Langsung ke konten utama

Postingan

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...

Jejak Luka #18: Episode Terakhir

Berbulan-bulan selepas kehilangan, jalan yang ku tempuh untuk sekadar bertahan pun amat sangat membutuhkan perjuangan. Aku yang kelelahan telah berada pada posisi burnout , sulit bernafas lega bahkan saat malam datang aku masih tidak menemukan ketenangan. Katanya, aku nampak terlalu jauh dari sang Mahabaik. Barangkali aku tidak bisa memungkiri, perasaan tidak tenang yang ada tidak akan terlalu mengusik bila bejana syukur ku masih penuh bukan?  ***  Aku tidak menyangka bahwa keputusan untuk membuat tema menulis dengan mengambil judul "jejak luka" di tahun 2022 lalu ternyata berhasil melahirkan beberapa episode cerita di blog ini. Bahkan, seolah sesuai judul untuk merangkum seluruh luka yang ada di tiga tahun belakangan. Tentang diri yang sedang berjuang mengobati dengan bersuara lewat tulisan. Iya, keputusan itu ternyata berujung lega. Setidaknya aku bisa menjadikan seluruh simpang siur di dalam kepala mengalir dalam bentuk curhatan. Ketika tidak semua orang bisa mendeng...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Jejak Luka #16: Ujian Pengantin Baru

Alhamdulillah satu tahun sudah menjalani biduk rumah tangga. Itu berarti sudah satu tahun pula diri ini belajar menyesuaikan diri dengan perubahan peran baru, peran sebagai seorang istri. Qodarullah sampai dengan sekarang kami masih berdua, sama Allah diizinkan menikmati waktu pacaran agak panjang setelah menikah. Hehe tak apalah menghujani diri dengan narasi positif, iya kan? Walaupun sejujurnya kehidupan pernikahan kami yang sudah melewati setahun ini dipenuhi dengan gonjang-ganjing pertanyaan "kapan punya anak?". Sesuai dengan tema yang mau aku bahas, kali ini aku pingin berbagi kisah tentang beberapa pengalaman dalam pernikahan kami. Mungkin sebuah cuplikan moment lika-liku ujian awal pernikahan. Sebuah tulisan untuk kenangan dan pembelajaran sebagai bahan untuk menoleh kebelakang dan menarik diri berada pada masa itu. Campang Tiga, 28 April 2023 Sekitar pukul setengah dua siang, rombongan pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman kami. Hari itu adalah hari yang ditunggu-...

Jejak Luka #15: Trauma Kehilangan

  Melewati satu tahun kehilangan dengan berbagai prahara dunia yang terlampau kejam. Kalau dibilang tidak terasa, sejujurnya salah. Sebab setahun ini terlalu banyak yang terjadi, tidak terhitung energi yang habis demi mempertahankan kewarasan diri. Hanya saja jika bicara soal waktu diri ini selalu dibuat terkaget-kaget; bagaimana mungkin secepat ini berlalu? Tahun lalu, tidak pernah membayangkan akan menghadapi takdir semenyedihkan ini. Meninggalkan kontrakan dengan perasaan gelisah tak karuan, setelah menerima kabar kondisi Mamak yang tiba-tiba drop. Dalam perjalanan bahkan harap-harap cemas mendapati kembali berita Mamak telah dibawa ke Puskesmas. Hendak berpikir positif namun hati tak bisa diajak tenang. Masih terang dalam ingatan, malam-malam sebelum kejadian. Entah angin apa yang membawa perasaan ini menjadi kacau. Drama menangis di pelukan suami, menyatakan tentang rindu akan hadir Bapak juga keinginan untuk pulang ke rumah menemui Mamak segera. Bahkan, sempat aku bertanya pe...

Jejak Luka #14: Adikku, Lepaskan Traumamu dan Melangkahlah...

  "Kamu sudah berjuang sangat keras, adikku...", ujarku. Diikuti air mata yang mengalir deras di pipi. Malam itu aku menerima panggilan telepon dari adik perempuan yang berada jauh di pulau seberang. Tidak disangka bahwa bincang-bincang kami akan memakan waktu panjang hingga berjam-jam. Seperti sudah ter- setting , jika biasanya obrolan putus-putus akibat jaringan yang tidak mendukung, atau bahkan terdistraksi oleh beragam hal, tetapi tidak kali itu... deep talk dadakan kami justru mengalir bebas hambatan.  Banyak tema yang kami bahas, sehingga bukan main energi yang habis terkuras untuk menjadi pendengar sekaligus penghibur. Tentang dilema pendidikan yang ditempuh, tentang lingkungan kerja, tentang keadaan mental, tentang trauma kehilangan dan trauma masa lalu yang masih mengambang. Ah yaa, sungguh rumit kehidupan dewasa ini. Perjuangan menempuh pendidikan memang tidak mudah. Apalagi, harus dibarengi dengan ujian ekonomi berikut ujian kehilangan bertubi-tubi. Kalau ada ya...

Jejak Luka #13: Tidak Ada Penyesalan

  "Kami sudah hapus semua, cukup jadi kenangan tidak ada penyesalan apa pun terhadap pilihan Kami dahulu". Kalimat itu terucap dari bibir Bapak, dengan mata berkaca-kaca. Ku tatap wajah beliau yang sayu, tersenyum penuh makna. Jika diingat lagi, moment ngobrol hadap-hadapan bareng Bapak kala itu adalah yang terakhir kali sebelum beliau tiada. Setelah meng-skip satu kali lebaran Idul Fitri di rumah bersama keluarga, kepulangan ku lebaran 2022 lalu begitu dinantikan olehnya. Itulah mengapa aku mengambil jatah cuti agak panjang dari rekan kerja yang lain. Demi menuntaskan rindu menikmati kebersamaan dengan kedua orang tua, yang ternyata menjadi potongan kenangan di masa-masa terakhir keberadaan mereka di dunia.  Sore itu kami duduk di meja makan, asyik berbincang mengenai beberapa bagian dari episode kisah hidup beliau di masa silam. Perihal bagaimana dahulu mereka telah banyak mengambil keputusan besar, kemudian memahami bahwa setiap keputusan memiliki resikonya masing-masing. ...

Jejak Luka #12 : Kecelakaan dan Pelajaran Berharga

  Aku pikir sudah tidak tau harus berbuat apa, tetapi ternyata batas antara pasrah dan jalan keluar setipis itu. Tidak ada yang abadi termasuk kesulitan. Akan ada saatnya kemudahan itu datang pada saat tidak terduga, saat prasangka berkata "Ah barangkali tidak mungkin", lalu kembali ditampar oleh kenyataan bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Aku. Berusaha. Kuat. Kemudian, Allah beri kekuatan sekaligus jawaban dari pinta yang sebelumnya dibalut air mata. Berkaca pada kejadian yang lalu, banyak pelajaran yang bisa diambil. Namun, yang lebih utama ialah tentang percaya bahwa pertolongan Allah itu sangatlah dekat. Masalah yang datang berduyun-duyun sekalipun sesungguhnya sudah sepaket dengan jalan keluar. Diri ini saja yang selalu tidak sabaran. *** Hari ini aku kembali menepi ke pojok jeda, sekedar menyetor kabar diri pun menikmati waktu senggang dengan bercengkrama dengan diri sendiri. Sayang sekali jika harus melewatkan keinginan menyuarakan isi hati dalam bentuk tulisan kali ...

Jejak Luka #11 : Ada saat aku ingin melampiaskan segala rasa sesak!

Sebenarnya tidak semua kata-kata yang tidak enak itu bermaksud buruk. Hanya saja cara penyampaian, penggunaan kata, dan moment yang tidak mendukung. Sebuah nasihat baik pun kalau disampaikan pada waktu dan keadaan tidak tepat akan menjadi kehilangan makna, bisa-bisa pesan yang tadinya bagus malah tidak tersampaikan sama sekali. Semenjak Mamak tiada, aku yang perasa semakin mudah tersentil hatinya. Bagaimana cara orang menatap saja sudah membuatku disibukkan dengan pertanyaan mengapa. Apalagi dengan kata per kata yang menyiratkan maksud berbeda, tidak henti pikirku menerka-nerka; apa yang sungguh mereka ingin dengar dan lihat dari diri ini? Apakah diri ini begitu penuh dengan cacat dan kurang? Pada banyak kesempatan aku menyimpulkan, bahwa orang-orang tua terlalu sering egois. Mereka merasa apa yang mereka pikirkan adalah "semua benar" dan harus di-iya-kan. Bersikap narsistik dengan berlindung dibalik perumpamaan "sudah lebih dulu mencicipi asam garam". Lalu, mengesa...

Jejak Luka #10 : Apakah aku seorang kakak yang baik?

Aku si anak pertama, cucu pertama, sekaligus keponakan paling tua. Aku terlahir untuk menyandang gelar Kakak. Iyaa, bahkan orang-orang pun menyematkan namaku dalam nama panggilan kedua orang tua. Setelah keberadaan ku di dunia, nama Bapak berubah menjadi Bapak Ulfa dan nama Mamak pun berubah menjadi Mamak Ulfa. Di tengah-tengah keluarga, seorang Ulfa dikenal sebagai anak pendiam dan dingin. Tidak punya banyak teman, kerjaannya diam di rumah, si paling "kerajinan", sangat sensitif, cuek dan suka marah-marah.  Kedua, ada adik perempuan ku. Si anak tengah. Anak paling terkenal sampe-sampe setiap orang selalu salah kalo manggil aku pasti nyebut nama dia; Awa. Maklumlah, dia ini si ceria kesana kemari. Temannya semasa sekolah Masya Allah bejibun, sampe teman aku pun jadi teman dia juga sangking mudah akrab sama orang lain.  Ketiga, ada si bungsu kesayangan. Anak laki-laki pertama dalam keluarga, hobi makan makanya punya badan paling gede dan sering dipanggil Abang Gendut. Nah dia ...

Jejak Luka #9 : Sebab - Akibat

Suka bingung sama perasaan sendiri. Ketika diperlakukan orang lain sekehendaknya, rasa ingin berteriak marah. Tetapi yang terjadi, hanya bisa menahan emosi itu dalam-dalam. Lalu, berakhir dengan tangis sebelum tidur. Pertanyaan kenapa orang lain bisa bertindak semena-mena dan mengesampingkan peduli pada perasaan ini begitu saja menguasai pikiran. Kadang pula, terbesit ingin supaya Allah balaskan rasa sakit yang sama pada mereka kemudian hari. Lalu, benar. Suatu hari seakan keinginan selintas itu benar-benar terwujud, aku menyaksikan sendiri kejadian menyakitkan menimpa mereka seperti sebuah balasan di waktu yang tidak disangka-sangka. Apakah melegakan? Tidak... Seperti menambah beban baru, terasa ada yg mengganjal di dalam hati. Berada pada posisi serba salah, apalagi bila dalam kondisi tersebut yang diunggulkan adalah diri sendiri. Entah mengapa pula aku malah ingin menolak keadaan yang terlanjur berbalik, tidak ingin melihat orang lain tersakiti walaupun semua yg terjadi adalah hasil...