"Tapi, dia kan Bapak aku teh, bagaimanapun dia tetap Bapak aku". Serunya sembari terisak.
Tidak terasa pipiku ikutan basah saat air matanya pecah dihadapanku. Aku mengerti perasaan sahabatku ini, walaupun tidak sepenuhnya. Setidaknya, aku tahu rasa hancurnya hati seorang anak kala menerima cemoohan orang lain terkait orang tuanya. Ketika dengan seenak hati orang lain mengungkit-ungkit kesalahan dan kekurangan orang tua. Terlebih yang dimaksud dengan orang lain itu malah masih keluarga sendiri, masih sedarah, masih dekat hubungannya.
"Mereka selalu bilang teh, ini semua salah Bapak. Katanya, Bapak itu contoh laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Laki-laki yang tidak punya daya upaya, tidak cocok dijadikan pemimpin rumah tangga. Semua menyalahkan Bapak. Bapak sudah nggak ada arti apapun, begitu rendah teh. . .".
"Tapi, yang kenal Bapak itu kan aku, aku ini anaknya. Aku kenal Bapak lebih baik dari siapapun. Perceraian ini sudah takdir. Meskipun banyak kekurangan Bapak sebagai orang tua ku, tapi aku tidak akan pernah menyalahkan siapapun. Aku ikhlas teh sama kondisi dan prilaku orang tuaku, kalo bukan aku sebagai anaknya siapa lagi yang bisa memahami kondisi mereka. Aku cuma sakit hati sama omongan orang yang nggak kira-kira, kadang Bapak sampe disumpahin ini itu lah sama mereka. Sakit teh, sedih. . .".
Begitu curhatnya.
Pedih mendengar apa yang disampaikan sahabatku. Tanpa harus menyecap rasa yang serupa, dari ungkapannya saja cukup membuat siapapun yang mendengarkan ikut terbawa perasaan. Sungguh ironi, betapa tega mereka yang sesama mahkluk Allah bertindak sedemikian menyakitkan pada orang-orang yang justru sudah sakit berlumur luka. Menambahkan lagi beban dengan kata-kata yang tajam menghujam.
Sejatinya, sebagai orang lain yang tidak tahu-menahu tidaklah pantas menetapkan siapa yang salah siapa yang benar. Lebih parah lagi, mengapa merasa berhak pula bersumpah-serapah? Duhai, kejam sekali mulut manusia-manusia ini. Bermudah-mudah mengomentari urusan orang lain, latah menyumpahi tanpa memikirkan perasaan siapa yang mendengarkan.
Seburuk-buruknya orang tua, menurutku tidak ada anak yang benar-benar bisa menerima orang tuanya dipermalukan. Baik secara langsung atau tidak langsung, terang-terangan di depan mata atau bisik-bisik tetangga di belakang. Tidak ada yang sanggup melihat dan mendengar keburukan apapun. Walaupun keburukan itu benar adanya, walaupun apa yang diperlihatkan dan apa yang diperdengarkan itu sesungguh-sungguhnya kenyataan. Tetap saja, ada rasa tidak terima.
Sulit bisa mengatakan apa-apa. Aku bingung, yang bisa kulakukan hanya membiarkannya menangis mengeluarkan emosi. Mendengarkan seluruh bicaranya, dan menenangkan agar tetap sabar dan berprasangka baik pada Allah. Kupikir, sebenarnya dia juga tidak menginginkan ceramahku yang akan terkesan sok tau jika aku lakukan. Dia hanya sedang butuh pendengar yang baik, yang bisa menampung seluruh keluh kesahnya saat itu.
Selain doa, semoga hatinya dikuatkan dan dibaikkan kehidupannya dan keluarga. Rasanya bukan ranahku untuk bertindak lebih dari mendoakan.
Broken home adalah tema ujian yang tidak pernah kurasakan dalam perjalanan hidupku dan semoga saja tidak pernah terjadi sampai kapanpun. Namun, ujian hidup yang masuk dalam kategori ujian terberat ini harus dirasakan oleh sahabatku ini sejak kecil. Menjadi saksi dan korban dari perceraian kedua orang tua merupakan kesakitan yang tidak sanggup aku bayangkan. Trauma yang dialami sahabatku ini tidak akan sebanding dengan trauma-trauma yang pernah kualami.
Perceraian kedua orang tua pada prakteknya tidak hanya tentang tidak serumahnya lagi Ibu dan Bapak. Tapi, lebih rumit dari kelihatannya. Menyangkut anak-anak dan keluarga besar. Anak-anak adalah yang paling merasakan imbasnya. Sebaik apapun cara berpisah, yang namanya berpisah pasti meninggalkan jejak-jejak kenangan yang suram bagi setiap anak. Inilah yang kumengerti dari kisah sahabatku.
Barangkali sama halnya dengan ribuan anak korban broken home lainnya di luar sana. Entah dengan tema yang berbeda. Mereka semua pasti mengalami susah payahnya meniti jalanan berkrikil, melukai. Padahal cukup mereka menjadi korban dari perceraian itu sendiri. Menyaksikan kedua orang tua berbeda jalan. Mereka rela berpindah-pindah tempat demi merasakan kasih sayang keduanya walaupun kasih sayang itu tidak lagi utuh. Diantaranya bahkan ada yang diharuskan memilih menetap dengan salah satu pihak. Pun, tidak sedikit yang memilih pergi hidup sendirian atau menumpang pada salah seorang kerabat dekat.
Sesunggguhnya sampai disitu saja kisah hidup mereka sudah terlalu rumit dan menyedihkan, tapi imbas dari perceraian ini tidak cukup sampai disitu. Ada ujian-ujian lain yang siap berdatangan tak terkendali, mengundang sesak dan penderitaan berkelanjutan.
Aku kagum pada mereka-mereka yang tetap bersedia bertahan, walaupun ditengah derasnya arus ujian. Meskipun luka menganga perih akibat tajamnya lidah orang lain, yang lukanya bahkan belum tentu sembuh dengan cepat. Tapi tetap mau berlapang hati, mau memahami sisi-sisi yang tidak terjamah oleh banyak mata orang diluaran. Bagaimanapun ketidakadilan yang tercipta di dalam rumah, tetap mau mendedikasikan jiwa dan raga pada orang tua. Tetap menjadikan kedua orang tua sebagai yang dihormati, dan dijaga perasaannya.
Pada kalian, anak-anak korban perceraian kukatakan; Allah tidak pernah salah memilih pundak, semoga kalian tetap kuat, selalu ada akhir yang baik. Allah tidak akan memberi ujian melebihi batas kemampuan.
~Zulfannisafirdaus
#tulisanzulfannisa #hikmah
Komentar
Posting Komentar