"Fotokopai Ombai dija, kanahan ko yo kupu-kupu na".
Dari sekian banyak spot foto yang bagus, entah mengapa beliau justru meminta difoto di jembatan itu. Jembatan yang biasa saja, tidak ada menarik-menariknya. Namun beliau begitu antusias, bahkan take berkali-kali untuk dapat gambar yang sesuai dengan kehendaknya. Beliau bilang: unik, karena ada kupu-kupu.
Perjalanan ke salah satu destinasi wisata di Bandung ini adalah kali pertama kami bersama Ombai. Padahal sejak aku pindah tahun 2015 lalu, setiap tahun Ombai hilir mudik menjenguk kami disini. Tapi, karena satu dan yang lain disibukkan dengan upaya mengejar arus rezeki, alhasil ketika Ombai berkunjung selalu saja berakhir dengan berdiam diri di dalam rumah. Maklum saja, Ombai pun jarang sekali buka suara untuk minta dibawa jalan kemana-mana. Padahal kalo saja mau sedikit meninggalkan rasa iba, boleh jadi sudah rata Bandung ini beliau jelajahi. Atau sebenarnya, bukan Ombai yang mesti melulu lebih dulu minta diajak, melainkan anak cucu yang mesti punya banyak inisiatif. Ah dasar, anak cucu tidak tahu diri.
Ada sebuah rahasia aneh orang tua, aku menyadari setelah dewasa ini. Seiring bertambah usia, mereka ternyata merasa sungkan terhadap anak sendiri. Menilik sejak aku tinggal bersama adik ibuku, anak laki-lakinya Ombai beberapa tahu silam. Seingatku dahulu, saat masih bersekolah dan tinggal bersama di kampung. Ombai jarang sekali main ke Bandung kalo tidak ada acara-acara tertentu, rasanya harus acara penting dulu baru Ombai berencana datang. Namun, hal ini terasa berbeda setelah aku ada disini, ditambah lagi sejak adik nomor dua juga ikut menyusul. Dalam satu tahun saja bisa bolak-balik sebanyak dua sampai tiga kali, dan untuk waktu yang lumayan lama. "Mon mak bak kuti, mak ga lokap na nyak rukja" (kalo bukan karena kalian, ga mau aku kesini), ujarnya suatu hari.
Bukan tanpa alasan beliau berkata begitu. Mungkin kalo orang asing yang dengar, akan menimbulkan banyak prasangka tidak benar. Sejauh yang aku ketahui, alasan beliau tidak betah berlama-lama adalah karena harus tinggal dibiayai anak. Makan minum dari uang anak itu sangat melukai nuraninya sebagai seorang ibu ternyata. Di samping keinginan diperlakukan sebagaimana orang tua lain yang ingin diurus dan diperhatikan anak-anak, dia juga merasa terbebani dengan sikap tersebut. Aneh memang, tapi begitulah orang tua.
Si perempuan perkasa, adalah gelar yang nampaknya pantas disematkan kepada Ombai. Perempuan keras nan hebat ini telah melewati banyak jalan terjal dan berbatu kasar, tidak jarang pula terjun bebas pada kedalaman lalu memanjat kembali ke atas permukaan dengan kedua tangan kosongnya sendiri. Kalau saja mendengar serentetan kisah hidup beliau, maka siapa pun di dalam keluarga ini tidak akan pernah berpikir bahwa apa yang telah mereka lalui sebanding dengan perjalanan beliau.
Aku sebagai cucu pertama, merasa Ombai terlalu hebat sebagai perempuan. Bagaimana tidak, beliau adalah perempuan cerdas yang berpendidikan. Seorang abdi negara yang menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Wanita karir yang aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sosial, kerap pula menjadi penggerak dan pemimpin di berbagai lingkaran. Istri seorang tentara yang biasa dan mudah beradaptasi di lingkungan asing. Perempuan yang sering ditinggal suami kala dinas jauh, tetapi mampu mandiri dan hebat dalam mengurus harta suami dan anak-anak. Ibu yang pembersih, rajin, disiplin, serta pintar di dapur. Penyuka bermacam tanaman bunga yang sangat apik dalam merawat. Punya ratusan hewan ternak, yang katanya beliau rawat dengan baik sendiri. Belum lagi, kata orang beliau adalah seorang petani yang turun ke lapangan menanam dan memanen padi. Habis rasa heranku, bagaimana bisa Ombai sebegitu berdaya?
Tidak ada satu pun perempuan di keluarga yang mampu menandingi kehebatan beliau, pun Mamak yang di mataku sudah hebat tidak terkira masih punya porsi yang berbeda dengan Ombai. Seperti kataku sebelumnya, Ombai memang terlalu hebat sebagai perempuan.
Maka tidak menjadi pertanyaan yang besar bila di usia senja, bahkan perempuan perkasa ini masih mengadaptasi sikap dan kebiasaan lama. Mandiri dan keras, membentuknya tidak ramah untuk diatur siapa-siapa, termasuk anak apalagi cucu. Seperti beliau tidak suka diceramahi soal pola makan, "Mamak tu ga boleh terlalu banyak makan nasi", kata salah seorang anaknya. Lalu, dengan ketus beliau menjawab: "Lah kok jak bahari porsi monganku sapojada, mak kurang bias jak humaku diwik, mak saro nyak bak kuti, dang intah nyak sekali dua kali mongan pok kuti pangasa kuti kok hibat, tini nyak amboli bias posai liakda" (Lah udah dari jaman dulu porsi makanku begini, ga kurang beras dari sawahku sendiri, ga perlu nyusahin kalian, jangan mentang aku makan sekali dua kali di tempat kalian sudah merasa hebat, nanti aku beli sendiri beras liat aja). Begitu panjang lebar sepanjang jalan kenangan.
Padahal maksud si anak adalah baik, karena takut ibunya kena gula darah jadi harus mulai mengurangi konsumsi karbohidrat tinggi. Tapi, yang namanya orang tua kadang lebih mudah menarik prasangka sebelum menyelami maksud yang sebenarnya. Di sisi lain bukan salah Ombai juga begini, sebagai orang yang lebih muda ada adab yang perlu diimani pula. Menceramahi orang tua soal porsi makan ketika nasi sudah ada di piring dan tangan sudah menjumput nasi, rasanya memang seperti tengah suka rela menjemput masalah sendiri. Bagaimana bisa menjadi tidak tersinggung, jika dilakukan di saat prosesi makan sudah berlangsung. Kalo saja dilain kesempatan, barangkali akan jadi cerita berbeda.
Prinsip perempuan super power yang Ombai pegang, tidak tiba-tiba muncul begitu saja ketika Ombai sudah dewasa atau setelah menikah dengan Akas. Ia sudah bertumbuh jauh sebelum itu semua. Kehidupan masa kecil Ombai di tengah keluarga yang dianggap terpandang dalam masyarakat, tidak lantas menjadikan beliau jumawa. Beliau berproses dengan mendobrak berbagai kelaziman yang sudah terbentuk lama dalam keluarga. Tentang pandangan misoginis, dimana karir terbaik seorang perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga yang hanya perlu menguasi segala lini keperempuanan. Tidak perlu sekolah, yang penting pintar masak, pintar bersolek dan pintar mengurus rumah. Karena yang pantas sukses itu adalah anak laki-laki, sebab mereka pemegang harga diri keluarga.
Ombai menjadi anak perempuan pembangkang yang elegan. Ketika saudara perempuannya dipuja-puji orang tua karena populer di tengah masyarakat sebagai bunga desa nan cantik, lemah lembut, pandai menjahit dan segala atribut keperempuanan yang menakjubkan. Di sisi lain, Ombai sembunyi-sembunyi bersekolah, mengejar tingkat pendidikan paling tinggi di tempatnya kala itu. Pagi sekolah, siang berjualan, sore mengurus ternak dan ke sawah menengok padi.
Masih ingat betul beberapa cerita tentang pengalaman Ombai berjualan di usia remaja. Jualan kacang goreng yang dibuatnya sendiri di rumah untuk dibawa ke sekolah. Jualan mie instant door to door, katanya dulu brand mie pertama yang terkenal adalah Supermie dan itu masih jadi makanan mewah dan jarang dijual. Ada satu lagi barang jualan Ombai yang katanya dulu di masanya masih sulit didapat, ialah; pakaian dalam wanita alias bra. Beliau bilang dulu kalo ada yang beli harus pesan dulu ke beliau dari jauh hari dengan mengukur ukuran masing-masing, sebab masih hand made alias dipola dan dijahit oleh tangan beliau sendiri. Walau cerita itu sudah kudengar berulang-ulang sepanjang hidup bersama, masih saja tidak hilang rasa kagumku.
Tidak sia-sia, pendidikan yang beliau kejar dengan penuh pengorbanan selesai dengan mengesankan. Walaupun di tengah perjalanan beliau ditentang habis-habisan. Bahkan, sempat suatu masa dikurung di dalam kamar supaya tidak berangkat sekolah, tapi dengan segala cara beliau kabur lalu tetap berangkat sekolah, sampai keluarganya capek sendiri menentang dan berujung membiarkan. Dengan bekal pendidikan terakhir, menjadi seorang guru yang disibukkan dengan aktifitas mengajar sembari melanjutkan jenjang Diploma, hingga sampai pada kesempatan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Lalu, bertemu sang kekasih hati, Akas kami, laki-laki hebat yang mampu meruntuhkan tembok keras seorang perempuan perkasa.
Selalu ada kekurangan dibalik setiap kelebihan, karena manusia memang tidak terlahir dengan sempurna. Ada bagian yang indah dan bersinar, tapi ada pula bagian yang kosong dan gelap gulita. Ombai yang bertumbuh perkasa, menyimpan luka masa kecil dan membawanya sepanjang hidup dewasa pun sampai ke usia senja. Segala luka pertentangan, penolakan dan pengabaian di balik kerja kerasnya untuk mendobrak segala kelaziman, adalah bagian yang terus ia ingat di dalam kepalanya. Sebuah kenangan yang sulit terlupa dan sulit baginya beranjak, sebab memori itu ada di dalam alam bawah sadar. Kerap muncul dan menghabisi segala pertahanan hebatnya sebagai perempuan perkasa yang kami kenal.
Ombai yang perkasa adalah wanita yang cengeng dan mudah menangis pada sesuatu yang terbilang sepele. Di beberapa keadaan beliau kehilangan kemampuan dalam mengontrol emosi. Kerap, menyakiti fisik atau melemparkan segala sumpah serapah yang menyakitkan telinga. Daya ingat terhadap perkataan buruk orang lain kepadanya dahulu, tanpa sadar membuatnya mengulangi hal yang sama kepada yang lain.
Walaupun sudah sekian lama berlalu, aku bahkan masih ingat rasa sakitnya cubitan pelintir Ombai tepat di ulu ati. Ini adalah senjata pamungkas beliau, kala mengira kami tidak menjalankan aturan seperti yang beliau buat. Katanya, mencubit di ulu ati adalah balasan yang tepat untuk anak yang nakal dan tidak menurut. Padahal bagiku, itu tidak pernah memberi efek pembelajaran apa pun, selain rasa sakit dan luka yang tidak terlupa. Karena mendapati cubitan pelintir di ulu ati tersebut, bukan melulu karena kami sungguhan salah, tapi karena tidak pernah mendapat ruang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Suatu hari, Ombai pernah menyumpah serapahi seantero rumah hanya karena, ada salah satu yang lupa dimana meletakkan kunci pintu depan rumah. Alhasil tidak bisa buka pintu depan seharian. Padahal kan masih bisa keluar masuk lewat pintu belakang, dan masih punya waktu untuk cari kuncinya, ada alternatif lain juga untuk mengganti kunci dengan yang baru atau solusi lain. Tapi, Ombai yang kehilangan sabar merasa lebih baik untuk mengoceh sepanjang hari dan mengatakan semua anggota keluarga tidak ada yang becus, tidak ada yang disiplin, tidak ada yang bisa diandalkan, bahkan memanjang sampai kemana-mana.
Dahulu, aku merasa demikian terganggu dengan sikap Ombai yang terlampau membesarkan masalah yang kecil begini. Ternyata dewasa ini, apa yang aku lihat dahulu, adalah apa yang aku ikuti hari ini. Iya, tidak mudah untuk meniadakan warisan luka. Terlebih bagiku yang sebagian besar tumbuh di bawah pengasuhannya.
Ombai yang perkasa tetapi lemah dan bersimbah luka di dalam hati. Tetaplah Ombai yang baik yang meninggalkan banyak kenangan kebaikan. Sekalipun keras didikan yang kuterima tatkala berada dalam pengawasan beliau, tidak lantas memunculkan rasa ingin beroleh permintaan maaf. Meskipun tidak bisa dipungkiri bekas luka itu masih tertinggal begitu dalam, tetapi apa yang terjadi di masa lalu nyatanya sudah berlalu.
Bagaimanapun, Ombai sudah menghidupi aku cukup lama. Semasa kuliah, sering mengirim aku uang saku. Membelikan pakaian-pakaian yang bagus dan segala jenis makanan enak. Tidak pernah alfa membawa buah tangan dari tempat mana pun ia bepergian. Menasehati dan mengajarkan banyak pembelajaran berharga yang tidak akan mungkin aku dapatkan dari yang lain. Membela kami disaat tidak ada yang membela, betapa pun keras hati dan kepalanya ia tetaplah memiliki hati seorang ibu dan nenek yang bersih serta penyayang. Ombai tidak pernah melewatkan mendoakan kebaikan untukku, di waktu-waktu mustajab, pun di tempat-tempat terbaik pengabulan sebuah doa; di Masjidilharam tepat di depan ka'bah.
___________________
Ombai yang sudah berpulang ke pangkuan Allah sejak 3 tahun yang lalu. Menyisakan duka yang masih kian terasa hingga hari ini. Aku bersyukur sempat ikut merawat beliau di hari-hari terakhir. Menyuapi, memijat sepanjang malam dan membantu membersihkan beliau.
Terkenang pada pagi hari di 31 Maret 2020. Aku tidak kuat menahan tangis, tidak tega melihat Ombai yang sudah mogok makan berhari-hari. "Ombai, makanlah mbai, biar Ombai sehat...", Ujarku sesegukan sembari menangis. Tidak ada jawaban, mata sayunya menatapku seolah ingin mengatakan banyak hal tetapi sudah tidak bisa berkata-kata. Beberapa saat kemudian, aku melepaskan Ombai dengan segenap tanya, "Kenapa harus sekarang Mbai? Kami masih butuh Ombai disini...".
Ternyata itu adalah hari terakhir kami melihat Ombai di dunia ini. Rasanya sakit menerima kenyataan bahwa Ombai sudah tidak lagi ada. Tidak ada satu cara pun agar dapat menemuinya barang semenit saja. Kini, benar-benar tidak ada alur temu di antara kita, yang ada hanyalah rasa merindu yang akan terus kami sirami dengan doa-doa seraya mengenangnya bersama hujan lebat di pipi.
Kami menyayangi Ombai, namun rasa sayang kami tak akan bisa menyaingi rasa sayang Ombai terhadap kami. Pun, bagaimana Allah menakdirkan agar sekarang Ombai meninggalkan kami menuju alam selanjutnya, mengarungi perjalanan lain berbekal amal ibadah semasa di dunia lalu. Sebab Allah yang Maha Penyayang telah menetapkannya, ini adalah jalan terbaik bagi Ombai dan bagi kami yang ditinggalkan.
Barangkali, rindu kami sama besarnya dengan rindu orang-orang yang menantikan Ombai di alam lain sana. Terutama Akas sang kekasih hati, lelaki yang kala mengingatnya begitu menyayat hati karena rasa kehilangan yang begitu dalam. Pun, orang-orang terkasih lainnya, Ombai pasti sudah lama menantikan pertemuan kembali bersama mereka. Rasa ikhlas di hati kami ialah bentuk kesenangan melepas Ombai yang telah menemukan kebahagiaan di alam lain. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa, melapangkan kehidupan Ombai di alam sana, dan menempatkan Ombai bersama orang-orang terbaik. Lalu, mempertemukan kembali kita sekeluarga di syurga Allah.
Komentar
Posting Komentar