"Kamu sudah berjuang sangat keras, adikku...", ujarku. Diikuti air mata yang mengalir deras di pipi.
Malam itu aku menerima panggilan telepon dari adik perempuan yang berada jauh di pulau seberang. Tidak disangka bahwa bincang-bincang kami akan memakan waktu panjang hingga berjam-jam. Seperti sudah ter-setting, jika biasanya obrolan putus-putus akibat jaringan yang tidak mendukung, atau bahkan terdistraksi oleh beragam hal, tetapi tidak kali itu... deep talk dadakan kami justru mengalir bebas hambatan.
Banyak tema yang kami bahas, sehingga bukan main energi yang habis terkuras untuk menjadi pendengar sekaligus penghibur. Tentang dilema pendidikan yang ditempuh, tentang lingkungan kerja, tentang keadaan mental, tentang trauma kehilangan dan trauma masa lalu yang masih mengambang. Ah yaa, sungguh rumit kehidupan dewasa ini.
Perjuangan menempuh pendidikan memang tidak mudah. Apalagi, harus dibarengi dengan ujian ekonomi berikut ujian kehilangan bertubi-tubi. Kalau ada yang bilang, ini adalah sebuah pembelaan, maka aku akan mengatakan "iya". Jika bukan aku yang membela, maka siapa lagi? Aku adalah orang dalam yang tahu betul kondisi yang terjadi. Bagaimana mungkin, orang luar yang sebenarnya tidak pernah membersamai perjuangannya merasa berani mengkritik dan sok tahu. Sangat tidak adil bagi adikku, jika harus menerima serentetan kalimat julid dari orang-orang yang bahkan tidak pernah memberikan kebermanfaatan apapun terhadapnya.
Menilik ke beberapa bulan sebelumnya, dia sempat mengabari akan
melaksanakan ujian proposal setelah tertunda satu tahun. Berita
ini sungguh membahagiakan bagi kami yang paham sekali sebesar apa upaya untuk sampai di titik itu. Pun, setelah memberi kabar
lanjutan bahwa ia berhasil melewati ujian proposal tetapi harus
mengganti objek penelitian. Kami tidak banyak berkomentar selain
menyemangati. Itu artinya, sebagai keluarga yang real ada campur tangan
kami dalam setiap prosesnya, tidak menuntut ini dan itu selain
membuka penerimaan dan kepercayaan yang utuh. Lalu, mengapa orang yang
bahkan tidak ada campur tangan apapun boleh merasa bebas berkata
kasar dan menyakiti? Sungguh membuat terheran-heran...
Setelah mendengar penjelasan apa yang harus dilakukan menuju langkah berikutnya, jujur saja aku sendiri dibuat agak kaget karena baru tahu kalau di Fakultas Tekhnik untuk sampai ke sidang akhir butuh melalui banyak step. Kalau dibandingkan dengan aku dahulu semasa menyelesaikan Pendidikan Sarjana Akuntansi kok ya ga gini-gini amat musingin, banyak banget perasaan bedanya. Tapi yaa... sudahlah, selama adikku bisa menjalani yang aku mampu hanyalah mendukung.
Kuliahnya Awa kok ga kelar-kelar? kata sebagian orang yang seenak jidat ngeluarin pertanyaan tidak berbobot ini. Pengen sih pura-pura tidak dengar saja, lagipula ga haus akan validasi kok sampe harus melulu klarifikasi. Cuma seringnya orang tuh egoisnya kelewatan, terlampau memaksakan supaya rasa penasarannya terjawab. Padahal tidak memberi bantuan atau insight apapun, hanya sebatas kepo.
Ada banyak faktor permasalahan yang terjadi. Mengakibatkan adikku ini harus berlapang dada menerima dirinya dikategorikan sebagai mahasiswa yang tidak dapat selesai tepat waktu. Dalam beberapa kesempatan, dia menyimpulkan skipsinya gagal dan mempertanyakan kenapa bisa segagal itu? Padahal sudah berjuang sangat keras, tetapi belum mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Bukan waktu yang sebentar, bukan biaya yang murah dan bukan tidak lelah.
Pertama, adikku ini sesungguhnya tidak punya minat dan bakat di dunia percodingan. Berangkat dari dorongan yang terkesan menekan untuk memilih jurusan sesuai trend, akhirnya membuat dia terjebak dalam zona tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini berdampak sekali, apalagi jika ia berada dalam lingkungan dimana teman-teman sekitar adalah orang-orang yang expert atau minimal memang hobi. Sangat menyiksa bukan? Jika redup sendirian di tengah lingkungan yang menyilaukan. Ketika dia justru bisa bersinar di tempat lain (baca: jurusan yang diminati).
Kedua, ditengah pendidikan harus dihadapkan dengan pandemi covid yang melanda pada tahun 2020 lalu. Pada masa itu segala lini kehidupan berada dalam ketidakpastian, tidak terkecuali kehidupan ekonomi keluarga kami. Universitas meliburkan mahasiswanya beberapa bulan tanpa ada kejelasan kapan masuk kembali, sehingga adikku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dan terjebak lockdown. Bimbingan virtual pun dijalani, tetapi tidak mudah. Dosen pembimbing ghosting, sulit mendapat acc judul, fasilitas yang tidak mendukung akibat keadaan ekonomi yang sedang down.
Ketiga, episode-episode kehilangan yang menghancurkan harapan dan tujuan hidup. Faktor ini ialah yang paling berat kurasa. Sayangnya, ia harus merasakan semua ini di tengah menempuh pendidikan. Di tahun 2020, kami harus kehilangan Ombai/nenek kami yang tinggal satu-satunya. Semenjak Ombai tiada mempengaruhi kondisi kesehatan Mamak, sehingga beliau sering sekali jatuh sakit. Lalu tidak bisa diprediksi, pada tahun 2022 kami harus merelakan Bapak berpulang ke pangkuan Allah secepat kilat tanpa banyak pertanda. Belum pula habis rasa sakit kehilangan itu, dan lagi-lagi... delapan bulan kemudian kami melepas Mamak pergi menyusul Bapak.
Melihat adikku masih sehat dan mampu menjalani hidup dengan waras selepas semua itu, sudah cukup membuat aku bersyukur. Tetapi nyatanya menjadi waras bukan tanpa upaya.
Aku berbangga hati, sebab Alhamdulillah untuk saat ini adik tengah sudah bekerja di sebuah perusahaan kecil di Bandung. Demi meringankan pundak kakaknya dia berusaha mencukupi kebutuhan pribadi dengan hasil keringat sendiri. Mulai dari biaya tempat tinggal, biaya makan dan biaya transportasi sudah tercover dari gaji bulanan. Sedangkan aku hanya tinggal menambal sedikit kekurangan dan memikirkan biaya pendidikan saja. Atas usaha dan perjuangannya untuk belajar bertahan hidup, berada di titik ini adalah sebuah pencapaian menakjubkan yang selalu aku apresiasi dengan rasa bangga.
Bukan tidak khawatir, bagaimanapun adikku ini perempuan yang tinggal hanya seorang diri di kota rantau nan jauh dari pengawasan. Tetapi, keyakinan akan perlindungan Allah kembali membuat aku tenang. Allah sudah menjamin rezeki setiap hamba yang bernyawa, rezeki itu mungkin juga berupa dipertemukan dan dikelilingi orang-orang baik. Semoga atas segala kekurangan yang jauh dari jangkauan mata dan tangan ini, mampu dicukupkan oleh Allah yang Maha Kaya dengan segala cara-Nya.
Kalo boleh bilang, kami benar-benar tidak pernah membayangkan alur takdir membawa kami pada kondisi nasib begini. Mau apa dikata, namanya sudah kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Namun, bagaimanapun apa yang diberikan-Nya adalah yang terbaik untuk kami. Dengan berlapang hati kami menerima segala keputusan Allah atas jalan cerita hidup, pun bila ia berada jauh di luar ekspektasi. Toh, bukan berarti kami tidak pernah diberi kebahagiaan sejauh ini. Terlalu banyak nikmat yang hadir tanpa melalui prasangka dan permintaan, juga tidak terhitung betapa banyak doa-doa yang dilangitkan terwujud seperti sebuah keajaiban.
Oleh sebab itu tidak boleh ada kata menyerah...
Bahkan ketika adik tengah dikerumuni oleh faktor negatif yang memperlambat langkahnya. Sebagai kakak sulung yang telah berubah peran sebagai pengganti orang tua, aku akan memperjuangkan segala. Tidak ada yang tidak mungkin bukan? Aku sangat yakin bahwa adik-adik akan beroleh kehidupan yang tentram dan masa depan yang indah. Kerenanya, lelah yang kurasa tidak akan pernah terasa menyiksa.
Adikku, ketika aku berada diusia sepertimu pun aku tidak jauh lebih baik darimu. Kamu sudah hebat, mampu bertahan meski diterpa dengan banyak badai ujian. Entah menyelesaikan pendidikan ataupun menyelesaikan urusan penting lainnya, ialah kamu yang memegang kendali. Tidak akan ada paksaan dan tekanan lagi, bahkan kakakmu ini akan menjadi garda terdepan perihal melindungi. Tidak apa-apa sedikit lambat daripada berhenti dan tidak beroleh hasil apapun. Kita tidak pernah tau takdir baik apa yang akan kita peroleh kelak. Terus saja percaya bahwa Allah pasti melihat upaya, doa dan air mata.
Mungkin memang perih telapak kaki yang sudah melewati terjal dan panjangnya jalanan bebatuan. Trauma diperlakukan tidak manusiawi. Kehilangan orang-orang terkasih. Menahan gejolak rasa, baik emosi dan kasih sayang karena khawatir bertepuk sebelah tangan atau dianggap berlebihan. Menunda begitu banyak keinginan demi kebaikan yang lain. Takut menyuarakan pendapat karena takut dikira melawan atau sok tahu. Menangis pun serba salah, aktivitas melegakan yang dianggap sebagai bentuk kelemahan, berontak dan kurang bersyukur. Lihatlah adikku, betapa berat tempatmu bertumbuh tapi kamu mampu sampai di posisi sekarang ini.
Adikku, bagi kami kamu terlahir sepesial. Keberadaanmu di dunia menjadi pelipur lara selepas Mamak dan Bapak kehilangan anak kedua. Cukup lama menjadi adik kecil yang dicintai seluruh keluarga. Bahkan ketika adik bungsu muncul, kamu tetap memiliki ruang yang besar di hati Mamak dan Bapak. Tidak ada yang berubah dari kasih sayang mereka. Kita saja yang aneh, mengapa begitu sering sibuk salah sangka, menerka siapa diantara kita yang mendapat porsi cinta lebih besar.
Dunia kerja yang kau jalani hari ini tidak akan luput dari permasalahan. Bila merasa sanggup mengemban dua amanah sekaligus, juga merasa bisa membagi fokus. Maka tidak salah untuk dicoba. Sebab pengalaman adalah pelajaran yang berharga bukan? Sebaliknya, jika keduanya terasa berat dijinjing di waktu yang bersamaan, maka tidak salah juga bila melepaskan salah satunya. Terkhusus kakakmu ini tidak akan pernah menekanmu agar memilih apa yang baik menurutku saja. Kamu berhak menentukan jalanmu sendiri.
Peluk erat inner child mu, kamu sudah bertumbuh, layak untuk sembuh dan bahagia dengan utuh. Tidak ada masa lalu yang bisa terhapus atau dikubur dalam-dalam. Bagian terburuk atau sangat menyakitkan itu tetap menjadi bagian dari diri yang mustahil terlepas cuma-cuma. Tidak apa jika membenci beberapa orang yang telah dengan tega menggores luka dan trauma, sebab mereka pantas untuk tidak diberi tempat. Percayalah setiap orang akan mempertanggungjawabkan setiap tindakannya sendiri.
Semesta adalah tempat singgah yang teramat singkat adikku, melangkahlah...
Komentar
Posting Komentar