Langsung ke konten utama

Jejak Luka #6 : Sabtu dan Kalut Tak Berkesudahan



Melupakan, apakah melupakan sesuatu yang pernah terjadi itu mudah dilakukan? Tidak, sekalipun tidak. Apalagi bila itu terkait kenangan pahit. Bahkan di dalam alam bawah sadar pun kenangan itu selalu berputar. Suatu waktu yang harusnya tidak menarik diri ke belakang, tetapi kenangan selalu berhasil menghantam dan mendorong terlalu jauh pada masa-masa yang telah berlalu. Bukan sebab diingat-ingat, ia datang tanpa diminta, sadar tidak sadar.

Hari ini adalah minggu terakhir di bulan Februari 2023, waktu yang berlalu dengan cepat ternyata tidak serta-merta memberi kesembuhan pada rasa sakit dan keresahan. Waktu tidak benar-benar bisa menyembuhkan segalanya bukan? Padahal nasehat yang paling sering didengar selama ini; biarlah waktu yang bisa mengobati. 

Kemarin pagi, aku berangkat kerja dengan membawa mata bengkak. Hatiku yang lusuh di hari Sabtu yang selalu menyimpan kejutan menyedihkan. Hah, Sabtu yang menyedihkan? Bagaimana bisa? Dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku kemana-mana, aku menerka-nerka sejak kapan mulanya hari Sabtu menjadi hari yang begitu rumit aku hadapi. Panjang aku berpikir demi beroleh sebuah jawaban, kemudian aku terdiam dalam lamunan. Mungkin bukan salah harinya, apalah arti sebuah hari, ia adalah unit waktu yang berjalan di bawah perencanaan yang punya kehendak; Allah. Bukan pula salah diriku, yang masih merasa diburu dan dihantui kalut tidak berkesudahan. Diriku hanya saja belum bisa pulih dengan baik. 

Aku masih sering terbayang pada hari Sabtu dari empat tahun yang lalu. Hari pertama aku memulai diriku dengan kisah baru. Menjadi anak kos, setelah sepanjang hidup tinggal berpindah-pindah dalam naungan keluarga yang berbeda-beda. Dahulu sebelum hari itu tiba, aku pikir tidak akan pernah ada masa untukku bisa menetap di tempat lain selain yang namanya rumah. Seluruh cuplikan yang terjadi di hari itu masih terasa begitu nyata. Bagaimana getir langkahku, caraku menenteng beberapa tas, emosi dan air yang menggantung di ujung mata, dan berbagai ekspresi wajah orang-orang yang ada. Amarah dan sedih bercampur aduk di masing-masing hati.

Diriku juga masih sering terbawa pada hari terakhir Bapak ada di dunia. Setiap detik kegelisahan di hari itu masih terus menyerbuku sampai hari ini. Bagaimana bayangan beliau datang ke dalam alam bawah sadarku semalaman, ketakutan sejak mendengar berita beliau jatuh dan tidak sadarkan diri, dan kenyataan mendadak yang sulit aku terima ketika tangisan duka pecah di ujung telepon sedangkan aku sendiri belum sempat menatap matanya untuk terakhir kali. 

Aku juga terjerat sebuah kasus penipuan dan menerima ancaman kasar dari orang-orang dzolim di hari Sabtu beberapa waktu yang lalu. Sempat kehilangan jam tidur beberapa hari, kehilangan selera makan, kehilangan fokus dalam bekerja, kehilangan kemampuan berpikir dengan jernih dan kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang sekitar. Mengusung rasa takut pada apa yang bahkan belum tentu kejadian. Sekejap mata terpejam, sekejap pula aku terbangun dan meringis gelisah pada hari esok yang lagi-lagi belum tentu benar terjadi.

Berada di blog ini, menuliskan serangkaian isi kepala dan mencurahkan uneg-uneg yang mengendap di dalam hati, belakangan adalah salah satu usahaku untuk mengurai benang kusut. Ada hal yang cukup besar menantiku di depan namun aku sendiri masih belum beranjak dari kisah masa lalu. Ingin sekali aku segera pulih, perihal kesakitan ketika mengenang yang sudah berlalu. Besar inginku agar ketika aku memasuki gerbang baru itu, rasa sakit itu tidak lagi terlalu sakit, pun akan lebih baik bila aku aku sudah melepasnya dengan lapang.

Tidak ada hari yang tidak baik, apalagi pantas disebut sial atau apes. Hari Sabtu yang lain buktinya berisi kabar baik, pencapaian terbaik, dan cerita bahagia. 

#jejakluka #pojokjeda


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...