Aku pernah jatuh untuk pertama kalinya, sedalam perasaan yang tidak pernah kuduga. Kupikir; aku hanya menyukai seseorang diam-diam, dan itu tidak sulit. Alias mudah saja. Cukup menginginkannya di dalam hati, lalu menguburnya dalam-dalam. Tidak perlu ada yang tahu soal perasaanku, lantas aku akan tetap baik-baik saja menyembunyikannya sendirian.
Tidak bisa dipungkiri, aku benar-benar dibuat jatuh pada kali pertama bertemu. Kejadian itu sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu. Walaupun sudah berlalu cukup lama, aku berniat mengenangnya untuk menjadi bahan refleksi diri.
Wanita pemalu sepertiku, memang cenderung menyukai tipe lelaki yang tidak mudah ditebak. Tidak banyak bicara, cuek namun penuh kejutan adalah sosok yang kukira pantas membersamai diriku. Lelaki agak perfectionist adalah paling ideal, terkhusus untukku wanita yang juga menyukai kesempurnaan. Bukankah pasangan akan sangat serasi jika memiliki banyak kesamaan? Kukira begitu.
Berbeda dari kebanyakan, mungkin atas nama perbedaan itulah aku merasa tertarik pada pandangan pertama. Perasaan begini sebenarnya tidak meminta untuk hadir, ia kerap datang secara tiba-tiba. Dimanapun, kapanpun, dan pada siapapun. Itulah sebabnya aku sulit mengatakan bahwa perasaan ini salah. Tentu sudah menjadi fitrahnya hati, hanya saja ini soal bagaimana aku bisa mengendalikannya.
Pekerjaan memendam ini pada akhirnya bertemu pada saat yang menyulitkan bagiku. Semua tidak berjalan sesuai yang kukira. Patah dahulu sebelum memutuskan untuk ikhlas dan pulih. Tidak sebentar untuk membaik. Percayalah, tidak sebentar.
"Annisa, please jangan sampai kamu jatuh hati sebelum menikah. Jatuh hati sama orang yang salah dan berakhir patah hati itu berat Nis. . . Bukan cuma dosa yang mesti ditanggung, proses memulihkan rasa sakit juga bukan hal yang bisa kamu lakukan semudah membalik telapak tangan", begitu katanya.
Sahabatku yang saat itu tengah menjalani pendidikan di bidang psikologi ini memang agak berat kalo bahas masalah-masalah perasaan. Bukan tanpa alasan, berlatar traumanya soal hubungan dengan pasangannya di masa lalu, juga banyaknya teman-teman yang menjadikannya sebagai penampung curahan hati. Juga kajian-kajian mengenai permasalahan pranikah, pernikahan, perceraian dan sejenisnya dengan segala bentuk contoh kasus menyedihkan yang membuatnya agak cerewet dan sering menceramahi aku hal-hal semacam ini.
Nasihat-nasihat sahabatku ini memang sepenuhnya benar. Hatiku saja yang sedang bermasalah waktu itu.
Suatu waktu kami pernah iseng-iseng membahas mengenai pernikahan. Apa saja yang kami inginkan dari pernikahan dan apa saja kriteria pasangan yang jadi patokan kami dalam memilih. Kesimpulannya, ternyata membuat kami sama-sama tertawa geli. Kebanyakan perempuan itu rupanya sama, mematok begitu tinggi perihal keriteria pasangannya di masa depan. Bukan bermaksud sombong atau sok kepedean akan mendapatkan apa yang kami inginkan, yang pasti masing-masing kami tentu punya alasannya tersendiri.
Padahal sungguh muluk cita-citaku saat ditanya soal pernikahan. Mendambakan lelaki sholeh yang menjemputku dengan cara-cara syar'i. Memiliki kesamaan visi-misi. Yang kelak jika bersama, aku dan dia dapat membangun syurga di dalam rumah. Yang kelak jika bersama, aku dan dia berikhtiar menyicil rumah di dalam syurga.
Tapi apa yang sedang terjadi saat itu? Aku malah jatuh pada seseorang yang bahkan tidak pernah mampu menangkap hidayah-hidayah dari Allah. Jauh sekali hidupnya dari mengikuti aturan-aturan Allah. Terpenjara dalam kejahiliahan.
Aku lupa menyadari, tentu saja memilih pasangan itu bukan hanya dari sisi kesamaan kepribadiaan. Keserasian macam ini tidak menjamin terciptanya rumah tangga yang harmonis versi Allah. Padahal sudah sebaiknya aku juga memikirkan perihal menjadi pasangan ini juga mesti sekufu agamanya. Kalopun tidak pula menjamin keharmonisan, setidaknya masih ada ilmu yang bisa menjadi penuntunnya.
Ah mengingat celotehku itu tidak habis pikir bertolak belakang dengan kondisiku.
Aku paham betul letak salahnya, namun dalam prakteknya mengendalikan perasaan juga bukan sesuatu yang bisa dibilang gampang. Terlebih saat menyadarinya adalah sebuah ketidakpantasan, sesuatu yang sudah terlanjur terjadi susah loh mengembalikan lagi pada jalurnya. Bukan tidak bisa, tentu saja bisa-bisa saja. Butuh waktu, dan masing-masing orang punya waktu pemulihan yang tidak sama. Ada yang cepat, ada juga yang terseok-seok lamanya.
Pada hujan dan diatas gelaran sajadah. Sempat pada waktu-waktu mustajab aku membawa nama lelaki tersebut dalam lantunan doa-doa. Kala itu doaku tidak panjang.
"Ubahlah Dia ya Allah, berikanlah lelaki itu hidayah. Jadikanlah dia menemukan jalannya menujuku".
Dilain waktu aku yang penuh rasa mendamba, semakin berisik meminta Allah mengabulkan doaku.
"Ya Allah baikkanlah Dia, satukan Dia bersama orang-orang baik. Entah bagaimana caranya, Engkau lebih mengetahui arah yang semestinya. Dekatkanlah kami jika itu baik untukku dan masa depan, dekatkanlah saat dia memang pantas, dekatkanlah jika dia memang sudah pantas".
Begitu seterusnya malam-malam dan hujan-hujan aku hiasi dengan memanjatkan lirik doa pada Allah.
Demi apa? Demi. . . Dia agar berubah menjadi lelaki sholeh sesuai yang kumau, dan kelak dituntun Allah menuju kepadaku melalui jalan-jalan yang tidak ada dalam perkiraanku.
Begitulah aku, pernah dibuat se-jatuh dan sepercaya diri itu meyuarakan rasaku pada Allah.
Namun, panjang waktu berlalu permintaanku tidak menemukan titik pengabulannya. Entah karena doaku yang salah, atau karena caraku yang memang salah. Satu hari pun satu kesempatan tidak ada tanda-tanda apapun mendatangiku. Yang kutahu, sesuatu yang berawal dari niat yang salah tidak akan pernah berujung sesuai dengan yang diharapkan.
***
Aku terdiam menatap keluar jendela kamar. Belakangan ini hujan sedang sering-seringnya berkunjung ke daerahku. Agaknya aku sudah akrab dengan pemandangan dedauanan yang basah oleh sisa hujan. Namun yang terjadi sore ini lebih berbeda dari biasanya. Kendati hatiku yang sedang sensitif, ternyata bukan hanya dedauan yang basah, saat ini pelupuk mataku juga.
Berminggu-minggu terakhir aku libur, aku memang memutuskan menghabiskan setiap liburan dengan pulang ke kampung halaman. Di rumah saja adalah suasana yang paling kurindukan saat berada di kota perantauan.
Maklum saja sejak menjadi mahasiswi lima tahun yang lalu, kemudian lulus dan bekerja dua tahun belakangan. Segudang tugas membuatku sedikit rusuh menjalani hari-hari. Pagi menuju siang tak terasa begitu cepatnya, siang menuju malam pun begitu, bahkan malam menuju pagi terasa seperti memejamkan mata semenit-dua menit saja. Ya, waktu seakan berlari sangat kencang.
"Bagaimana mungkin perihal memendam perasaan sendirian saja bisa serumit itu?".
Aku mulai menghujani semesta dengan pertanyaan yang sama berulang kali. Bau basah tanah membangkitkan jiwa melankolisku.
Tentu saja rumit. Perasaan-perasaan seperti itu hanya berpihak pada satu hati, menyesap dalam senyap menuju satu hati yang lain. Sedangkan, pada hati yang dituju tidak sedikitpun menyadari. Bagaimana bisa menjadi kisah yang menyenangkan, jika pada alurnya hanya satu hati saja yang siap sedia memendam rasa. Tidak berbalas, sekali-kalipun tidak.
~Zulfannisafirdaus
Komentar
Posting Komentar