![]() |
Akan selalu datang moment-moment tidak menyenangkan yang mendadak dan membuat kewalahan. Padahal sudah berusaha menghindar, tetapi ya bagaimana, tidak ada yang bisa menyangkal apa-apa yang sudah ditetapkan terjadi.
Belakangan, aku melangkah tertatih. Perjalanan luka yang kupikir segera berakhir rupanya belum. Aku berdebat dengan diriku sendiri, menyesali segala hal dalam hidup ini. Dalam tangis yang amat panjang.
Ingatanku berjalan mundur pada masa remaja yang perih, pada perkataan orang lain yang menyakiti, pada tindakan kasar dan perlakuan buruk orang lain padaku. Semua terbayang seakan baru saja kejadian.
Tidak hanya kembali ke masa lalu, tiba-tiba kepala terasa penuh dengan banyak tanya. Mengapa aku selalu menerima luka? Padaku, dengan mudah sesiapa bertindak buruk padahal aku sudah cukup berusaha bahkan mengorbankan beberapa hal. Mengapa kepada aku orang lain bisa bertindak demikian semena-mena? Tak bolehkah hidupku tenang.
Mengapa untukku butuh perjuangan luar biasa agar bisa merasakan hidup normal seperti kebanyakan. Ketika ada yang seolah ditakdirkan untuk menerima tanpa perlu berbuat apa-apa. Mengapa perlu sekuat tenaga agar beroleh sebuah ketenangan. Ketika ada yang berdiam dalam zona nyaman untuk waktu yang terlalu panjang.
Seperti halnya menerima kasih sayang penuh dari kedua orang tua, yang bukan sebatas dilengkapi kebutuhan secara materi tetapi juga soal keberadaan. Kenapa bagi sebagian orang begitu mudah, tetapi bagi sebagian yang lain terlampau sulit digapai? Selama 14 tahun aku tinggal berjauhan dengan orang tua. Dilihat dari rentang waktu tersebut, bila seorang anak tidak memiliki kedekatan emosional dengan orang tua apakah pantas disebut janggal? Rasanya, tidak.
Melihat adik-adik, ah nampak melegakan sekali bila berada di posisi mereka. Seakan kasih sayang dan keberuntungan mengalir lancar begitu saja. Sedangkan aku, perlu berjuang lebih keras demi mendapat sebuah pelukan pujian dan rasa bangga. Sesuatu yang menimbulkan rasa iri. Lagi-lagi, rasa iri hadir tanpa kejelasan yang mendasari. Hanya iri dengan melihat apa yang terlihat di depan mata tetapi tidak sungguh memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ah, bagaimana bisa saling memahami ketika masing-masing tidak pernah berada di posisi yang sama.
Baiklah, tidak apa jika merasa sesuatu adalah alasan, merasa perlu menyalahkan, mengganggap sebagai penyebab atas segala luka, membenci beberapa bagian atau malah sepenuhnya. Toh aku hanya sedang mencari cara untuk membela diri, menjaga waras untuk menjadi baik-baik kemudian.
Perihal menerima keadaan hati sekacau apapun adalah penting. Menerima saat jatuh, sakit hati, marah, kehilangan semangat, gelisah, ketakutan, dan ingin menyerah. Membiarkan diri mendapat ruang untuk menjadi kecil dan meringkuk kesepian.
Keadaan di masa lalu tentu saja tidak akan pernah terlupa, hapus ataupun menghilang tanpa bekas. Semua sudah terjadi, untuk merelakan dan membuka hati bukan urusan yang mudah.
Tidak apa-apa bila sedang tidak baik-baik saja.
Akan selalu ada, fase menangis hebat tersebab menyesali alur hidup yang nampak serba salah. Tapi, suatu hari setelahnya atau bahkan tidak lama darinya, dipertemukan kembali dengan fase dimana hati sudah membaik.
Aku disaat lemah adalah bagian dari diriku juga, dan aku yang kuat setelahnya adalah bagian dari diriku yang lain. Aku hanya berganti posisi sejenak. Saat menangis, menangislah saja seolah tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipilih. Lagipula, menangisi habis-habisan sama dengan menghabiskan semua beban terpendam. Maka, ia tidak akan menjadi sia-sia. Tidak akan.
#jejakluka #pojokjeda
Komentar
Posting Komentar