Langsung ke konten utama

Jejak Luka #10 : Apakah aku seorang kakak yang baik?


Aku si anak pertama, cucu pertama, sekaligus keponakan paling tua. Aku terlahir untuk menyandang gelar Kakak. Iyaa, bahkan orang-orang pun menyematkan namaku dalam nama panggilan kedua orang tua. Setelah keberadaan ku di dunia, nama Bapak berubah menjadi Bapak Ulfa dan nama Mamak pun berubah menjadi Mamak Ulfa. Di tengah-tengah keluarga, seorang Ulfa dikenal sebagai anak pendiam dan dingin. Tidak punya banyak teman, kerjaannya diam di rumah, si paling "kerajinan", sangat sensitif, cuek dan suka marah-marah. 

Kedua, ada adik perempuan ku. Si anak tengah. Anak paling terkenal sampe-sampe setiap orang selalu salah kalo manggil aku pasti nyebut nama dia; Awa. Maklumlah, dia ini si ceria kesana kemari. Temannya semasa sekolah Masya Allah bejibun, sampe teman aku pun jadi teman dia juga sangking mudah akrab sama orang lain. 

Ketiga, ada si bungsu kesayangan. Anak laki-laki pertama dalam keluarga, hobi makan makanya punya badan paling gede dan sering dipanggil Abang Gendut. Nah dia satu frekuensi nih sama si tengah, soal kebolehan berbaur dengan orang banyak. Bukan lagi temanku jadi temannya, tapi ibu dan bapak temanku jadi temannya dia. Kebayang ga tuh? Buat aku yang cuma punya seuprit teman, yang begini nih udah keren pake banget. Soalnya, dalam sejarah pertemanan ku mana pernah bisa ngumpulin teman main sampe 30 orang lebih di rumah kalo ga ada acara-acara tertentu aja. Lah dia, tiap hari dikelilingi teman main makan tidur segitu banyak.

Tiga anak, tiga sifat kata Mamak. Memang betul, walaupun terlahir dari rahim yang sama juga membawa gen ayah yang sama kami tetap tumbuh menjadi tiga karakter berbeda. Mungkin ada lah sama, tapi porsinya mungkin cuma 40%, 60% atau malah cuma 1% saja.

Beruntung, kami tumbuh besar dalam kasih sayang yang cukup. Sedikit mendapat perbedaan perlakuan dari orang tua, karena kami memang berada di usia yang berbeda. Sebagai anak pertama sering dikira lebih diprioritaskan, padahal tidak juga. Ada waktunya bagi masing-masing kami mendapatkan perhatian lebih. Semisal, aku yang kebetulan lebih dulu menjelajahi dunia perkuliahan sudah pasti perhatian dalam bentuk materi sementara terpusat padaku. Lain kesempatan, adik tengah yang butuh periksa mata dan beli kaca mata baru menjadi lebih penting daripada segala jenis kepentingan keluarga. Pun, si bungsu yang apa-apa maunya lebih banyak dikabulkan, ya karena memang dia punya usaha dan berhak mendapatkan apresiasi. 

Menjadi seorang kakak dari dua adik tidaklah mudah. Dahulu, di usia sekitar 20 tahun dimana masa-masa pencarian jati diri aku kerap merasa terbebani dengan label anak pertama. Merasa stress memikirkan bagaimana cara supaya bisa jadi panutan dan sandaran adik-adik. Apakah mampu menanggung hidup mereka kelak? Segala tanya yang memusingkan dibiarkan memenuhi kepala terus-menerus sampai di titik bingung mau melangkah kemana.

"Apakah aku sudah menjadi kakak yang baik untuk adik-adikku?"

Sering aku melontarkan tanya ini, kepada diri sendiri. Merenungi hingga ruang hati paling dalam. Rasanya aku hanyalah seorang gagal, kakak yang tidak berbuat banyak. Seperti tidak ada yang bisa aku banggakan sejauh perjalanan dewasa ini bila terkait kebermanfaatan ku untuk adik-adik. Lalu, jika sampai hari ini tidak ada maka sampai kapan terus begini? Hey, Aku...

Harapan ini, adik-adik masih menyayangiku dengan apa adanya. Memberi ruang penerimaan atas diriku yang belum ada apa-apanya ini. Masih mau memelukku dalam beratnya hari-hari dan namaku masih tetap menjadi hangat di hati mereka. Tidak lebih, aku hanya ingin tetap dicintai. Apakah boleh begini?

Semoga saja masih boleh. Terlebih di masa sekarang ini, dimana kami hanya memiliki satu sama lain. Hanya bertiga tanpa dibersamai orang tua lagi. Andai tidak saling berpegangan tangan, lalu bagaimana caranya bisa bertahan? Ketika rasa sayang, keberadaan, kepedulian, dan validasi menjadi sebuah kebutuhan bagi kami.

Dua bulan berlalu sejak kami melepas kepergian Mamak dengan tangisan yang menjadi-jadi. Setelah delapan bulan melanjutkan hari-hari nan berat tanpa kehadiran Bapak disisi. Apakah sungguh berat? Tidak, mungkin bukan berat lagi tapi sampai di batas tidak mampu. 

Di hari pemakaman Mamak, aku menangis sesenggukan di atas batu nisan Bapak, sembari berkali-kali mengulang pertanyaan yang sama; "Kata Bapak Uul harus kuat dan sabar, tapi Uul ga kuat Pak, Uul harus gimana?" 

Entah puluhan atau sudah ratusan kali aku mendengarkan nasihat orang-orang di hari itu untuk menjadi kuat pula. Aku dibiarkan menangis sampai lega walaupun tangisan itu tidak pernah berakhir lega. Namun, aku menemukan alasan baru untuk bertahan; adik-adik. 

Seusai pemakaman aku berusaha mengangkat pundak tegap, menahan air di kantung mata, mengambil nafas dalam-dalam dan menahan sesak sembari mengapit dua bibir supaya suara pilu itu tidak pecah kembali. Mengambil kendali semua urusan; mulai dari menyambut tamu yang bertakziah dengan senyuman terima kasih, berbelanja menyediakan serba-serbi perdapuran, menyiapkan makanan dan minuman untuk tamu, mengatur penataan rumah untuk pengadaan tahlil, ngulom/ngundang, menjadi bendahara utama, hilir mudik kesana kemari tiada henti. Seketika ingin rasanya membelah diri menjadi banyak. Namun aku hanya bisa menepuk dada demi menguatkan diri, karena aku hanya punya aku dan adik-adik hanya punya aku dan sepenuhnya mengandalkan ku.

Setelah hari itu aku tidak menangis hebat lagi.

Sejak keputusan menguatkan diri dan mengalihkan emosi untuk mengelola keadaan, yang kukira adalah pilihan paling tepat. Seperti dugaanku, tepat di malam ke-40 kepergian Mamak, akhirnya aku kembali meledak. Diriku yang pura-pura kuat menghamburkan semua emosi yang berdesakan terpendam selama sebulan penuh dengan menangis tidak terkendali. Berteriak, memukul diri, hingga berhasil membuat keramaian. Tetangga sekeliling rumah, beberapa teman adikku, menatapku dengan wajah iba pun beberapa ikut menumpahkan air mata. Adik bungsu berkali-kali memegang pundak dan mengusap ubun-ubun kepala ku berusaha menenangkan, hingga tangan suami yang panik terasa dingin menggenggam erat.

Pada diriku yang menghamburkan sesak malam itu aku menyadari; aku hanyalah manusia biasa dan aku juga bisa menangis luar biasa. Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi kehilangan. Kembali, menjadi anak pertama tidak mudah dan mungkin tidak akan pernah mudah. 

Tentu, menjalani posisi sebagai si tengah dan si bungsu juga pasti sama sulitnya. Perbedaan hanya pada kondisi mental dan pengalaman. Kami bertiga sudah pasti sama-sama berjuang, tidak ada yang lebih menderita atau lebih beruntung, semua berada pada pusaran masalah yang sama. Karenanya, meski menjadi yang pertama tidak ada yang bisa aku sesalkan. 

Melainkan, aku bersyukur dan sangat bersyukur berada dalam posisi ini. Jika waktu bisa diputar dan takdir boleh diubah, aku tidak berencana menukar posisi dengan kedua adik. Menjadi kakak adalah anugerah bagiku, mengemban amanah sebagai panutan sekaligus tempat berteduh bukankah sebuah keistimewaan? Iya, aku akan terus berusaha mensyukurinya, sekalipun ia terasa berat.

Selepas kepergian Mamak, beberapa masalah tidak disangka berdatangan. Menghadap ku yang tengah sendirian, yang tengah jauh dari suami. Persoalan demi persoalan besar menuntut untuk diselesaikan dengan cepat dalam waktu yang sangat singkat. Tidak terbayangkan di usia ini aku harus menghadapi masalah sebesar dan sepelik itu. Aku sudah naik level lagi ternyata. Tingkat kesulitan yang harus aku selesaikan jauh meningkat. Saatnya memutar otak, mempercepat gerak, dan menahan sakit lebih sering. Hingga satu per satu masalah pun teratasi. Lagi-lagi alasan kuat bertahan dan mencari jalan keluar adalah; adik-adik. 

Allah tidak salah memilih pundak. Meskipun aku merasa tidak berdaya, tetapi Allah terus saja menempa ku di jalan takdir yang berliku dan berkerikil tajam. Entah hal besar dan indah apa yang akan Allah hadiahkan kelak?

Ya Allah aku ikhlas.

Ya Allah jika ini memang baik untukku. Maka kasihanilah aku, ampuni diri ini atas keluh kesah yang terlanjur terlontar, berikan aku kekuatan, bantu aku menuntaskan semua masalah, dan izinkan aku menerima nikmat indah darimu sebagai kebahagiaan setelah segala kesedihan yang telah dilewati

Ya Allah jika menjadi seorang kakak adalah sebuah kebesaran bagiku, maka maafkanlah diriku yang telah lalai dan kurang dalam membersamai adik-adik, lapangkan hati mereka dan bukakan mata mereka untuk tetap mencintai diriku, luruskan dan terangkan jalan mereka mencapai impian dan kesuksesan dunia serta akhirat.

Aamiin...

#pojokjeda #curitauul

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...