Dia bukan adik kecil lagi. Dia bukan anak bungsu nan manja lagi. Dia tidak lagi imut-imut menggemaskan. Dia tidak banyak minta ini-itu, bicaranya sudah lebih tertata, kritis dan terbuka. Dia mengambil alih beberapa urusan orang dewasa, mengambil kendali bagian yang dulu menjadi tugas Bapak semasa masih ada. Kadang kali dia menangis sesenggukan, menyatakan rasa rindu yang tak kunjung berujung lega. Kadang kali dia terlihat paling kuat di antara kami, tidak menyuguhkan ketenangan lewat kata tapi lewat perbuatan yang membuat orang dewasa seperti kami terkesima. Iya, dia adikku. Saudara kandung laki-laki satu-satunya.
Kepedihan ditinggal Bapak adalah takdir paling sakit yang harus kami hadapi sekeluarga. Bagi Mamak, ia telah kehilangan pendamping hidup dan belahan jiwa. Sedangkan bagi kami bertiga, kami telah kehilangan cinta pertama dan tempat bergantung hidup. Aku yang sudah berada di usia dewasa ini saja tidak mampu menyikapi rasa kehilangan ini dengan cara dewasa. Maka bagaimana kiranya dengan adik-adik?
Si bungsu yang hampir seumur hidup tidak terlepas dari pengawasan Bapak pasti tidak membayangkan harus berdiri tanpa beliau di usia yang terlalu dini. Dipaksa kuat oleh keadaan disaat raga dan mentalnya belum mumpuni. Rasa sedih dan takut akan hari esok yang masih menjadi misteri pastilah menghantui hari-hari masa remaja. Baginya, trauma kehilangan ini barangkali satu dari sekian rasa sakit yang tidak akan pernah sembuh.
Kronologi hari kepergian Bapak menyimpan kisah berbeda pada masing-masing kami. Ketika berita menakutkan itu sampai ke telingaku saat berada di kantor, adik kedua sedang ada di kosan dan si bungsu sedang melangsungkan kegiatan belajar di dalam kelas. Langkah terburu-buru seorang tetangga kami yang panik bahkan tidak sadar berlarian tanpa alas kaki menuju ruang kelas si bungsu mencipta kehebohan luar biasa, seluruh mata seketika memandang iba dan tak sedikit menitikkan air mata. Moment ini pastilah menjadi luka yang sulit terlupa.
Aku saja yang sepanjang jalan pulang dari kantor bersimbah air mata, lalu bagaimana kiranya adik kecilku disana yang melangkah gontai membawa hati yang sudah hampa. "Tidak apa-apa, pasti tidak apa-apa". Begitu serangkaian harapan yang berputar di kepala kami semua, kami tetap dengan keyakinan bahwa Bapak akan baik-baik saja dan pulang dalam keadaan sehat. Disela ketakutan, masih besar ingin kami datang mukjizat dari Allah yang Maha Kuasa. Tetapi, lagi dan lagi keputusan Allah selalu berada di luar ekspektasi kami. Mungkin ini sudah maunya Allah, kami harus ditempa lagi dengan ujian kehilangan yang lebih berat.
Sekelabat kenangan masa kecil adik bungsu mengambang ke permukaan.
Dulu, waktu orang tuaku dan si bungsu tinggal di Belitang sementara aku dan adik kedua tinggal bersama Ombay. Setiap libur semester atau libur menjelang lebaran kami biasanya akan menghabiskan waktu bersama. Jarak antara kediaman kami di Campang Tiga ke Belitang kurang lebih menempuh waktu satu sampai dua jam. Kami berada di pedesaan sedangkan orang tua berada di sebuah kota kecil, lebih tepatnya di tengah Pasar Gumawang. Saat itu orang tua menjalankan beberapa usaha; mengelola salah satu cabang counter handphone milik adik Mamak, membuka warung mie ayam, menjual pempek dan kemplang, juga berbisnis tupperware pada masa jayanya kala itu.
Seperti kataku sebelumnya, tidak sering kami berkunjung, tidak sering kami berkumpul. Hanya bila libur tiba, atau sesekali Mamak dan Bapak menjenguk kami bergantian di rumah Ombay. Itupun cuma sebentar, menginap semalam atau bahkan pulang pergi. Kehidupan mandiri aku dan adik kedua sudah dibangun sejak kecil.
Seingatku, pertama kali kami berpisah dengan orang tua adalah saat pertama kali aku masuk SMP dan itu berarti adik kedua masih duduk di bangku kelas 5 SD. Hhmm, sedetik mengenang saja tidak habis heran ku pada perasaan kami ketika itu. Entah bagaimana bisa kami menerima perpisahan yang mestinya cukup berat, bukan?
Lalu, bagaimana dengan si bungsu, usia berapakah dia saat itu? Kalo saja ada yang bisa menebak hehe. Masih balita, kalo tidak salah ingat aku kelas 3 SMP saja dia masih TK.
Anak kecil kesayangan Mamak ini tidak pernah jauh dari ketiak Mamak. Kalo kata Mamak, nyawanya Mamak yaa dia ini. Tapi, ga salah juga sih. Perasaan sayang kami berdua sebagai kakak pun terhadapnya tidak berbeda, bagi kami dia juga bak nyawa. Jauh kami rindu, dekat kami manja-manja.
Siapa sangka anak manja kesayangan keluarga ini telah bertumbuh hebat dan menjadi tulang punggung di usia remaja? Ternyata dia bukan anak mama yang bersembunyi di balik punggung Mamak, melainkan anak mama yang selalu berada di garda terdepan. Nggak bisa lihat Mamak capek, sedih dan sakit. Tanpa diminta, dia menggantikan posisi Bapak dan Mamak mengelola warung di rumah sejak masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Membuka dan menyiapkan warung, melayani pembeli makan di tempat atau bawa pulang, mengantar pesanan, pun belanja kesana-kemari.
Selintas aku melihat, bahkan dia tidak banyak waktu bermain seperti teman-teman sebaya. Kalaupun dia izin kumpul-kumpul, hebatnya dia sangat bertanggung jawab, tau jam pulang anti ngaret-ngaret, sampai rumah pun langsung buka warung tanpa nunggu disuruh. Sejak mulai buka sampai jam tutup warung dia yang kelola semua.
Adik kecilku yang dulu, hari ini bahkan telah menjadi tulang punggung bagi kami bertiga; Mamak, aku dan adik kedua. Selepas kepergian Bapak dan selepas aku berhenti bekerja. Tidak menyangka, kasih sayang kami terhadapnya seperti tidak ada apa-apa daripada rasa sayangnya terhadap kami bertiga.
Adikku, terima kasih sudah kuat dan hebat. Terima kasih sudah menjadi versi terbaik dari dirimu. Tidak apa untuk tidak menjadi sempurna, karna apa yang kamu lakukan sejauh ini sudah lebih dari cukup membuat kami bersyukur dan bertaburan rasa bangga. Percayalah, kami yang akan terus memelukmu dengan penuh cintađź’–
#pojokjeda #curitauul
Komentar
Posting Komentar