Langsung ke konten utama

Jejak Luka #3 : Aku disaat lemah adalah bagian dari diriku juga

Akan selalu datang moment-moment tidak menyenangkan yang mendadak dan membuat kewalahan. Padahal sudah berusaha menghindar, tetapi ya bagaimana, tidak ada yang bisa menyangkal apa-apa yang sudah ditetapkan terjadi.

Belakangan, aku melangkah tertatih. Perjalanan luka yang kupikir segera berakhir rupanya belum. Aku berdebat dengan diriku sendiri, menyesali segala hal dalam hidup ini. Dalam tangis yang amat panjang.

Ingatanku berjalan mundur pada masa remaja yang perih, pada perkataan orang lain yang menyakiti, pada tindakan kasar dan perlakuan buruk orang lain padaku. Semua terbayang seakan baru saja kejadian.

Tidak hanya kembali ke masa lalu, tiba-tiba kepala terasa penuh dengan banyak tanya. Mengapa aku selalu menerima luka? Padaku, dengan mudah sesiapa bertindak buruk padahal aku sudah cukup berusaha bahkan mengorbankan beberapa hal. Mengapa kepada aku orang lain bisa bertindak demikian semena-mena? Tak bolehkah hidupku tenang.

Mengapa untukku butuh perjuangan luar biasa agar bisa merasakan hidup normal seperti kebanyakan. Ketika ada yang seolah ditakdirkan untuk menerima tanpa perlu berbuat apa-apa. Mengapa perlu sekuat tenaga agar beroleh sebuah ketenangan. Ketika ada yang berdiam dalam zona nyaman untuk waktu yang terlalu panjang.

Seperti halnya menerima kasih sayang penuh dari kedua orang tua, yang bukan sebatas dilengkapi kebutuhan secara materi tetapi juga soal keberadaan. Kenapa bagi sebagian orang begitu mudah, tetapi bagi sebagian yang lain terlampau sulit digapai? Selama 14 tahun aku tinggal berjauhan dengan orang tua. Dilihat dari rentang waktu tersebut, bila seorang anak tidak memiliki kedekatan emosional dengan orang tua apakah pantas disebut janggal? Rasanya, tidak. 

Melihat adik-adik, ah nampak melegakan sekali bila berada di posisi mereka. Seakan kasih sayang dan keberuntungan mengalir lancar begitu saja. Sedangkan aku, perlu berjuang lebih keras demi mendapat sebuah pelukan pujian dan rasa bangga. Sesuatu yang menimbulkan rasa iri. Lagi-lagi, rasa iri hadir tanpa kejelasan yang mendasari. Hanya iri dengan melihat apa yang terlihat di depan mata tetapi tidak sungguh memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ah, bagaimana bisa saling memahami ketika masing-masing tidak pernah berada di posisi yang sama. 

Baiklah, tidak apa jika merasa sesuatu adalah alasan, merasa perlu menyalahkan, mengganggap sebagai penyebab atas segala luka, membenci beberapa bagian atau malah sepenuhnya. Toh aku hanya sedang mencari cara untuk membela diri, menjaga waras untuk menjadi baik-baik kemudian.

Perihal menerima keadaan hati sekacau apapun adalah penting. Menerima saat jatuh, sakit hati, marah, kehilangan semangat, gelisah, ketakutan, dan ingin menyerah. Membiarkan diri mendapat ruang untuk menjadi kecil dan meringkuk kesepian.

Keadaan di masa lalu tentu saja tidak akan pernah terlupa, hapus ataupun menghilang tanpa bekas. Semua sudah terjadi, untuk merelakan dan membuka hati bukan urusan yang mudah.

Tidak apa-apa bila sedang tidak baik-baik saja.

Akan selalu ada, fase menangis hebat tersebab menyesali alur hidup yang nampak serba salah. Tapi, suatu hari setelahnya atau bahkan tidak lama darinya, dipertemukan kembali dengan fase dimana hati sudah membaik.

Aku disaat lemah adalah bagian dari diriku juga, dan aku yang kuat setelahnya adalah bagian dari diriku yang lain. Aku hanya berganti posisi sejenak. Saat menangis, menangislah saja seolah tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipilih. Lagipula, menangisi habis-habisan sama dengan menghabiskan semua beban terpendam. Maka, ia tidak akan menjadi sia-sia. Tidak akan.

#jejakluka #pojokjeda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...