Langsung ke konten utama

Jejak Luka #13: Tidak Ada Penyesalan


 

"Kami sudah hapus semua, cukup jadi kenangan tidak ada penyesalan apa pun terhadap pilihan Kami dahulu". Kalimat itu terucap dari bibir Bapak, dengan mata berkaca-kaca. Ku tatap wajah beliau yang sayu, tersenyum penuh makna.

Jika diingat lagi, moment ngobrol hadap-hadapan bareng Bapak kala itu adalah yang terakhir kali sebelum beliau tiada. Setelah meng-skip satu kali lebaran Idul Fitri di rumah bersama keluarga, kepulangan ku lebaran 2022 lalu begitu dinantikan olehnya. Itulah mengapa aku mengambil jatah cuti agak panjang dari rekan kerja yang lain. Demi menuntaskan rindu menikmati kebersamaan dengan kedua orang tua, yang ternyata menjadi potongan kenangan di masa-masa terakhir keberadaan mereka di dunia. 

Sore itu kami duduk di meja makan, asyik berbincang mengenai beberapa bagian dari episode kisah hidup beliau di masa silam. Perihal bagaimana dahulu mereka telah banyak mengambil keputusan besar, kemudian memahami bahwa setiap keputusan memiliki resikonya masing-masing. Termasuk mengambil keputusan berpindah pada tahun 2002 dari kampung halaman Bapak di Takengon - Aceh Tengah ke kampung halaman Mamak di Campang Tiga - OKU Timur. Memboyong serta anak-anaknya yang masih usia balita tanpa perencanaan hidup yang matang, semua dimulai dari nol.

Setelah memulai kehidupan baru di tempat baru, berbagai cara dilakukan untuk mencari peruntungan. Salah satunya, berbekal pengalaman dan ilmu yang mereka punya beberapa kali sempat mengikuti tes penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Namun sangat disayangkan, beberapa kali percobaan berujung gagal. Hingga pada akhirnya membuat mereka membulatkan tekad untuk membangun usaha sendiri, ialah membuka kedai mie ayam pelopor se kecamatan. Mata pencaharian inilah yang kemudian menjadi ladang kehidupan kami. 

Terlanjur dibuat nyaman oleh usaha yang mereka tekuni atau sebab sibuk mengurus usaha, tawaran kerja yang berdatangan harus rela dilepas begitu saja. Mulai dari tawaran bekerja di sebuah perusahaan, tawaran menjadi tenaga pengajar/guru honorer, tawaran menjadi perangkat desa, tawaran menjadi perangkat tata usaha sebuah sekolah, dan lain-lain. Pada saat itu menjalani peran sebagai pedagang lebih sulit untuk dilepas ketimbang menjalani peran lain yang belum tentu juga menjanjikan keadaan yang lebih baik ke depan. 

Hidup dari usaha dan memperjuangkan agar usaha itu tetap hidup, sejauh ini jika dihitung-hitung sudah 22 tahun sejak kedai mie ayam buka. Ini belum termasuk tahun-tahun sebelumnya, dimana Mamak dan Bapak sempat pula membuka peruntungan semasa masih berdiam di Takengon dan Yogya dahulu. Iya, menurut kisahnya, dulu masa-masa awal menikah mereka sudah terjun langsung dalam dunia usaha perkulineran, walaupun sering gonta-ganti tema jualan sampai akhirnya memantapkan hati dengan kedai mie ayam ini. Boleh juga nih nyali Mamak dan Bapak masa itu. Mencari peluang usaha di usia yang muda bukankah sulit untuk dimulai jika tidak ada tekad yang kuat, bukan?

Sama halnya dengan yang menjadi pilihan hidup ku hari ini bersama suami tercinta, iya tidak ada yang perlu di sesali. Sebab, kita membuat pilihan tetapi Allah yang memberi jalan. Maka berarti tidak mungkin semua bisa berjalan begitu saja tanpa adanya campur tangan Allah. Aku percaya bahwa kami telah membuat pilihan yang bijak dan terbaik, dan yang terpenting aku bahagia. 

Pulang ke kampung halaman berikut meneruskan usaha kedai sederhana di rumah legend ini tidak ada dalam perencanaan kami di awal menikah. Teringatnya, kami sempat diskusi saat itu dan aku meminta izin suami agar diridhoi untuk tetap produktif dalam berbagai hal. Termasuk diantaranya aku ingin tetap berkerja dan membangun usaha kecil-kecilan. Usulan ku disetujui suami dengan syarat dan ketentuan yang berlaku tentunya. Namun baru juga mau melangkah, memasuki minggu ketiga usia pernikahan kami dikejutkan dengan berita Mamak sakit dan sedang dibawa ke rumah sakit. Sejak hari itu segala perencanaan kami berubah cukup banyak. Dan lagi-lagi kami menyadari bahwa apalah daya rencana manusia dibandingkan rencana Allah yang Mahabijak.

Barangkali, aku akan sangat menyesal jika saja menunda sehari dua hari dari bersegera menemui Mamak. Atau memilih menjemput peluang karir daripada pulang merawat dan membersamai Mamak di masa sakitnya. Entah tidak terbayang bagaimana luar biasa menyesalnya jika itu benar terjadi... 

Seusai kepergian Mamak, tadinya aku hanya bermaksud istirahat sejenak sembari mengurus beberapa hal yang belum selesai di rumah. Kemudian ketika semua selesai, maka aku akan mengikuti kemana hendak suami membawaku. Sebab rasanya aku tidak punya tenaga untuk berpikir apalagi bertindak banyak selain menyerahkan segalanya kepada suami. Beruntung suami adalah laki-laki penyabar dan sangat memahami kondisiku. Dia izinkan aku memiliki waktu perenungan yang cukup panjang, dia biarkan aku menikmati waktu-waktu istirahatku supaya aku menyelesaikan segala rasa yang tertinggal. Sampai akhirnya aku menemukan keinginan baru, yaitu: menetap di kampung halaman.

Aku tahu semua ini tidak akan mudah, maka sejak semua keputusan ini diambil aku dan suami meyakininya dengan sungguh, tidak ada penyesalan...

Zulfannisafirdaus / Gambar by Pinterest

#pojokjeda #jejakluka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...