Langsung ke konten utama

Jejak Luka #11 : Ada saat aku ingin melampiaskan segala rasa sesak!



Sebenarnya tidak semua kata-kata yang tidak enak itu bermaksud buruk. Hanya saja cara penyampaian, penggunaan kata, dan moment yang tidak mendukung. Sebuah nasihat baik pun kalau disampaikan pada waktu dan keadaan tidak tepat akan menjadi kehilangan makna, bisa-bisa pesan yang tadinya bagus malah tidak tersampaikan sama sekali.

Semenjak Mamak tiada, aku yang perasa semakin mudah tersentil hatinya. Bagaimana cara orang menatap saja sudah membuatku disibukkan dengan pertanyaan mengapa. Apalagi dengan kata per kata yang menyiratkan maksud berbeda, tidak henti pikirku menerka-nerka; apa yang sungguh mereka ingin dengar dan lihat dari diri ini? Apakah diri ini begitu penuh dengan cacat dan kurang?

Pada banyak kesempatan aku menyimpulkan, bahwa orang-orang tua terlalu sering egois. Mereka merasa apa yang mereka pikirkan adalah "semua benar" dan harus di-iya-kan. Bersikap narsistik dengan berlindung dibalik perumpamaan "sudah lebih dulu mencicipi asam garam". Lalu, mengesampingkan perasaan mereka yang lebih muda demi kepuasan pribadi yang entah nikmatnya disebelah mana. Boleh jadi niatnya untuk kasih pemahaman, tapi malah berujung mengkritik pedas. Dan, hebatnya lagi mereka tidak menyediakan kesempatan yang muda berpendapat.

Yang terluka dan berduka siapa, tapi kok ya masih tega menghujam pedang baru lebih dalam. Bukan, bukan artinya kami menghambakan belas kasih orang banyak. Hanya pada waktu-waktu tertentu rasanya kami pantas tidak diusik, tidak melulu dihujani cemooh yang ditutupi dengan embel-embel nasihat. Meskipun terbilang lebih muda, bukan lantas kami benar-benar buta segala.

Berpulangnya kedua orang tua di umur yang terbilang muda kerap dikaitkan dengan hal yang dianggap benar dan dipercaya orang-orang terdahulu. Ada yang bilang, pasangan baru seperti kami (aku dan suami) tidak diizinkan tidur di kamar orang tua dengan alasan khawatir nanti mengikuti jejak bakalan mati muda, pula. Sebuah mitos berkembang yang cukup menyengsarakan telinga orang-orang yang menjadi korban. Bukan, aku tidak menyalahkan rasa khawatir sebab ia tetap sebuah bentuk kepedulian. Hanya saja, aku akui aku terluka... Aku tidak menyangka bahwa kematian boleh meninggalkan jejak cela. Bahkan dengan tega disampaikan kala duka masih basah di pelupuk mata. Apakah kematian semacam kutukan? 

Belum lagi cerita yang beredar di luar sana, terlalu banyak ditambah-tambahkan. Yang mengalami siapa ehh yang sok lebih paham kejadiannya siapa? Ajaib sekali bikin geleng-geleng keheranan.

Ada juga yang menjurus pada fitnah yang keji, membenarkan prasangkanya hanya demi keserakahan diri. Terlanjur melontarkan kalimat menyakitkan ke telinga kami. Kemudian ketika Allah dengan kuasanya memberikan kejelasan berikut bukti, mulut yang kejam tersebut bahkan enggan meminta maaf. Bagaimana bisa mereka yang merasa perlu dihormati dan dihargai justru bertindak tidak menghormati dan tidak menghargai? Apakah karena kami lebih muda? Lagi-lagi, yang muda yang salah dan yang muda yang mengalah.

Iyaa, demikian hanya potongan peristiwa yang butuh penerimaan luar biasa oleh seonggok hati yang lebam, sepanjang episode kehilangan ini aku sungguh babak belur. 

Aku tau, setiap orang hidup dalam jalur masalahnya masing-masing. Setiap orang barangkali juga berbeda dalam mengambil sikap. Ada yang bisa menyembunyikan dalam diam, teramat rapi. Ada yang sudah sangat terampil menyembunyikan, tetapi masih tampak dari gestur tubuh. Ada pula jenis yang tidak mampu menyembunyikan masalah sedikit saja, sebab tidak memiliki kapasitas dalam memendam. Akhirnya, bukankah semua hanya soal waktu? Kapan tepatnya ia meledak, entah cepat atau sedikit lambat. 

Sebagai manusia biasa, kemampuanku sangat terbatas. Kadang kali ada saat aku ingin melampiaskan segala rasa sesak di dada. Ingin memarahi siapa saja, ingin menyalahkan semua orang yang telah ikut andil dalam merusak mental ini. Ingin menyalahkan mereka yang aku bela-bela dengan cinta sepenuh hati. Mereka yang menyakiti diri, namun hati ini tetap meyakini bahwa: "yaa tapi..., bagaimanapun aku tetap sayang". Mengapa aku harus bertahan dalam tersakiti demi yang katanya rasa sayang, lalu terus-terusan merasa harus memaklumi segala?

Sering aku merasa perlu membenci semua. Membenci diriku atas keinginan untuk tetap bersabar, padahal sudah berada pada batas dimana tidak mampu lagi menahan diri.

#jejakluka #pojokjeda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...