Langsung ke konten utama

Menulis adalah Kebutuhan: Kembali Nge-blog



Oleh : Firda Zulfannisa Ariga

Bismillah. Selamat datang kembali di blog kesayangan. Dalam blog ini, tulisanku ini adalah tulisan kedua yang terbit di tahun 2019. Tadinya, sempat kaget saat sadar waktu begitu cepat berlalu. Sudah masuk bulan Mei dan aku baru nulis lagi di blog setelah beberapa bulan lalu menghilang. Hihi sebenarnya bukan menghilang betulan, aku masih sering nulis kok cuma tidak di share di blog saja. Aku sering bikin tulisan di instagram atau tumblr. Lebih aktif nulis di buku tapi hanya untuk di simpan, sebatas catatan personal. 

Setelah membuka lagi blog awal bulan April lalu, menilik kembali  beberapa tulisan di tahun 2018 saat pertama kali blog ini dibuat. Tiba-tiba ada rasa rindu membuncah dihati, meminta diri agar kembali sharing di blog ini. Itung-itung belajar nulis lagi, iseng-iseng barangkali berhadiah hehe. Hadiah yang ku harapkan sih yaa; semoga dengan kembali melatih diri menulis di blog ini lagi, Allah kasih ilham berupa ide-ide baik sehingga bisa membuat tulisan yang datang dari-Nya itu bermanfaat bagi yang membaca. Semoga kali ini aku bisa istiqomah menulis disini, bisa melawan moody yang kerap kali menghampiri. 

Bagiku, tulisan-tulisan layaknya jurnal yang memuat isi kepala dan perasaan. Dalam blog ini, di instagram atau di tumblr sebenarnya tulisanku tidak selalu berarti menggambarkan tentang diriku yang sebenarnya. Alias, "Aku" dalam tulisanku seperti cerpen atau barangkali sewaktu-waktu menulis puisi tidak secara keseluruhan mengambil dari pengalamanku pribadi. Ini khusus cerpen dan puisi aja ya. Tapi, bagaimanapun ceritanya, semoga sedikit banyak terdapat hikmah yang bisa diambil oleh pembaca.

Kalian harus percaya, bahwa seseorang penulis biasanya mampu memposisikan diri menjadi siapapun dengan menjadi  'Aku'  dalam tulisannya. Jadi, kalo misalnya ada yang baper dan nanya, "Fir, kenapa? kamu lagi galau ya?" Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa. Ingin ku katakan pada kalian my dear, "Untuk menulis aku tidak harus menjadi galau terlebih dahulu". Justru barangkali sebenarnya yang sedang galau itu adalah kamu, dan aku sedang ingin menulis dengan memposisikan diri menjadi kamu hehe.

Sebenarnya, bisa jadi aku terinpirasi dari kasus orang lain yang aku dengar selintas, atau yang benar-benar mereka berbagi pengalaman padaku. Bisa jadi menulis hanya karena aku ingin menulis saja, bahkan ketika tidak sesuai dengan keadaan hati dan kenyataan hidupku. Aku hanya berusaha menempatkan segala sesuatu yang memenuhi ruang kepala dan berupaya mengambil dari berbagai sudut pandang.

Kegiatan menulis merupakan sebuah hobi bagiku. Bukan hobi baru, ia sudah tertanam sejak masih kecil. Dimulai dari kebiasaan menulis catatan harian ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dulu, tulisanku masih seputar curhatan yang kutulis dalam sebuah buku diari. Tentang sebuah kondisi yang kualami di masa kanak-kanak yaa seputar keluh kesah seorang bocah terhadap permasalahan hidup yang amat remeh sekali. Namun nyatanya, kebiasan menulis harian sejak kecil inilah yang menjadi titik awal, sehingga detik ini aku masih terus melakukannya. 

Saat tumbuh remaja, menurutku kemampuan menulisku sedikit naik level. Seingatku, zaman SMP aku sudah mulai membuat cerpen. Tidak hanya cerpen, aku juga suka menulis puisi. Bahkan, menulis puisi agaknya jauh lebih sering ketimbang menulis cerpen. Hanya saja, dulu seluruh tulisanku tidak mendapat tempat yang baik. Semua berakhir dengan hilang entah kemana. Maklum saja, dahulu menulis bagiku hanya sebatas corat-coret biasa. Tidak terpikir untuk menyusunnya dengan rapi, hanya ditulis di secarik kertas atau dalam sebuah halaman buku yang setelahnya tidak pernah kupedulikan lagi. 

Zaman SMP imajinasiku sudah melebihi batasan usia. Ingat sekali, ketika yang lain sering copas tulisan orang lain aku justru sudah lihai menulis kata-kata puitis bak orang dewasa. Hingga beberapa teman sering minta dibuatkan kata-kata untuk di "send all" via SMS, bertema persahabatan atau tentang percintaan. Kala itu, kata-kata yang kubuat tersebar kemana-mana. Ada beberapa yang kembali lagi kepadaku dari orang lain yang berniat mengirimiku kata-kata puitis, padahal yang dikirimnya adalah tulisanku sendiri. Barangkali orang yang mendapati tulisanku kebanyakan tidak pernah tau siapakah gerangan orang yang membuatnya untuk pertama kali. Jika saja mereka tau, betapa sebenarnya aku malu. Pasti akan banyak yang sibuk mengomentari diriku, kemungkinan banyak yang tidak percaya bocah kecil sepertiku waktu itu kok  bisa-bisanya sudah bicara puitis.

Oh iya, aku jadi terkenang masa lalu hehe. Dulu, saat masih SMP aku pernah dipanggil salah seorang guru mata pelajaran matematika ke ruang guru untuk diinterogasi habis-habisan. Gara-garanya, beliau menemukan puisi yang kubuat di secarik kertas dari dalam kotak sampah. Udah di kotak sampah loh itu, bisa-bisanya ditemukan ya. Mungkin ini adalah sekenario Allah supaya membuatku berhenti menulis tulisan-tulisan yang tidak sesuai dengan umurku saat itu hehe.

Usut punya usut, ternyata tulisan yang sudah kubuang itu awalnya ditemukan salah seorang teman kelas yang saat itu sedang membuang sampah bekas makanan. Mungkin, saat itu si teman ini melihat kertas dan penasaran lalu diambil. Nah, saat sedang membaca tulisan itu dengan serius tiba-tiba saja guru matematika yang kumaksud tadi lewat di belakangnya. Spontan, karena mungkin kaget temanku langsung menyembunyikan kertas itu dengan cepat dalam genggamannya. Gelagat itulah yang sebenarnya malah bikin curiga.

Singkat cerita, temanku dimarahi dan dipaksa jujur agar memberitahukan kalo puisi itu dibuat untuk siapa. Karena merasa bukan punya dia dan takut kena hukuman. Akhirnya, terungkaplah kalo puisi itu adalah buatanku. Jika diingat-ingat kejadian itu sangat memalukan sekali untukku. Memanjang juga sih permasalahannya waktu itu, tidak hanya kena ocehan guru matematika saja, aku juga berlanjut sampe ke meja guru agama dan wali kelas.  Alhasil, hari itu aku di ceramahi selama jam istirahat berlangsung. 

Memangnya nulis puisi apa sih?

Untuk detailnya aku sudah lupa. Tapi, inti dari puisi yang kutulis adalah sebuah puisi tentang 'cinta setengah mati terhadap seseorang'. Haha pantas saja jika harus sampai diinterogasi habis-habisan. Belum wajar seorang remaja kelas 2 SMP sepertiku saat itu menulis puisi bertemakan cinta-cintaan dan apalagi sampai menyebutnya setengah mati pula. Wah, dasar aku ya.

Meninggalkan masa SMP yang setelah peristiwa terciduk itu membuatku agak jera menulis. Namun, berbeda ketika menginjak SMA. Di zaman itu bisa dibilang aku mulai berani mengekspos diri. Sudah tidak takut-takut lagi karena mungkin merasa sudah cukup usia. Aku mulai menulis beberapa cerpen bertema cinta anak sekolahan yang diterbitkan di mading. Juga sering menulis puisi yang kupajang di media sosial seperti facebook. Saat itu, pemahamanku perihal agama masih amat jauh. Sehingga, banyak cerita yang dibuat masih alay, minim manfaat atau malah isinya penuh dengan mudharat.

Tulisan-tulisanku baik cerpen maupun puisi di masa lalu selalu berangkat dari trend yang sedang ramai. Sesuai kondisi di masa ku saat itu.  Hasil dari kegalauan, pencarian jati diri dimana memang masih labil-labilnya. Belum jelas mengetahui mana yang baik dan buruk, perihal berkerudung wajib dan pacaran haram pun dulu mana paham. Itulah mengapa dewasa ini aku merasa betapa pentingnya pemahaman mengenai yang demikian di usiaku remaja dahulu, menulis sesuatu yang salah akan berpotensi menyalaharahkan pembacanya juga, bukan?

Berbeda dengan sekarang, tulisan-tulisanku mulai berkembang ke arah yang lebih baik. Meskipun masih belum banyak memberi arti. Hanya saja, khusus bagiku setiap tulisan punya makna tersendiri. Pun, mengenai tulisan di masa lalu sedikitpun aku tidak menyesalinya, ia adalah bagian dari proses bertumbuhnya semua tulisan-tulisanku. Jika tanpanya, aku mungkin tidak punya kesempatan untuk  belajar memperbaiki.

Dari sebuah tulisan, aku bisa merasakan kembali pada suatu masa ketika aku menuliskannya. Hanya untuk mengingatkan bahwa ada hikmah yang bisa ku petik, ada pembelajaran yang serta-merta ku dapati, ada rasa-rasa yang luar biasa, ada orang-orang yang menginspirasi, dan tentu mengenai kesyukuran akan semua hal itu. Akhirnya, sampai dengan hari ini aku masih saja terus bergelut dengan kegiatan menulis dalam mengisi keseharian. Menulis sudah seperti kebutuhan, seperti dengannya aku menemukan sebuah ruangan dimana aku bisa bebas merefleksi diri.

Sampai hari ini, tulisan-tulisanku bisa dibilang jauh dari bagus. Tulisanku memang masih butuh waktu untuk bertumbuh. Aku masih terus belajar dan berproses dan menulis di blog ini adalah bagian dari upayaku untuk senantiasa mengasah kemauan serta kemampuan menulis lebih baik. Harapanku, kelak semoga dapat melahirkan tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi orang banyak. Aamiin

Bandung, 2019
Sumber foto :Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...