Langsung ke konten utama

Hai kamar kosan! Setelah ditinggal 9 bulan



Dulu, niat awal pulang nggak bakal lama-lama amat. Rencana sekitar satu minggu doang, lagian dapet cuti ya memang nggak bisa lebih dari seminggu sih. Pada saat kondisi covid19 di Indonesia belum terlalu menghebohkan. Kebetulan kantorku sudah mulai menerapkan WFH, beruntung saat mengajukan cuti langsung di-acc

Pulang karena permintaan Ombai, yang saat itu masuk rumah sakit. Seperti alur yang sudah tersusun rapi. Tadinya, pingin pulang jenguk Ombai cuma masih bingung jadi apa nggak. Juga kabarnya kondisi Ombai mulai membaik, bikin dilema gitu selama seminggu. Tapi, di minggu ketiga Ombai dirawat orang tua ngabarin kondisinya tiba-tiba drop.

Tanpa keraguan, tanpa pikir panjang. Bissmillah, aku mutusin pulang dengan mengaplikasikan protokol kesehatan, udah lebay gitu lah selama dijalan. Pake masker lapis dua, sarung tangan plastik, handsanitizer kaga lepas. Pas sampe di Palembang juga, masuk rumah lewat pintu samping, langsung masuk kamar mandi. Semua barang-barang di cuci.

Waktu itu banyak yg waspada dan mencurigai aku bawa covid19 dari pulau Jawa. Cuma Alhamdulillah sampe hari ini masih baik-baik saja dan semoga selalu baik-baik saja ya...

Qodarullah, hari ke-3 aku nemenin Ombai di rumah sakit, Allah panggil beliau ke sisi-Nya. Sebuah kesakitan hebat yang nggak bisa diutarakan pake kata-kata. Down banget, kehilangan terhebat. Ada rasa sesal pula berkecamuk; kenapa nggak pulang aja dari kemaren-kemaren, kenapa harus ragu-ragu hanya karena pekerjaan yang pada akhirnya malah resign juga.

Tapi, bagaimanapun ini udah takdir Yang Maha Kuasa. Andai tadinya malah nggak jadi pulang, aku nggak akan berkesempatan ketemu Ombai di hari-hari terakhirnya. Plus, mungkin sampe sekarang bahkan belum pulang karena kondisi Indonesia yang memburuk, udah keburu kena lockdown.

Jadi, awalnya pulang memang bukan karena covid19. Makanya, barang-barang nggak di packing selayaknya mau ditinggal lama, mendadak dan serba terburu-buru. 

Meskipun menyulitkan dalam sektor apapun. Kondisi yang disebabkan covid19 tetap ada hikmahnya. Contohnya, aku bisa stay at home bareng orang tua dan adik-adik selama 9 bulan! Waw banget buat aku.

Allah telah mengabulkan lebih dari doa-doaku yang sebenernya cuma selintas-selintas itu. Yang hanya diawali dengan kata seandainya; Ya Allah capeknya jauh dari orang tua andaikan bisa liburan pulang kampung lama tanpa takut diomongin tetangga. Seandainya bisa pulkam 2 bulan ya Allah puas banget kayanya. Seandainya bisa makan bareng Mamak-Bapak setiap hari. Seandainya bisa dari awal puasa sampe lebaran di rumah terus.

Doa-doa yang padahal selalu aku tepis juga dengan anggapan; Ah ngapain juga pulang yang ada nanti bikin pusing orang tua menghadapi pertanyaan para tetangga kepo. Ah mana mungkin dengan jadwal kerja begini bisa pulang selama itu. Ah kayanya memang udah nggak ada kesempatan lagi ngerasain pulang lama-lama untuk sekarang dan kedepan.

Tapiiii, tapiii, tapiii... siapa bilang ga bisa? Kalo Allah berkehendak segala menjadi mungkin hei Ul! Buktinya, covid19 menjadi alasan yang tidak bisa dibuat-buat. Situasi yang menjadikan stay at home itu kejadian. Allah bener-bener lebih tau, bener-bener punya rencana yang nggak bisa ditebak.

Okay, kembali lagi ke rutinitas. Semoga Allah baikkan, Allah jagakan, Allah lancarkan segalanya... Aamiin.


#random #curitauul 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...