Aku menyadari bahwa kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang masih misterius. Aku tidak pernah benar-benar tahu apa saja kemungkinan yang terjadi didalamnya kelak, sampai aku berada tepat di posisi itu; ya, pascamenikah. Sebuah sekenario yang masih menjadi rahasia sang pemilik semesta. Sekenario yang setiap episodenya adalah asing namun menuntut dijalani penuh yakin.
Mendengar dan melihat pengalaman orang lain barangkali bisa membuatku mengambil banyak pelajaran. Tapi, itu saja rasa-rasanya belum cukup. Atau bahkan tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab, sebaik apapun kita memahami konflik orang lain dan sesempurna mungkin membuat perencanaan sebagai ancang-acang atau bekal menyelesaikan konflik tersebut. Tetap saja, kegagalan berpeluang terjadi.
Adalah kesiapan secara finansial menjadi topik inti. Hal ini akan menjadi awal dari segala pembahasan dalam proses menuju pernikahan. Terkhusus untuk keluarga awam seperti keluargaku dan kebanyakan yang lain. Kalo katanya sih: jangan mikir siap nikah dulu, jika belum mantap secara finansial.
I see. Apa yang dipikirkan kebanyakan orang tua ini tidak salah. Apalagi jika mengambil pendapat dari pihak wanita. Bukan berarti karena pihak wanita yang ada dalam posisi paling berkorban soal pernikahan ini. Tapi, ada sebab-sebab istimewa yang kadang luput dari pemikiran para lelaki dan keluarganya.
Lalu, apakah sebab-sebab istimewa itu?
Pertama. Menurutku, anak perempuan itu memiliki arti yang luar biasa bagi kedua orang tuanya. Tidak sedikit dari orang tua yang rela melakukan apapun demi kebutuhan anak perempuannya tercukupi. Tempat tinggal yang layak, makanan yang sehat, pendidikan yang tinggi, pakaian terbaik. Diberi perhatian yang lebih banyak. Dididik dengan lembut dan penuh kebijaksanaan. Serta, dilindungi sebaik mungkin.
Kedua. Setiap anak perempuan itu hadir dengan membawa kekurangan dan kelebihan. Ada yang terlahir cacat, penyakitan atau lemah. Ada pula yang sejak kecil menjadi kebanggaan orang tua sebab mendulang beragam prestasi.
Ketiga. Anak perempuan punya peran penting. Apalagi mereka yang lahir sebagai anak pertama di keluarganya, mereka yang menjadi satu-satunya anak perempuan, pun anak bungsu yang di manja kedua orang tuanya sekalipun. Setiap mereka punya peran yang sangat penting. Boleh jadi sebagai panutan, sebagai tulang punggung, dan masih banyak lagi peran-peran lain yang digantungkan kepadanya.
Berkaitan dengan ketiga opiniku diatas, coba bayangkan; orang tua mana yang mau menyerahkan anak yang telah dilindunginya sepenuh hati dan jiwa raga secara cuma-cuma? Belum lagi, mereka yang selama ini hidup dengan penjagaan yang ketat karena lemah dan bergantung dengan obat-obatan. Mereka yang diberikan dukungan hebat secara materil untuk meraih cita-cita atas kesadaran orangtuanya pada potensi dan bakat yang dimiliki. Pun, mereka-mereka yang selama ini hidup untuk menghidupi keluarganya.
Bagaimana kehidupan anaknya yang sakit-sakitan kelak setelah bersama pasangannya?
Bagaimana pasangannya memberi pengertian dan jalan terbaik pada bakat-bakat anak perempuannya?
Bagaimana kehidupan mereka jika anaknya telah berkeluarga, padahal sebelumnya menjadi satu-satunya tempat bergantung?
Ini semua harus dibicarakan, terencana itu perlu.
Jadi tidak heran, mengapa para orang tua menjadikan soal kemantapan finansial lelaki masuk kedalam syarat-syarat penting yang pembahasannya kerapkali panjang dan serius. Bukan, bukan sebab para orang tua perempuan kesemuanya mematok standar tinggi calon menantunya. Mereka matre untuk kebaikan. Karena mereka ingin lihat sebesar apa usaha lelaki yang meminta anaknya tersebut. Sudahkah pantas mengambil alih peran kedua orangtuanya? Sudahkah layak untuk menjadi imam bagi putrinya? Apakah mau menerima keluarga pihak perempuan selayaknya keluarga kandung?
Tidak lain dan bukan salah lagi, para orangtua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Sesimple itu alasan sebenarnya.
Kemantapan finansial memang selalu memancing kesalahpahaman pada kedua belah pihak calon pasangan. Padahal, kemantapan itu tidak melulu diukur dengan deratan panjang angka dalam tabungan, kepemilikan rumah atau kendaraan. Juga, bukan tentang pekerjaan, apalagi jabatan. Lebih serius dari yang disangka-sangka. Kemantapan finansial ini ialah tentang skill berjuang yang dimiliki lelaki. Tentang bagaimana usahanya untuk merealisasikan kata bertanggungjawab. Seberapa besar kemauannya dalam menjalankan peran sebagai pemberi nafkah. Sebaik dan sepantasnya dilakukan sebagai seorang lelaki sejati.
Disamping itu, pada dasarnya setiap orangtua membekali anak-anak perempuannya dengan berbagai kemampuan. Kemampuan bertahan dalam kondisi sulit adalah sebuah skill luar biasa, menurutku. Ada yang dididik mandiri, bisa berpenghasilan sendiri. Tergantung potensinya masing-masing. Seperti: kemampuan masak, jualan, merias, menjahit, menyulam dan lain-lain. Sehingga yang dihasilkan adalah anak-anak perempuan yang berdaya dan bisa diandalkan kepandaiannya kelak suatu hari jika dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Ini tentu selain pendidikan akademik yang telah dijalani.
Ada sebuah pesan yang sering sekali disampaikan Mamak padaku sebagai perempuan sembari menemaninya memasak, nyuci, ke pasar. Pokoknya sebuah nasihat yang diselipkannya setiap anak-anak perempuannya sedang melakukan aktivitas "keperempuanan". Kurang lebih begini katanya; "Nak, bangikda tikanjot gorut jak ga tikanjot hurik saro". (Terjemah: "Nak, lebih baik kaget hidup kaya daripada kaget hidup susah).
Artinya, dari pengalamanku yang selama ini ditempa agar menguasai setidaknya satu bidang kemampuan saja. Aku bisa menyimpulkan bahwa: orang tua tidak selalu dengan serta merta menitikberatkan soal finansial kepada lelaki saja sebenarnya. Mereka sudah berpengalaman mengenai kehidupan rumah tangga, istilahnya; sudah tahu asam manis kehidupan. Tidak selalu mulus, dan tidak juga melulu payah. Kembali lagi, ini hanya perkara usaha apa yang bisa dilakukan. Ini semua tentang bagaimana bentuk tanggungjawab itu kelak. Tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Sekian.
~Zulfannisafirdaus
Palembang, 18.7.2020
Sumber Gambar: Pinterest
Komentar
Posting Komentar