Langsung ke konten utama

Jejak Luka #9 : Sebab - Akibat



Suka bingung sama perasaan sendiri. Ketika diperlakukan orang lain sekehendaknya, rasa ingin berteriak marah. Tetapi yang terjadi, hanya bisa menahan emosi itu dalam-dalam. Lalu, berakhir dengan tangis sebelum tidur.

Pertanyaan kenapa orang lain bisa bertindak semena-mena dan mengesampingkan peduli pada perasaan ini begitu saja menguasai pikiran. Kadang pula, terbesit ingin supaya Allah balaskan rasa sakit yang sama pada mereka kemudian hari.

Lalu, benar. Suatu hari seakan keinginan selintas itu benar-benar terwujud, aku menyaksikan sendiri kejadian menyakitkan menimpa mereka seperti sebuah balasan di waktu yang tidak disangka-sangka.

Apakah melegakan? Tidak... Seperti menambah beban baru, terasa ada yg mengganjal di dalam hati. Berada pada posisi serba salah, apalagi bila dalam kondisi tersebut yang diunggulkan adalah diri sendiri.

Entah mengapa pula aku malah ingin menolak keadaan yang terlanjur berbalik, tidak ingin melihat orang lain tersakiti walaupun semua yg terjadi adalah hasil dari skema sebab-akibat.

Saat keadaan dibalik aku tidak semampu orang lain untuk tidak over thinking. Menjadi cuek dan tidak ambil peduli lebih sulit dijalani ketimbang mengucapkannya. Apa yang kupikir tadi akan jadi balasan setimpal, setelah kejadian malah hanya mencipta kegundahan.

Yaa begitulah, sebagai manusia biasa perasaan ini sangat mudah terbolak-balik. Kadang kali rasa sakit yang diakibatkan oleh orang lain terasa sangat menyiksa, di lain waktu dan kondisi kepada orang yang telah menyakiti tersebut malah dibuat luluh dan iba. Apalah daya, hati manusia memang diciptakan oleh yang Maha Rahim. 

Aku sering bertanya, apakah betul setiap doa orang tersakiti akan mendapat pengabulan? Padahal doa yang tidak baik bukankah tidak akan menembus langit? Lalu, bagaimana cara kerja pembalasan itu sebenarnya? Ahh dasar aku, biarkan Allah menetapkan segala yang terjadi berdasarkan perhitungan yang tidak akan pernah salah. 

Apakah karena sudah menyakiti ku, kemudian Allah timpakan hal yang serupa untuk membuat mereka merasakan sakit? Belum tentu hey, boleh jadi ada alasan lain yang tidak aku ketahui... Allah lebih tahu, aku saja yang terlalu besar kepala. 

Beginilah serba-serbi hidup di dunia, dipertemukan dengan beraneka karakter manusia. Baik dan buruk sudah pasti ada dalam setiap diri. Tidak ada manusia yang 100% baik, sebab fitrahnya perasaan saja punya beragam jenis, tidak terkecuali penyakit hati yang kerap hinggap. 

Apa yang perlu dilakukan kepada mereka yang telah menyakiti? Tidak ada, selain mengambil jarak aman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...