Langsung ke konten utama

Menikah Perlu Persiapan~2


Aku menyadari bahwa kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang masih misterius. Aku tidak pernah benar-benar tahu apa saja kemungkinan yang terjadi didalamnya kelak, sampai aku berada tepat di posisi itu; ya, pascamenikah. Sebuah sekenario yang masih menjadi rahasia sang pemilik semesta. Sekenario yang setiap episodenya adalah asing namun menuntut dijalani penuh yakin.  

Mendengar dan melihat pengalaman orang lain barangkali bisa membuatku mengambil banyak pelajaran. Tapi, itu saja rasa-rasanya belum cukup. Atau bahkan tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab, sebaik apapun kita memahami konflik orang lain dan sesempurna mungkin membuat perencanaan sebagai ancang-acang atau bekal menyelesaikan konflik tersebut. Tetap saja, kegagalan berpeluang terjadi. 

Adalah kesiapan secara finansial menjadi topik inti. Hal ini akan menjadi awal dari segala pembahasan dalam proses menuju pernikahan. Terkhusus untuk keluarga awam seperti keluargaku dan kebanyakan yang lain. Kalo katanya sih: jangan mikir siap nikah dulu, jika belum mantap secara finansial. 

I see. Apa yang dipikirkan kebanyakan orang tua ini tidak salah. Apalagi jika mengambil pendapat dari pihak wanita. Bukan berarti karena pihak wanita yang ada dalam posisi paling berkorban soal pernikahan ini. Tapi, ada sebab-sebab istimewa yang kadang luput dari pemikiran para lelaki dan keluarganya. 

Lalu, apakah sebab-sebab istimewa itu?

Pertama. Menurutku, anak perempuan itu memiliki arti yang luar biasa bagi kedua orang tuanya. Tidak sedikit dari orang tua yang rela melakukan apapun demi kebutuhan anak perempuannya tercukupi. Tempat tinggal yang layak, makanan yang sehat, pendidikan yang tinggi, pakaian terbaik. Diberi perhatian yang lebih banyak. Dididik dengan lembut dan penuh kebijaksanaan. Serta, dilindungi sebaik mungkin. 

Kedua. Setiap anak perempuan itu hadir dengan membawa kekurangan dan kelebihan. Ada yang terlahir cacat, penyakitan atau lemah. Ada pula yang sejak kecil menjadi kebanggaan orang tua sebab mendulang beragam prestasi. 

Ketiga. Anak perempuan punya peran penting. Apalagi mereka yang lahir sebagai anak pertama di keluarganya, mereka yang menjadi satu-satunya anak perempuan, pun anak bungsu yang di manja kedua orang tuanya sekalipun. Setiap mereka punya peran yang sangat penting. Boleh jadi sebagai panutan, sebagai tulang punggung, dan masih banyak lagi peran-peran lain yang digantungkan kepadanya.

Berkaitan dengan ketiga opiniku diatas, coba bayangkan; orang tua mana yang mau menyerahkan anak yang telah dilindunginya sepenuh hati dan jiwa raga secara cuma-cuma? Belum lagi, mereka yang selama ini hidup dengan penjagaan yang ketat karena lemah dan bergantung dengan obat-obatan. Mereka yang diberikan dukungan hebat secara materil untuk meraih cita-cita atas kesadaran orangtuanya pada potensi dan bakat yang dimiliki. Pun, mereka-mereka yang selama ini hidup untuk menghidupi keluarganya. 

Bagaimana kehidupan anaknya yang sakit-sakitan kelak setelah bersama pasangannya? 
Bagaimana pasangannya memberi pengertian dan jalan terbaik pada bakat-bakat anak perempuannya? 
Bagaimana kehidupan mereka jika anaknya telah berkeluarga, padahal sebelumnya menjadi satu-satunya tempat bergantung?

Ini semua harus dibicarakan, terencana itu perlu.

Jadi tidak heran, mengapa para orang tua menjadikan soal kemantapan finansial lelaki masuk kedalam syarat-syarat penting yang pembahasannya kerapkali panjang dan serius. Bukan, bukan sebab para orang tua perempuan kesemuanya mematok standar tinggi calon menantunya. Mereka matre untuk kebaikan. Karena mereka ingin lihat sebesar apa usaha lelaki yang meminta anaknya tersebut. Sudahkah pantas mengambil alih peran kedua orangtuanya? Sudahkah layak untuk menjadi imam bagi putrinya? Apakah mau menerima keluarga pihak perempuan selayaknya keluarga kandung?

Tidak lain dan bukan salah lagi, para orangtua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Sesimple itu alasan sebenarnya.

Kemantapan finansial memang selalu memancing kesalahpahaman pada kedua belah pihak calon pasangan. Padahal, kemantapan itu tidak melulu diukur dengan deratan panjang angka dalam tabungan, kepemilikan rumah atau kendaraan. Juga, bukan tentang pekerjaan, apalagi jabatan. Lebih serius dari yang disangka-sangka. Kemantapan finansial ini ialah tentang skill berjuang yang dimiliki lelaki. Tentang bagaimana usahanya untuk merealisasikan kata bertanggungjawab. Seberapa besar kemauannya dalam menjalankan peran sebagai pemberi nafkah. Sebaik dan sepantasnya dilakukan sebagai seorang lelaki sejati. 

Disamping itu, pada dasarnya setiap orangtua membekali anak-anak perempuannya dengan berbagai kemampuan. Kemampuan bertahan dalam kondisi sulit adalah sebuah skill luar biasa, menurutku. Ada yang dididik mandiri, bisa berpenghasilan sendiri. Tergantung potensinya masing-masing. Seperti: kemampuan masak, jualan, merias, menjahit, menyulam dan lain-lain. Sehingga yang dihasilkan adalah anak-anak perempuan yang berdaya dan bisa diandalkan kepandaiannya kelak suatu hari jika dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Ini tentu selain pendidikan akademik yang telah dijalani.

Ada sebuah pesan yang sering sekali disampaikan Mamak padaku sebagai perempuan sembari menemaninya memasak, nyuci, ke pasar. Pokoknya sebuah nasihat yang diselipkannya setiap anak-anak perempuannya sedang melakukan aktivitas "keperempuanan". Kurang lebih begini katanya; "Nak, bangikda tikanjot gorut jak ga tikanjot hurik saro". (Terjemah: "Nak, lebih baik kaget hidup kaya daripada kaget hidup susah).

Artinya, dari pengalamanku yang selama ini ditempa agar menguasai setidaknya satu bidang kemampuan saja. Aku bisa menyimpulkan bahwa: orang tua tidak selalu dengan serta merta menitikberatkan soal finansial kepada lelaki saja sebenarnya. Mereka sudah berpengalaman mengenai kehidupan rumah tangga, istilahnya; sudah tahu asam manis kehidupan. Tidak selalu mulus, dan tidak juga melulu payah. Kembali lagi, ini hanya perkara usaha apa yang bisa dilakukan. Ini semua tentang bagaimana bentuk tanggungjawab itu kelak. Tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. 

Sekian.

~Zulfannisafirdaus
Palembang, 18.7.2020
Sumber Gambar: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...