Langsung ke konten utama

Jangan Sampai Membuatmu Kehilangan Kebahagiaan, Jangan sampai!


Berselancar di dunia maya adalah candu. Nampaknya, begitu yang terjadi belakangan ini. 

Padahal, sejak keputusanku pulang ke kampung halaman beberapa bulan yang lalu. Aku mulai terbiasa dengan siklus yang berbeda; merasa kurang begitu tertarik menggenggam ponsel. Berada di rumah berarti aku disibukkan dengan padatnya aktifitas sehari-hari. Ibadah, beberes rumah, mencuci, menyetrika, masak, dan jualan. Sampai-sampai ponsel mati gara-gara kehabisan baterai pun berkali-kali luput dari perhatianku. 

Keadaan berduka usai sepeninggalan Nenek ke pangkuan-Nya, sepertinya menjadi alasan utama. Ya, sementara lalu aku sedang ingin hengkang dari dunia maya. Demi upaya melapangkan hati dari rasa kehilangan yang amat berat.

Selepas dua bulan hengkang, belakangan aku malah kembali ke kebiasaan lama. 

Kesulitan tidur membuatku keasyikan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berkeliaran di lini masa. Memperhatikan setiap yang terpampang disana. Beralih dari satu gambar ke gambar lainnya, dari satu informasi ke informasi lainnya. Terus saja berlanjut sampai tidak terasa waktu malam habis dan berganti pagi. Layaknya sudah dibuat nyaman dengan aktifitas ini setiap malam, berulang kali aku melupakan keinginan untuk memperbaiki kualitas tidurku yang sudah terlalu berantakan ini. 

Aktifitas menatap layar ponsel sembari rebahan selama berjam-jam padahal punya dampak tidak baik bagi kesehatan mata. Terlebih, pada dasarnya postingan-postingan yang kulihat di lini masa banyak yang justru tidak memiliki kebermanfaatan apapun untukku. Ya, seputar memperhatikan kehidupan orang lain, rasanya memang tidak penting sama sekali dilakukan. Betapa sungguh sayang waktu yang telah kuhabiskan pada hal yang sia-sia ini. Namun, kendati menyadarinya toh aku masih saja berkutat dengan aktifitas ini lagi dan lagi. Menyebalkan bukan?

Terlepas dari rasa ingin tahu atau kepo, seru saja sebenarnya bisa mendapati kehidupan orang lain disajikan dengan cuma-cuma di depan mata. Walaupun sering muncul pertanyaan di kepalaku; "apa faedahnya sih posting beginian?". Tapi kan, apa faedahnya juga aku mengomentari hal-hal yang bukan urusanku. Hemm. . .

Sering sekali, disela-sela memperhatikan postingan orang-orang yang berseliweran di lini masa membuatku berkata pada diri sendiri: 
"Ul, jangan sampai melihat kebahagiaan orang lain membuatmu kehilangan kebahagiaan ya, jangan sampai!".
"Hei Ul, tidak perlu menjadi seperti mereka untuk menjadi bahagia. Karena sekarang saja kamu sudah sangat bahagia".

Kenapa bisa demikian?

Tidak bisa dipungkiri. Salah satu konten paling sensitif seantero media sosial sebenarnya adalah: segala postingan menyangkut kehidupan bahagia orang lain. Saat memperhatikan kebahagiaan yang diumbar-umbar, secara sadar ada saja yang tiba-tiba hatinya dihinggapi perasaaan berkecamuk, sesak. Digerogoti oleh penyakit hati yang disebut; iri. Keirian ini acapkali mengundang rasa ingin membanding-bandingkan kehidupan pribadi dengan kehidupan orang lain. Merasa tidak beruntung, menganggap diri sendiri tidak berarti hanya karena merasa tidak sebahagia mereka disana.

Tentu saja, ini dampak yang jauh lebih berbahaya. Sebab, dengan menatap kehidupan orang lain; malah membuat kita insecure. Lalu, lupa peduli pada diri sendiri. Jangan sampai ya, jangan sampai. Itulah mengapa, agaknya perlu menjadi cekatan menghujani kepala dengan kalimat-kalimat sugesti positif. Menangkal diri, agar tidak tenggelam dalam perasaan-perasaan yang melemahkan diri sendiri.

Kita tentu tidak bisa meminta orang lain menjaga perasaan kita. Kita tidak berhak melarang siapapun yang hendak memposting apa saja yang mereka inginkan, apalagi di akun mereka sendiri. Apa yang orang lain ingin lakukan adalah diluar kendali diri kita.

Kita memang tidak bisa mengendalikan perbuatan orang lain. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa mengendalikan diri bukan? Melihat-lihat kehidupan orang lain itu pastilah boleh-boleh saja. Memfokuskan diri pada kehidupan mereka, itu jangan. 

Bagiku, setiap postingan orang lain yang tidak meng-enak-kan justru menjadi sebuah pembelajaran. Agar lebih tegas kepada diri, untuk berhati-hati menggunakan media sosial. Tidak bermudah-mudah mengumbar kehidupan pribadi menjadi konsumsi publik, apalagi soal kebahagiaan. 

Selalu ingat agar; menjaga perasaan orang lain, sepenting menjaga perasaan diri sendiri.

~Zulfannnisafirdaus
Palembang, Juli 2020.
Sumber Gambar: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...