Langsung ke konten utama

Boleh jadi, Sakit adalah Teguran




Hai, penghujung Juli. Ah... saat dicermati waktu seakan berlari sangat cepat. Begitu sangat cepat, hingga mendahului kecepatan kemampuan untuk menyetel impian agar terwujud sesuai waktu yang kita idamkan. Hhmm, akhir-akhir ini waktuku memang terlalu banyak disibukkan perihal urusan dunia seperti ini. Wajar saja jika aku merasa semua begitu cepat, sebab urusan dunia yang padat tanpa jeda ini adalah sekumpulan sibuk yang hanya membuat hatiku tetap terasa kosong.

Dua bulan terakhir, duniaku memang berubah. Kegiatan menulis seperti yang aku gadang-gadang sebelumnya pun nampak terhalang banyak hambatan. Maklum, liburku hanya di hari minggu. Beberapa hari minggu juga sudah dipergunakan untuk kesibukan-kesibukan lain yang melahab energi. Jika luang bisa dimaanfaatkan untuk istirahat, tapi ya benar-benar istirahat. Tidak ingin berpikir berat-berat atau melakukan hobi barang sebentar pun. Iyah, dua bulan terakhir ini agaknya sedikit lebih rumit dari yang pernah kuperkirakan.

Banyak hal yang terjadi, persoalan-persoalan yang membuat jiwa dewasaku bekerja lebih keras. Otakku yang dibiasakan tetap pada jalur positif. Juga, nuraniku mesti lebih peka terhadap kondisi sekitar. Akhirnya, aku benar-benar paham bahwa menjadi dewasa tidak sebecanda apa yang terlintas dikepalaku dahulu.

***

Entah apa yang sedang terjadi dengan tubuhku yang selama ini selalu tampak baik-baik saja. Pasalnya, semalam aku merasakan sakit kepala yang tidak biasa. Selepas shalat isya, aku merebahkan tubuh di kasur, sembari mengoleskan minyak angin ke bagian kening dan leher. Berharap bisa sembuh seperti biasa. Sebetulnya, aku sendiri memang punya riwayat migrain yang kerap kali datang jika kelelalahan. Tidak sering, terkadang hanya muncul sebulan sekali meskipun dengan waktu agak lama. Tapi ya paling lama berdiam dikepalaku sejam sampai dengan dua jam saja, tidak sampai memakan waktu semalam suntuk.

Anehnya, beberapa jam sudah berlalu. Nyeri berdenyut di kepalaku tak kunjung reda, alih-alih reda ada juga semakin meradang. Alhasil, aku kesulitan tidur, mata melek dan terus-terusan mengeluarkan air mata. Padahal tidak bermaksud menangis sama sekali. Sudah berulang kali aku mengoleskan minyak angin, freshcare adalah merk minyak angin satu-satunya paling ampuh mengobati sejauh riwayat sakit kepalaku. Aku memang paling bandel jika harus minum obat-obatan kimia dari dokter maupun dari warung. Selama ini aku lebih percaya pada obat-obatan yang penggunaannya di luar tubuh, seperti; balsem atau minyak angin. Atau kalau tidak sedang malas aku lebih memilih minum air seduhan jahe+serai yang menurutku jauh lebih baik tanpa efek samping semacam obat-obatan kimia.

Malam itu dua ikhtiar pengobatan sudah dilakukan. Baik mengolesi dengan minyak angin sembari memijat kepalaku, juga minum air seduhan rimpang-rimpangan seperti yang kusebutkan sebelumnya. Namun, belum jua menunjukkan hasil apa-apa, sakit tidak kunjung berkurang. Sepertinya memang sedang ada yang tidak beres dengan tubuhku.

Mencoba untuk tetap berpikir positif. Kalau-kalau saja keesokan pagi sakitnya baru menghilang. Hingga entah pada pukul berapa aku tertidur dan terbangun kembali saat adzan subuh berkumandang. Saat terbangun, kepalaku masih terasa berat. Sakit masih menyergap sama seperti sebelum tertidur. Sempat mengira mungkin saja gejala demam, kemudian memeriksa keningku barangkali panas. Tidak kudapati adanya gejala panas, mual atau lainnya yang menunjukkan aku terjangkit demam. Sakit ini hanya benar-benar menjangkit kepalaku saja, sedangkan bagian tubuhku yang lain rasanya dalam keadaan baik. Beranjak dan mengambil wudhu lalu bergegas melaksanakan shalat subuh. 

Baru saja hendak sujud rakaat pertama, tanpa aba-aba air mata mengalir deras dari kedua pelupuk mataku. Aku menangis terisak hebat seraya menjatuhkan kepala dalam gelaran sajadah. Bukan, bukan menangis karena rasa sakit yang semakin meradang dikepala yang tidak bisa kutahan lagi. Kali ini sakit ini bahkan lebih luar biasa dari rasa sakit dikepalaku. Dengan tiba-tiba ada emosi yang tertahan dikerongkongan kemudian luruh begitu saja. Emosi itu benar-benar membuncah menemukan tempatnya agar tersalurkan. Dalam sujudku yang agak panjang, perasaan bersalah dan berdosa memenuhi ruang sadarku.

Terlintas dalam ingatan betapa belakangan ini aku memang agak lalai. Ada banyak kejadian hidup yang aku atasi sendiri tanpa sungguh-sungguh melibatkan Allah bersama. Tidak ada waktu yang aku sempatkan supaya berlama-lama berdikusi dengan Allah. Melakukan ibadah yang wajib-wajib saja, puasa senin-kamis sudah lama bolong-bolong, shalat malam hanya hitungan jari pun seringnya malah tergesa-gesa. Tidak ada kenikmatan dalam seluruh ibadahku belakangan. Kesibukan demi kesibukan merenggut keinginan agar berlama-lama meringkuk dihadapan-Nya. 

Ya, jika saja Allah memberiku peringatan atau mungkin hukuman dengan mendatangkan sakit kepala hebat semalam suntuk, barangkali memang aku sangat pantas mendapatinya. Kenyataannya aku sudah terlalu keras menggunakan kepala ini untuk berpikir perihal dunia yang fana, lalu sedikit sekali untuk urusan berdekatan dengan-Nya. 

Tak terbendung, tangis terus mengalir sepanjang shalat. Jiwa penghambaanku pun hadir setelah sekian lama menjelma menjadi manusia egois yang hanya mementingkan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Terbesit takut jika saja Allah mengambil nyawaku hari ini dan benar-benar menyelesaikan usia keberadaanku di dunia tanpa aba-aba apapun. Lalu dengan kehinaan ini, bekal apa yang akan ku bawa menuju kehidupan selanjutnya?

Tidak banyak yang kusampaikan kepada Allah. Seusai shalat aku hanya tidak berhenti menangis dan memohon pengampunan. Aku meyakini bahwa Allah sudah maha mengetahui apa yang ada di dalam hatiku.

Menjelang pagi, sakit dikepalaku sedikit demi sedikit mereda. Sekitar pukul Tujuh pagi, Alhamdulillah aku merasa sudah baikan. Sakit dikepala hilang begitu saja. Seakan sakit itu memang dihadirkan sepanjang malam tadi hanya untuk memperingatkan diriku yang sudah lalai hingga kelewatan menilai kehidupan dunia ini terlalu penting melebihi apapun.

Aku terpikir, jika saja Allah tak punya cinta teruntukku apa jadinya diriku ini. Betapa sungguh, hanya Allah yang pantas menjadi tujuan dalam berlelah-lelah di dunia ini. Mengejar kesuksesan dunia yang menjadi tajuk besar di kepalaku belakangan, sepertinya tidak akan pernah mendatangkan kenikmatan hakiki untuk diriku sendiri, pun orang lain disekitarku. Jika Allah tidak menjadi besar dalam setiap niat pun ikhtiarku selama ini, semua yang ku perjuangkan tidak pernah layak disebut ibadah. Bukankah seluruh aktifitas akan bernilai ibadah jika Allah ada didalam niat dan tujuannya? 

Pencapaian apapun dalam dunia ini tidak akan memberi ketenangan apapun selama bukan beratasnamakan Allah.

Pernahkah kalian berada di posisi seperti ini? Merasa pernah ditimpakan rasa sakit yang tak biasa. Jika ya, aku berharap kita bisa mengambil hikmah darinya. Sekaligus menjadi pengingat kedepan andai kembali mengalami hal serupa. Diberi sakit bisa jadi menjadi sebuah ujian pun bisa jadi menjadi sebuah teguran.

Barangkali ada salah yang mesti bergegas kita benahi. Barangkali sakit tersebut adalah kode bahwa Allah tengah merindu. Allah ingin kita segera kembali menghamba setelah melenceng dari petunjuk jalan-Nya yang lurus. Hati yang kita biasakan peka kepada kehidupan sekitar, harusnya punya tingkat kepekaan berkali-kali lipat dalam memahami kode-kode Allah. Entah sudah sebatas mana kita berjalan berjauhan dengan-Nya, entah sudah seburuk apa kita mengkhianati kasih sayang-Nya, sementara Allah yang maha Rahiim akan selalu menunggu, nikmat dari-Nya tidak akan menemui batas akhir. 

Bersyukurlah, Allah masih berkenan menegur dengan cara-cara-Nya yang lembut.

Oleh : Zulfannisafirdaus
Sumber Foto: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...