Langsung ke konten utama

Hari Ini; Kuncinya Cuma Bersyukur


Hari ini, sudah masuk bulan ke empat aku menetap di rumah. Rasanya masih seperti mimpi aku bisa menikmati hari-hari seperti ini. Bisa istirahat dan berkumpul bersama keluarga di atap yang sama. Setelah lima tahun hidup berjauhan di tanah orang. Sungguh tidak menyangka kalo mimpiku akhirnya diwujudkan sama Allah. Ya, meski dengan cara yang agak dramatis sih. Judulnya: Hikmah dibalik pandemi Covid-19. Hehe

"Kamu masih di Palembang Fir?"

Seminggu ke belakang aku nampaknya sangat akrab sekali dengan pertanyaan ini. Terhitung sudah enam orang temanku memburuku dengan pertanyaan yang sama. Aku jadi penasaran, pertanyaan mereka ini ungkapan rindu ataukah hanya sekedar rasa ingin tahu belaka. Ah. . . semoga saja rindu betulan, sebab sebenarnya disini akupun juga sedang merindu; Bandung dengan segala warna-warninya.

Rindu sekali sama seblak, ayam geprek pangeran, batagor kuah, baso Mas Djoko Cikawao, gulu-gulu cheese tea, nasi ayam serundeng SPG, cireng penyet depan Unla dan muasih buanyak lagi. Hmm. . . ulalaa malah ngomongin makanan, kan jadi laper :(

Ngga deng, ada rindu yang lebih besar dari sekedar makanan. Rinduku pada mereka; para teman seperjuangan. Teman dekat zaman kuliah yang sekarang udah pada jadi mahmud alias mamah muda, temen-temen kajian yang bakal ku kenang dalam ingatan sepanjang masa, dan teman-teman kantor. Ah, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku rindu. Mereka adalah bagian dari riwayat perjalanan hidupku selama di Bandung. Aku nggak akan lupa!

Rinduku pada Bandung besar memang. Namun, sebesar apapun rindu itu rasanya tidak akan sebanding dengan nikmatnya bisa berkumpul dengan keluarga secara utuh di rumah seperti saat ini. Aku berat sekali memikirkan jika esok hari harus berangkat pergi meninggalkan rumah lagi. Berat meninggalkan orang tua dan si bungsu. Berat jika harus kembali menjalani rutinitas kerja yang berdampingan dengan  kerasnya hidup mandiri. Pun, lagi-lagi beratnya menabung rindu untuk sebuah kata; pulang.

Berat, berat, berat! Siapa yang naroh bawang di layar laptop sih? Kan aku jadi nangis bombay :(
Iya, masih dipikiran pun sudah terasa amat berat apalagi saat dijalani nantinya. 

Sebab, pulangku kali ini adalah pulang paling lama yang pernah ada. Sebelumnya paling juga cuma sekitar sebulan saja, itu pun udah terbilang lama pada masanya. Pas masih zaman-zamannya libur semesteran kuliah dulu. Setelah bekerja, mana bisa lagi begitu. Yang ada, cuma dikasih kesempatan semingguan doang bisa ngerasain tidur di kasur kamarku di kampung. 

Entahlah, aku jadi khawatir tahun-tahun kedepan aku akan kembali merasakan masa-masa seperti dahulu. 

(Hai aku di masa depan, semoga saja saat ini kamu lebih kuat! Terimakasih untuk tetap berjuang demi kebaikan meskipun harus terus bergulat dengan rindu-rindu!)

Dulu, aku sempat mikir gini, "Beruntung banget sih mereka yang bisa tetap kumpul sama keluarganya dalam kondisi apapun. Tidak perlu merasakan sesaknya merantau. Berangkat kerja atau kuliah dari rumah. Masih sempat sarapan, makan siang, dan makan malam masakan Mamah. Bisa cium tangan kedua orang tua tiap hari. Menyaksikan pertumbuhan adik-adik dan menyaksikan perubahan rumah dengan segala pernak-perniknya serta suka-dukanya. Beruntung banget mereka yang bisa berada di posisi itu".

Itu dulu. Dulu, sebelum aku tau. 

Dewasa ini, aku banyak belajar. Pengalaman dan melihat dari beraneka ragamnya kisah hidup orang lain juga yang bikin aku bener-bener belajar. Kalo semua orang di dunia ini tuh punya porsi keburuntungannya masing-masing. 

Toh aku juga termasuk sangat beruntung, bagaimanapun kejamnya kemandirian. Aku masih punya Mamak dan Bapak yang walaupun jauh tapi petuah dan doa-doanya selalu mengiringi setiap langkah-langkahku. 

Ketika diluar sana, ada banyak orang yang bahkan tidak pernah melihat bagaimana rupa kedua orang tuanya. 

Kuncinya, cuma bersyukur sama Allah.

~Zulfannisafirdaus

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...