Langsung ke konten utama

Hmm, Dasar Aku

 


Hmm, dasar aku. Perempuan super duper luar biasa. Istimewa sekali hati ini, gampang berubah suasana. Seakan terprogram begitu sensitif dengan segala kondisi, mudah hanyut terbawa perasaan. Sedikit-sedikit terpancing marah, selepasnya tertunduk berlinang air mata, sebentar kemudian senyum menyeringai bahkan tertawa terbahak-bahak seolah tak ada yang terjadi sebelumnya. 

Dasar hatinya perempuan. Kenapa ya, bisa-bisanya sedemikian mudahnya membuat segala hal menjadi masalah? Bukan main, bahkan untuk hal-hal yang mungkin nampak sepele.

Seperti; bisa-bisanya aku membentak dengan keras adikku yang baru keluar dari kamar mandi perkara kakinya masih basah menyentuh lantai. Kemudian secara refleks ngamuk-ngamuk bergegas mengambil kain pel dan mengepel seluruh lantai yang padahal tidak kotor sama sekali. Apa salahnya sih lantai basah setitik? Tanya orang-orang serumah. Lalu, jawaban simpleku adalah: aku nggak suka liat lantai ada cap kakinya walaupun cuma keliatan sama mataku sendiri. 

Seribet itu memang seorang aku. Huft. Kalo kata Mamak, "Mon sapona, laju rabai munih hulun manjau pok mu". (Artinya; kalo gitu caranya, nanti takut orang lain main ke rumahmu). 

Jadi suka ketawa kalo Mamak udah mulai ngomong gitu. Bukan mauku seperti ini, sudah bawaan diri yang susah buat dijelaskan. Gimana dong? Pokoknya aku tuh emang nggak bisa banget menerima segala sesuatu yang sembarangan atau tidak sesuai dalam kacamata aku. 

Hmm, dasar aku. Aku juga tidak pernah merencanakan suatu waktu aku mendadak nangis untuk sebuah hal yang bisa dibilang bukan masalah malah. Merasa tersentil sama omongan orang yang padahal belum tentu nyalahin aku. 

Atau disaat lagi panik, iya~ aku si panikan yang bisa nangis kejer di tengah keramaian. Memalukan memang, sepertinya sikap acuh sama orang disekitar ada dampak yang buruk banget deh buat aku. Masak iya, aku bisa seketerlaluan itu, menyingkirkan rasa malu didepan orang banyak untuk nangis. Ini cuma kejadian kalo aku lagi bener-bener panik dan ini adalah musuh terberatku sampai dengan saat ini. Belum bisa teratasi, kayaknya butuh terapi panjang untuk menyembuhkannya.

Ah, aku. Kadang kepalaku disesaki pertanyaan, siapakah gerangan dia yang mau dengan tulus menerima segala keistimewaan ini? penuh ketulusan serta kesabaran.

Barangkali di luar sana banyak orang yang merasa segala sifat yang ku miliki ini buruk. Barangkali memang begitu. Meski demikian, aku hanya ingin tetap menjadi diriku, inilah sebenar-benarnya aku.

#Random 
By: Zulfannisafirdaus
Gambar: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...