghadirkan jabang bayi di rahim ini memang betul tidak semuanya kami lakukan. Ada beberapa saran yang sebenarnya bisa kami terima dan ingin kami coba. Seperti meminum air rebusan rimpang-rimpangan sesuai resep JSR yang viral itu, atau rutin mengkonsumsi kurma muda yang dibawakan oleh seorang Ibu angkat suami langsung dari tanah suci, pun saran untuk memeriksakan kondisi kesehatan ke Dokter spesialis kandungan. Namun disayangkan diri ini agak bandel memang, tidak semua saran baik itu terkondisikan dengan sempurna. Kadang rajin tapi lebih banyak malesnya, yaa namanya juga manusia hehe. 

Di lain sisi, seperti yang kusampaikan di awal-awal lebih banyak dari saran malah menjurus pada kritikan tajam atau permintaan-permintaan tidak logis. Seperti berprasangka yang bukan-bukan terhadap aku dan suami. Atau ada yang malah mau mengajakku menemui seorang dukun ternama yang konon katanya sudah banyak pasangan berprogram dengannya dibuat berhasil. Atau, ada juga yang super duper terniat membawakan seorang tukang urut untuk memeriksa kondisi rahimku. Alhasil, yang terakhir bikin aku trauma dan nangis kejer ke suami. Memang suami tidak tahu dan aku sendiri berada dalam kondisi "ga enakan" jika saja menolak. Sejak kejadian ini, suami jadi marah ke mereka-mereka yang bertindak semena-mena, meminta semua pihak untuk tidak melakukan inisiatif apapun terhadapku tanpa sepengetahuan dia. Ah terima kasih suami, yang sudah memahami segalaku.

Tapi aku jadi belajar satu hal lagi, bahwa tidak semua yang dikira baik itu bisa diterima orang dengan baik pula. Kemungkinan semua inisiatif yang datang sekalipun tidak logis atau bahkan annoying, selalu berangkat dari rasa peduli terhadap orang yang "dianggap berarti" bagi mereka. Meski demikian, tidak semua tindakan bisa dimaklumi. Ada baiknya justru belajar memahami batasan-batasan dalam bertindak, terkesan tidak ikut campur terlalu dalam. Sehingga barangkali bisa menyelamatkan mental seseorang dari trauma dan rasa sakit hati, juga terhindar dari keributan atau perpecahan keluarga akibat kesalahpahaman ini. 

Prosesku menerima takdir baik berupa seorang keturunan adalah proses yang ingin aku jalani dengan tenang. Tidak terburu-buru apalagi sampai memaksakan diri. Tubuhku sendiri merupakan aset berharga dari Allah yang mesti kujaga sebaik-baiknya, aku tidak ingin terlampau menyiksa diri atau merasa perlu menderita untuk mendapatkan yang belum ditakdirkan untukku. Biarkan waktu berlalu, dan Allah memberikan jawaban. Mari kita tunggu saja kabar baiknya :)

#pojokjeda by @zulfannisafirdaus

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...