Langsung ke konten utama

Kenapa Belum Menikah?




Beberapa waktu lalu, aku tergelitik miris oleh pertanyaan ibu-ibu di sebuah acara syukuran. Hmm, apalagi kalo bukan soal; kapan menikah atau kenapa belum menikah? Kayaknya, ini udah jadi pertanyaan wajib para ibu ketika bertemu perempuan lajang seusiaku deh. Huh, dasar ibu-ibu. 

Lalu, entah kenapa aku terpikir untuk membahasnya di blog kali ini. Pengen aja gitu menulis kembali sesuatu yang berbau nikah-nikahan. Walaupun barangkali nanti isinya lebih menjurus kepada curahan hatiku saja. Iya... tak apalah, itung-itung meluapkan uneg-uneg. Syukur-syukur bikin hati jadi plong.

Sebenarnya udah nggak kaget lagi sama mulut latahnya para ibu yang senang nanyain hal sensitif. Suka nggak pake mikir nanya-nanya tuh, main ceplos-ceplos tanpa melihat kondisi orang yang ditanya. Sebel juga sih kalo keseringan. Tapi mau apa dikata, ngadepin ibu-ibu gituloh. Jurus paling aman menghadapinya sementara ini; yaa... diam saja sembari senyum meringis. 

Kalo mau jujur-jujuran, mana ada orang yang merasa nyaman dan menyeringai kesenangan ketika dilempari pertanyaan demikian di tengah keramaian. Hayoo, yang ada bakal merusak suasana hati, bikin bad mood seketika. Aku pun suka geleng-geleng kepala, padahal kan aku tuh masih terbilang muda loh. Umurku sekarang baru 23 tahun. Lha kok udah sering-sering aja dijadikan sasaran empuk pertanyaan model begitu. Jadi kebayang kan; apa kabar mereka yang umurnya jauh di atas aku? Hmm.

Pokoknya harus banyakin sabar, udah itu aja. 

Ini sih andai urusannya sama ibu-ibu atau para orang tua ya. Tetapi kalau kasusnya adalah; di kepoin sama teman sendiri sih aku suka menunjukkan sikap yang berbeda. Tergantung kondisi hati, kalo aku lagi nggak baik ya mohon maaf aja nih andai mendapati respon dariku yang jutek bin ketus itu hehe.

Habisnya, pertanyaan itu unfaedah banget tau. Apalagi menggunakannya hanya untuk sekedar basa-basi doang. Even, buat mencairkan suasana sekalipun. Ya kali, nggak lucu banget soal perasaan orang dijadikan bahan bercandaan. Tolonglah sedikit berhati-hati, punya rem bibir dong. 

Pertanyaan yang terlihat biasa saja, berpeluang melukai hati orang lain bila disampaikan tidak pada waktu dan tempat yang tepat. Analoginya begini; jika diri sendiri merasa tidak nyaman ketika dihujani dengan pertanyaan yang sensitif. Maka artinya, orang lain boleh jadi merasakan hal yang sama. Terkhusus, orang-orang yang notabene tidak memiliki kedekatan hubungan secara pribadi seperti; baru kenal, teman yang sudah lama tidak ketemu, atau saudara tapi jarang berkomunikasi. 

Penting banget untuk mulai bersikap selektif dalam memilah pertanyaan. Hal positif yang dilakukan terus-menerus akan membentuk sebuah kebiasaan. Hasilnya; yaa... semoga saja akan menyelamatkan diri di masa yang akan datang. Nggak jadi ibu-ibu yang nyebelin, misalnya? Hmm, kan bagus tuh. Jadinya, generasi masa depan bakal terhindar dari mental illness akibat mulut rempongnya ibu-ibu. Wahh, harapannya sih begitu.

Kalo memang ada niatan mencairkan suasana, gunakan pertanyaan ini saja; "lagi sibuk apa nih?" Sebab, rasanya ini adalah pertanyaan yang paling aman digunakan. Meskipun tetap tidak menutup kemungkinan ada peluang menyakiti. Iyaa, setidaknya ini jauh lebih baik daripada pertanyaan seputar nikah. Apalagi yang ditanya juga punya kebebasan dalam memberi jawaban.

Oke-oke saja andai pada akhirnya malah bercerita kesana kemari. Mulai dari keseharian sampai urusan pasangan. Atau malah cuma jawab; "Nggak sibuk apa-apa". Nggak ada masalah kan, toh nggak ngerugiin siapa-siapa. Mereka berhak memilih terbuka atau tidak dengan orang lain.

Sedangkan terkait pertanyaan; kapan menikah, kenapa belum menikah dan sejenisnya. Menurutku, sebagian orang tidak memiliki kesiapan jawaban. Tidak siap karena; boleh jadi belum punya jawaban yang tepat. Atau, boleh jadi punya jawaban tapi malas juga mau menjelaskan panjang lebar, terlebih terhadap orang yang masuk dalam kategori asing.

Kemudian, ada aja team sotoy yang merasa paling benar sendiri bilang gini; " Emang apa susahnya sih? Tinggal jawab pake candaan aja kali... ribet banget dah hidupnya!?".

Anda sekalian yang merasa bakal jawab gitu mohon perhatikan kalimat ini: 

"Setiap orang memiliki cara pandang dan karakter yang berbeda. Anda tidak berhak mengatur dan memaksakan orang lain harus bersikap dan bertindak sesuai kehendak Anda".

Contohnya, ada yang merasa tidak mau menjawab dengan kalimat candaan semacam; 'kalo ga Sabtu ya Minggu'. Karena logikanya, belum pasti juga lah. Belum tentu ditakdirnya bakal nikah di hari-hari demikian. Bisa jadi malah nikah di hari lain; Senin, Selasa, Rabu, Kamis, atau Jumat. Berlaku pula untuk kalimat candaan lain yang banyak beredar. 

Sekali lagi, tolonglah jangan memaksa orang lain mesti bersikap sama dengan cara Anda!

And than, mumpung ada kesempatan. Aku pingin sekali-kali menjabarkan apa saja pertanyaan seputar pernikahan yang mengganggu banget berdasarkan kacamataku. Mohon disimak ya, barangkali pertanyaan ini tidak sengaja pernah terlontarkan. Sebenarnya, ini berdasarkan pengalaman aku, sekaligus aku pengen jawab aja melalu tulisan di blog ini.

Berikut contohnya pertanyaannya;

- Temennya udah banyak nikah loh, kapan kamu nyusul?

- Kenapa belum nikah sih, emangnya belum ada yang datang?

- Nikah muda lebih baik, mau ditunda aja nih?

- Kamu kok masih betah sendiri, mau dibantuin nyari?

- Cewek tuh mesti memperhatikan umur. Kamu targetnya ketinggian ya?

Baiklah, berikut aku sampaikan pula jawaban serta alasan sederhanaku dibalik keputusanku belum menikah sekarang.

1. Temennya udah banyak nikah loh, kapan kamu nyusul?

Pertanyaan semacam ini tuh ditelingaku berasa sama kayak pertanyaan: "temenmu udah banyak meninggal tuh, kapan kamu nyusul?" 

Horor kan, emang!  My dear, bukannya kedatangan jodoh itu Allah yang atur ya? Bukan kapasitas aku buat menerka-nerka kapan tiba harinya menemuiku. Sebab, nikah bukanlah sebuah perlombaan. Bukan pula urusan sederhana. 

Lagipula, kalo teman-temanku sudah banyak yang menikah memangnya kenapa? Kenapa aku harus ikut-ikutan nyusul segala? Supaya aku bahagia? Kalo tidak, bagaimana? Memangnya siapa yang mau bertanggungjawab? Biarkan aku menemukan jalanku menuju kehidupan rumah tangga dengan sendirinya, dengan mengikuti alur dan maunya Allah saja. 

2. Kenapa belum nikah sih, emangnya belum ada yang datang?

My dear, nikah itu harus dibangun dengan kesiapan dan persiapan. Sayangnya, untuk sementara ini aku memang sedang menutup diri. Belum kepikiran alias belum ada niat. Sementara tidak ada pintu yang terbuka, tidak ada akses menuju perkenalan. Kalau pun ada celah, pasti sudah dengan cepat aku blokir kesempatannya. Tentu, dengan banyak alasan pribadi.

3. Nikah muda lebih baik, mau ditunda aja nih?

Sebagian orang mungkin memilih lebih baik menikah di usia muda. Tapi, semua orang tidak bisa disamaratakan. Terlebih, aku sendiri memang terlahir dari kedua orang tua yang berpengalaman menikah muda. Mereka adalah guru terbaik bagiku dalam mempelajari banyak hal, kepada merekalah aku bercermin. Sebabnya, aku merasa masih belum selesai dengan diriku sendiri, lalu dengan alasan apa aku merasa pantas menikah di usia begini?

4. Kamu kok masih betah sendiri, mau dibantuin nyari? 

Wah, ini sih pertanyaan paling monohok, nyebelin kebangetan. Wahai kalian, tidak perlu repot-repot. Aku tidak merasa kesulitan dengan kesendirian ini, justru aku merasa sangat diuntungkan dengan kondisi bebas tanpa ikatan apapun seperti sekarang. Aku si tukang penyendiri ini masih ingin memiliki waktu yang panjang dalam menikmati hari-hari, sampai nanti aku merasa cukup lapang untuk ditemani.

5. Cewek tuh mesti memperhatikan umur. Kamu targetnya ketinggian ya?

Entahlah, aku masih terlalu muda untuk menganggap kalimat ini bermakna. Tentu saja sebagai perempuan aku harus punya target. Justru salah bila aku tidak memilikinya. Asal tau saja; bukan memaksakan semua harus sesuai harapan, tapi penting bagiku untuk melihat siapa yang sungguh bertekad dan terniat.

Nah sudah lumayan terjawab kan, kurang lebih begitulah pokoknya. 

Sekian ya, bener deh ini tulisan hanya berisi tentang curcol seorang aku. Semoga bisa diterima yaa para pembaca; kalian yang entah bagaimana cara kerja semesta tiba-tiba bisa mampir ke blogku.

Bandung, 2021.

Ditulis: @zulfannisafirdaus

#curitauul #hikmah 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...