Langsung ke konten utama

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

 

Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu?

Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang.

Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya perihal mimpi gigi copot empat buah yang masih menyisakan gundah. Apakah kami harus menerima kehilangan lagi?

Tidak menyangka, Bapak dan Mamak berpulang selang hitungan bulan saja. Nampak beruntun badai kehilangan menerpa kehidupan ini. Kehilangan berat yang harus diterima dalam waktu yang terlalu berdekatan. Bagaimana hati dan kepala ini tidak sesak dan ingin meledak?

Padahal hari-hari setelah Bapak pergi aku sudah tidak baik-baik saja. Hilang kendali diri, hancur dan depresi. Tadinya kupikir aku masih punya Mamak sebagai satu-satunya tempat bersandar diri. Namun sayangnya Mamak pun ikut pergi menyusul Bapak. Bagaikan melayang kehilangan pijakan, kebingungan mencari pegangan. Entah berapa banyak tangisan histeris, tak sekali bahkan sampai memukul diri sendiri, teriak meluapkan kesakitan yang tak terbaca mata orang sekitar. 

Ternyata, cukup lama aku kehilangan diriku, dihinggapi perasaan berkecamuk yang tidak mampu terjabarkan. Terkadang, merasa ingin menyalahkan orang lain, namun seringnya berakhir dengan menyalahkan diri sendiri atas segala kekurangan ini. Penyesalan yang menjadi-jadi; Mengapa belum mampu membahagiakan keduanya? Menjelma seperti orang tidak waras, atau sebenarnya memang diriku sudah kehilangan waras?

#pojokjeda #jejakluka @zulfannisafirdaus

Picture from Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...