Langsung ke konten utama

Jejak Luka #1 : Luka Masa Lalu



Rasanya baru saja kemarin kembang api betebaran di langit Bandung, riuh ramai menyambut pergantian tahun. Tiba-tiba sekarang sudah menginjak bulan kedua, bahkan sudah beberapa hari berlalu.

Aku masih disini. Jika di siang hari merasa hari-hari berputar terlalu cepat, namun di malam hari aku menangis selepas mematikan lampu kamar mengeluhkan diri yang begitu lamban berjalan. Luka di hati dan seluruh kenangan pedih belum pula berhasil hilang. Tetapi waktu tidak mau menunggu, bianglala hidup mengantarku pada luka-luka yang lain.

Kebanggaan pada diriku sendiri yang dahulu mampu melalui jalan terjal dengan hebatnya, bisa membuat aku bertahan dalam suatu waktu. Tetapi dilain waktu mengasihani diriku sendiri yang telah melewati banyak penderitaan sering menarik diriku pada depresi dan kehilangan kendali. 

Sejak kecil aku tumbuh menjadi sosok dewasa sebelum waktunya, dipaksa oleh keadaan memahami banyak kondisi yang umumnya sulit dicerna oleh anak kecil di usiaku pada saat itu. Tidak tinggal bersama kedua orang tua di masa-masa membutuhkan perhatian dan bimbingan mereka telah membentuk diri ini menjadi mandiri anti manja-manja, namun di lain sisi sekaligus juga kehilangan sandaran.

Aku biasa tanpa tempat bercerita, biasa tanpa mengadu jika ada apa-apa, biasa memendam dalam diam. Bahkan ketika Mamak pernah bertanya padaku; kenapa ga pernah bilang? Aku pun biasa menjawab dengan jawaban yang selalu sama; "gapapa". Seolah kata gapapa cukup menjelaskan bahwa; aku bisa kok, biarin aja semua pasti berlalu, atau Mamak dan Bapak ga perlu tau selama aku bisa mengatasi.

Betul, sebab tau perjuangan dan pengorbanan kedua orang tua tidak mudah. Maka, aku memutuskan tidak banyak melibatkan mereka dalam setiap masalah di masa-masa yang semestinya lebih banyak campur tangan orang tua.

Itulah mengapa, karakter tertutup akhirnya benar-benar melekat padaku hingga sekarang. Terbentuk sejak bertahun-tahun lalu, hasil dari ketidakmampuan aku menyampaikan isi hati secara langsung. Buah dari tekanan orang-orang sekitar dan ketakutan yang hanya terkubur di dalam hati. Merasa nyaman menyendiri, lebih fokus dan konsentrasi bila beraktivitas dalam sepi, tidak suka banyak mengobrol, memilih tidak ikut serta dalam keramaian. Merupakan cara yang kuanggap terbaik, meskipun orang lain malah menyebutnya tidak normal.

Sering aku heran sendiri, bisa-bisanya mereka menyebut dan melabeli diriku tidak normal hanya karena menjalani apa yang menurutku nyaman. Padahal, bila mereka mau membuka mata lebar dan memaklumi apa adanya, akan mereka temukan rasa syukur karna memiliki aku yang berbeda dengan kebanyakan.

Mereka lebih mudah menyebutku pembangkang, saat suatu hari aku menutup diri di dalam kamar demi memulihkan energi setelah menerima perlakuan tidak menyenangkan. Padahal bukan membangkang, aku hanya ingin punya satu waktu dimana boleh membela diri atas tindakan demikian tidak adil. Apakah tidak ada kesempatan bagiku bisa bersikap begitu? Sehari saja pun tidak boleh? Setelah 29 dari 30 hari menjadi penurut, setelah 364 dari 365 hari menjadi seorang yang legowo.

Mengapa mereka tidak maklum saja? Bukan pula merangkul dan memahami kondisi, tidak menanyai sebab, tidak minta penjelasan. Malah menghujani ku lagi dengan berbagai cercaan pedas, tidak menyediakan sedikit pun ruang untuk aku menetralisir rasa sakit.

Mereka lebih mudah mengatakan aku sombong dan keras kepala, saat aku berusaha menyampaikan pandangan versi aku. Katanya, mereka benci semua teori yang aku keluarkan. Mengapa mereka tidak terima pendapat orang lain. Sebaliknya, memaksakan pendapat mereka agar selalu aku terima, perlu diyakini dan harus diterapkan. Betapa mereka tidak pernah sadar telah begitu kejam padaku.

Seandainya, syukur lebih besar daripada harapan yang terkesan menuntut. Akan mereka lihat ada kebaikan dan kelebihan dari diri ini. Tidak hanya teliti soal kekuranganku melulu. Seandainya mereka menyadari, mereka telah bersikap narsistik hingga enggan memahami sudut pandang dan perasaan yang lebih muda. Dengan alasan sudah lebih dulu mengecap asam garam, lalu menyepelekan orang-orang yang katanya baru saja mencicipi. Padahal banyak yang mereka tidak tau, terlalu banyak.

Andai orang tua tahu, begitu berat aku menjalani hidup di usia remaja lalu. Saat mereka memutuskan pergi meninggalkan aku dan adikku, sementara mereka mengais rezeki di tempat lain. Menjadi korban pembulian di sekolah, dan menjadi tempat pelampiasan amarah ketika di rumah. Iya, aku pernah sampai takut berangkat sekolah, tidak ingin bertemu para kakak kelas menyebalkan. Atau, malas bertemu seorang teman yang mengaku sahabat terbaik namun ternyata terlalu berlebihan memanfaatkan kebaikan ku.

Banyak luka tidak terlihat tercipta di masa remaja. Luka yang akhirnya tidak pernah sembuh hingga kini. Pedih yang bagaimanapun upaya ku menguburnya, ada waktu ia kembali mengambang ke permukaan. Kenangan buruk selalu tidak mudah pudar dari rangkaian ingatan.

Mulai dari setiap pasang mata yang memandangku rendahan. Fitnah hamil yang tersebar bahkan sempat jadi topik hangat seantero sekolahan. Berita angin tanpa bukti jelas ini datang dari orang-orang berhati busuk penuh ulat dengki.

Belum lagi kata-kata lain yang menyakitkan telingaku terkait orang tua. Mereka bilang orang tuaku begini begitu, seakan penuh cela dan aku tak boleh mengikuti jejak. Segala sumpah serapah berhamburan, mata dan hati mungil ku saat itu sungguh patut dikasihani sebab harus jadi saksi kejam mulut orang dewasa.

Tapiii, tahukah? Sesuatu yang indah acapkali lahir dari benturan berulang-ulang. Diriku yang hebat dahulu berhasil berdamai dengan badai, selalu bisa mengalihkan diri pada kegiatan positif. Tidak jatuh tersungkur habis-habisan, melainkan beranjak unjuk diri.

Aku yang senang mengurung diri di dalam kamar, bukan duduk termangu, tidak lekas larut dalam ratapan. Sebaliknya teralihkan pada sibuk belajar, buku menumpuk di ranjang dahulu adalah pemandangan sehari-hari. PR dan keperluan sekolah yang beres sebelum malam tiba, tanpa merepotkan sesiapa. Pun, tenggelam dalam aktivitas menulis sebagai sarana mencurahkan isi hati, hobi termenyenangkan bagiku.

Meraih juara di tengah kondisi pelik, pun jauh dari pantauan kedua orang tua adalah pencapaian yang harus aku apresiasi. Proud of myself, love myself. Sosok aku berkesempatan hilir mudik dalam berbagai perlombaan. Meski tidak pulang bawa piala, setidaknya aku berada pada posisi demikian. 

Tidak dipungkiri, semua upaya kala itu sebetulnya adalah caraku untuk menjelaskan pada orang sekitar tentang aku yang tidak seperti persangkaan mereka. Agar tidak menelan mentah-mentah rumor buruk yang beredar membawa namaku. Supaya orang tau bahwa aku adalah korban yang butuh dukungan, pembelaan, uluran tangan dan pelukan. Supaya orang sekitar melihat, diriku yang jauh dari pantauan orang tua sekalipun tidak sebebas yang mereka bayangkan. Jelas saja tidak ada yang perlu mengintai aku kemana pergi, namun rasa prihatin terhadap kedua orang tua bisa mengalahkan keinginan untuk menjadi pemberontak.

Andai saja keluarga besar lebih mampu mengambil hikmah baik dari apa yang tidak mereka senangi padaku. Maka mereka tidak perlu susah payah memintaku berubah. Andai pula mereka tahu, bahwa tuntutan berubah itu telah merobek rasa percaya diri dan membunuh karakter ku secara tragis. Apakah ada sedikit saja rasa sesal hinggap di hati mereka selama ini?

Aku pernah merasa iri pada adik-adik. Bagaimana mungkin mereka tumbuh dalam kondisi yang lebih baik,  dengan segala bentuk faktor pendukung hingga mereka tidak harus merasakan beban luka sepertiku saat berada di usia yang sama.

Wajah anak remaja polos di hadiahi sebuah tamparan tangan kekar orang dewasa, hanya karena terpaku beberapa menit menonton film bioskop yang baru ditayangkan di televisi. Maksud hati menunggu iklan dulu baru beranjak mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan. Tetapi, orang dewasa selalu tidak sabar menunggu hingga kerap merasa lebih baik memukul, mencubit, menampar. Dengan harapan memberi efek jera, dapat pelajaran, tidak mau mengulangi, dan harapan-harapan lain yang mereka pikir adalah bagian dari mendidik.

Beberapa pukulan yang aku terima bahkan hanyalah sebagai pelampiasan. Seperti Ombai, sering merasa kesal pada para menantunya yang tidak peka dan cekatan. Padahal pulang sesekali tapi enggan menyentuh sapu, mencuci piring, di matanya tidak ada yang bisa diandalkan. 

"Juksipa niku tini basa kok balak, juk kamona sei haga ditutuk, apiya ga jadimu...". Ocehannya menjadi-jadi disela aku yang menangis kesakitan di sudut pintu kamar.

Aku menangis kesakitan pun malah dianggap semakin melawan. Menangis sama dengan tidak terima, menangis berarti melawan atau berontak? Tidak bisa aku pahami, entah darimana asalnya rumus demikian.

Cacatnya ilmu parenting di keluarga ku tanpa disadari telah memberiku beban kenangan luka pengasuhan. Betulkah cacat? Iya betul, namun hanya sebagian kecil tidak menyeluruh cacat. Kenapa aku mengatakan kecil setelah menjabarkan serangkaian kisah diatas? 

Hmm yaa, bagaimanapun kejamnya alur takdir menghajarku tetap saja ada kesenangan dan kebaikan di dalamnya, aku tidak boleh memungkiri. Aku tumbuh dengan menerima cukup banyak kasih sayang. Rumah yang nyaman, kamar luas dan seluruh fasilitas lengkap tersedia; meja belajar plus lampu belajar, dipan lebar untuk ditiduri ku seorang diri, ada kamar mandi di dalam kamar, laptop plus modem, hape model terbaru, dan nikmat-nikmat lainnya. Saat teman-teman seusiaku tidak merasakan hal yang sama, aku masih terbilang beruntung.

Iya, terbilang beruntung. Aku juga membayar keberuntungan itu dengan banyak penerimaan yang tidak mudah. 

Cara Ombai mendidikku tidak sepenuhnya salah, dewasa ini ketika bertemu dengan beragam pergolakan hidup ternyata aku justru merasa bersyukur karna dahulu pernah ditempa dengan didikan yang luar biasa darinya. Beberapa prinsif dan kebiasaan yang beliau tanamkan padaku sejak dini berhasil aku imani hingga kini. Anehnya, disisi ini aku merasa menjadi lebih beruntung dari pada adik-adik yang lain. 

Begitulah, perasaan kita terhadap keluarga seperti love-hate relationship. Ada beberapa bagian amat sangat dibenci, tetapi beberapa bagian lain adalah hal yang patut disyukuri. Ada sisi yang paling tidak disukai, tapi ada pula sisi darinya yang amat dicintai.

Aku paham betul soal keharusan bersyukur. Apalagi bila menyangkut Mamak dan Bapak, tidak... aku tidak pernah menyesali terlahir dari mereka. Sebaliknya, aku kasihan pada mereka yang telah mengorbankan impian dan masa-masa berharga mereka demi membesarkan anak-anak di usia yang masih sangat muda. Meskipun mereka juga membawa banyak luka masa lalu seiring mendidik kami, tak apa sungguh tak apa. Orang tua ku juga manusia biasa yang pasti kurang dan boleh salah. Lagipula, memiliki kami sebagai anak-anaknya tentulah sebuah pengalaman pertama. Di masa lalu, keputusan menikah muda pasti sulit mereka lalui. Mereka sudah cukup hebat menjadi orang tua di mata kami; anak-anaknya.

Pun, sebagai cucu dari Ombai. Aku bersyukur. Masa muda Ombai juga punya sejarah menyedihkan. Perjuangan sekolah di saat pendidikan bagi wanita masih jadi hal tabu, kasih sayang orang tua yang timpang antara dia dan saudara perempuannya, pernikahan yang menjadi cibiran, dan banyak lagi kisah yang tidak cukup waktu bila diuraikan. Ia juga bertumbuh dalam pola asuh penuh luka, mungkin jauh lebih terluka dariku. 

Maka sebenarnya aku juga ingin membuka penerimaan begitu luas pada seluruh luka yang tercipta dari mereka yang barangkali tidak sadar telah mewariskan luka kepada anak cucu. Hanya saja tentu tidak bisa bagiku melupakan, aku tetap hanya bisa sebatas menerima tidak lebih. 

Sebab luka bagaimanapun tetaplah luka...

Akhirnya, aku ingin bisa menghentikan estapet warisan luka itu cukup sampai padaku saja. Tidak berlangsung panjang pada keturunanku selanjutnya. Semoga🌵

#selfhealing #jejakluka #pojokjeda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...