Langsung ke konten utama

Jika Aku Kecewa




Sulit memang, membendung sakit dalam hati. Rasanya hampir saja kau lupa diri, seperti ingin sekali meluapkan semua yang kau pendam dalam-dalam. 

Dadamu amat sesak. Tak sadar sudah berkali-kali hujan jatuh dari ujung matamu. Kata-kata pedas nan mengerikan sebenarnya sudah dalam posisi bersedia keluar dari mulutmu. 

Namun, untuk kesekian kalinya kau bersusah payah menahan diri.

Dear diriku, amarah atas segala bentuk kekecewaaan memang seringnya menyeretmu jauh ke dalam ruang sakit teramat sangat. Aku sungguh tau perasaan semacam itu akan hadir kapan saja sang waktu menginginkannya. Aku pun sungguh tau, tidak selalu kau tampil baik perihal mengendalikan diri.

Untuk itulah tulisan ini ku adakan teruntukmu, barangkali saat kau tak tau harus berbuat apa, tulisanmu akan menjadi pengingat sekaligus pengobat.

Suatu hari, kamu pasti akan berada dalam keadaan yang tak terbayangkan. Sebuah kondisi yang kau alami di balik ketidakinginan mengalaminya. Dipukul oleh rasa kecewa mendapati  begitu banyaknya orang-orang disekitar yang ternyata tidak selalu peduli perihal perasaanmu.

Aku tau rasa sakit itu akan melegakan saat diutarakan. Tapi wahai diri, jika saja kau mau menyediakan waktu sedikit lebih lama untuk bercengkrama dengan dirimu sendiri. Barangkali itu akan menjadi sedikit waktu yang amat berarti, mampu menetralkan kerumitan yang tengah menggenapimu.

Kamu itu baik. Jangan rusak kebaikanmu hanya saat dirundung amarah saja!

Kenapa tidak untuk berpikir bahwa: setiap kejadian dalam hidup ini selalu senada. Semua beralur sebab-akibat. Andai kamu sedang berada dalam keadaan tersakiti, boleh jadi sebab dilain waktu yang lalu kamu tak sadar pernah menyakiti. Kenapa tidak untuk berpikir: apa yang kau alami boleh jadi sebab keadaannya saja yang berbalik, darimu kepada orang lain, dan dari orang lain kepadamu.

"Tapi kan aku ga pernah berurusan sama si A, kok tega-teganya dia bertindak begitu padaku?"

Dear diriku, bukankah kau sungguh tau bahwa; hanya disisi Allah segala perhitungan. Allah itu adil, dengan cara-Nya. Maka sah saja, jika Allah menunjukkan cerminanmu dengan cara berbeda.

Tinggal kembali kepada dirimu, mau mengambil hikmah atau tenggelam dalam perasaan tersakiti melulu.

Bersabarlah, walaupun menyabarkan diri seolah begitu memakan banyak energi. Namun, tidak ada tindakan yang lebih melegakan selain bersabar dan membuka pintu ikhlas selebar-lebarnya.

Dear diriku, jika kecewa begitu rumit. Kenapa harus kau kau kurung ia berlama-lama dalam hatimu?
Jika ada banyak hal yang perlu kau urusi selain ini, kenapa tidak untuk melewatkan saja semuanya agar tidak mengusik fokusmu pada yang lebih penting.

Walau sulit menerima. Simaklah, yang perlu kau perbaiki bukan melulu cara orang lain kepadamu, justru sebaliknya; ialah caramu kepada orang lain.

Terima kasih sudah mengontrol hatimu supaya tak buru-buru berbuat kekejaman yang sama seperti yang mereka lakukan padamu. Membiarkan emosi itu meluap tak terkendali bukan pilihan yang tepat. Hanya kepuasan yang didapat bukan kenyamanan.

"Apa bedanya aku dengan dia?",  Katamu kemudian setelah kau tersadar dalam sesal. Begitulah, perasaan menyesal selalu hadir belakangan.

Dear, diriku. Kembalikan saja semua kepada Allah.

Uul
Bandung, 2019. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...