Langsung ke konten utama

Jejak Luka #4 : Surat Kecil untuk Ulfa




Hi, bacalah surat kecil ini. Tulisan yang aku dedikasikan untukmu, Ulfa.

Apa kabar hari ini? Apakah sekarang ini kamu merasa sungguh dalam keadaan baik-baik dan menganggap remeh segala yang tengah kamu jalani? Ah tidak. Tidak ada yang bisa kamu anggap remeh. Barangkali justru kamu terlalu mengambil penting semua dan tengah menyusuri jalanmu dengan penuh ketegaran. 

Dunia ini tidak kekal dan bukan tempat berdiam diri, melainkan tempat belajar tanpa henti. Ketika Allah kasih cobaan, berarti kamu sedang ditempatkan dalam zona terbaik untuk mengambil banyak pembelajaran, semoga kelak membentukmu menjadi orang yang jauh lebih baik. Terima kasih karena sudah menjadi orang yang mau mengerti, mau menerima dan mau menjalani walaupun agak tertatih dan kesepian. Setiap permasalahan hidup bukan sebuah kemalangan, darinya kamu akan mendapat banyak kekuatan. Dari zona terpayah yang berhasil kamu lalui, membuatmu mampu naik ke level berikutnya. Maka, jika ada yang terasa berat sekarang ini, barangkali ke depan tidak ada apa-apanya. 

Ulfa. Jangan takut menjadi dirimu sendiri.

Apakah kamu tahu? Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu memahamimu sebaik aku. Kalaulah ada yang bilang menerimamu apa adanya, maka ia belum seberapa dengan caraku menerima segalamu.

Apakah kamu tahu? Ada yang mencintaimu tanpa harus menyertakan alasan apapun. Ialah aku, kepadamu, yang akan terus mencintai penuh ketulusan walau bagaimana dirimu. Kadang kamu memang kekanakan, tapi tolong terima anak kecil di dalam dirimu itu, jangan tolak kehadirannya. Sebab ia juga butuh waktu diistimewakan, butuh tempat mendapat perhatian. Suatu waktu, kamu juga bertindak sangat dewasa, tampak bijaksana penuh rasa percaya. Bagus juga... Tapi selalu ingat, jangan pula terlampau memaksa diri agar terlihat dewasa. Ia hanya akan menyakiti kelak bila waktu mulai terasa sesak.

Aku selalu paling tahu, bagaimana kamu tidak bahagia menjalani hari-hari. Atau, bagaimana harimu sangat menyenangkan. Jadi, berhentilah untuk tidak jujur pada diri sendiri. Berhentilah...

Tanganmu yang sering gemetar, bicara terbata-bata dan berkeringat dingin saat didera kepanikan. Bukanlah kesalahan besar, ini hanya sebuah gejala yang terjadi disaat kamu merasa tertekan. Untuk itu, kamu tidak perlu berlebihan memukul dan menyalahkan diri karena tidak terampil dalam mengendalikan emosi. 

Dilain kesempatan, lihatlah kamu cukup hebat untuk diandalkan. Pekerjaan yang berhasil kamu tuntaskan ketika sebagian orang menyebutnya rumit. Ilmu baru yang kamu pelajari, yang menyita banyak waktu dan rusuh sendirian, pada akhirnya menjadikan kamu yang paling menguasai tetapi juga ringan untuk berbagi. Kemampuan kamu dalam menyelesaikan masalah, memberi solusi dan membantu meringankan kesulitan yang lain memang tidak pantas dibanggakan, tetapi hal kecil ini adalah bagian positif dari dirimu yang pantas kamu apresiasi dengan rasa syukur.

Kamu yang terkesan pemilih dalam menjalin hubungan, bukanlah sebuah cela. Kenapa kamu harus sibuk memikirkan pandangan orang lain? Kenapa terbiasa hidup dalam stereotip bahwa, orang keren itu adalah mereka yang mampu beradaptasi cepat dengan segala jenis lingkungan? Kenapa beranggapan menjadi cocok sama banyak orang itu adalah penting? Kenapa harus merasa resah berlebihan hanya karena kamu bukan tipe orang yang mudah akrab sama orang lain? Kenapa kamu dibuat susah untuk sebuah kelaziman yang tidak adil? Bila terlalu memaksakan diri jadi seperti yang orang lain mau, sebenarnya kamu telah dzolim kepada dirimu. Sudahlah, tidak perlu susah payah demi menyenangkan orang lain melulu. Kalau tidak nyaman, tidak perlu dikejar. 

Pada tempat dan lingkungan yang lain, ada segelintir orang yang menganggapmu cukup berarti.

Ulfa, kamu hebat tapi bukan berarti kamu harus sempurna dan nihil kekurangan. Walaupun kamu belum sukses, walaupun kamu banyak beban pikiran. Setidaknya kamu masih diberi waktu untuk berjuang, masih sehat dan utuh. Semoga masih panjang waktu untukmu berjalan meniti harapan, meski tampak lamban dari kebanyakan.

Tidak terlalu sering maratapi nasib dan merasa menjadi paling malang. Kamu berdiri di kota besar ini bukanlah mudah dan tanpa upaya. Lihat, kamu terlalu kuat untuk dibilang lemah. Walaupun di mata orang lain kamu masih bukan apa-apa, sedikit berbeda atau barangkali aneh sekalipun, tetapi di matamu sendiri kamu adalah berharga dan hebat. Jalanmu tidak harus sama dengan yang lain, jangan dibutakan oleh rasa iri ketika kamu tidak benar-benar tahu kenyataan di belakangnya. Iri tanpa alasan akan terasa menyakitkan, juga berpeluang membuatmu kehilangan banyak hal. Seperti kehilangan rasa percaya diri misalnya, adalah yang paling menakutkan.

Apapun yang terjadi, peluklah masalahmu dan selesaikan dengan bijak. Pada pilihan yang terlanjur diambil tidak selalu salah dan harus disesalkan.  Ada pembelajaran disana, pasti ada, dan kamu harus belajar supaya lebih berpengalaman. 

#jejakluka #pojokjeda


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...