Langsung ke konten utama

Ketenangan Diri



Katanya, menemui ketenangan itu adalah tentang bagaimana cara kita mengendalikan diri sendiri. Tidak selalu bisa kita dapatkan secara cuma-cuma, setidaknya memang ada sebuah upaya memilih yang kita paksakan pada diri. 

Jadi ceritanya, seminggu yang lalu secara tidak sengaja aku baca sebuah quotes di instagram story salah sorang selebgram. Tulisannya kurang lebih gini; "kamu nggak dosa kok kalo nge-hide story atau postingan temen-temenmu kalo emang ngerasa apa yang mereka share itu minim manfaat. Atau kamu malah jadi negative thinking/over thinking sama mereka, malah insecure, pun perasaan-perasaan berkecamuk lainnya. Sudah disediakan fitur itu, manfaatkanlah. Menjaga perasaan diri dari energi negatif itu (penting) banget".

Pas baca quotes itu, mendadak aku senyum-senyum sendiri. Dalam hati ngomong; "iya, aku malah udah lama menerapkan".

Entah ada yang menyadari ataupun tidak, sebenarnya sudah sejak lama aku nge-hide banyak teman di sosial media. Menyembunyikan apa yang mereka bagikan supaya tidak dilihat olehku pun menyembunyikan apa yang aku bagikan supaya tidak dilihat oleh mereka. Aneh? Menurutku, tidak.

Rasanya perlu sekali untukku, memfilter informasi yang harus aku ketahui juga memfilter sesiapa yang boleh mendapatkan informasi mengenai aku. Aku berusaha untuk tidak banyak ambil peduli tentang kehidupan orang lain yang tidak memiliki hubungan langsung sama kehidupan aku. Tidak tahu apa-apa karena tidak mendengar dan melihat apa-apa tentang mereka membantuku supaya tidak tertarik mencampuri urusan orang lain. Istilahnya; nggak kepo

Sadar sekali, kalo diri ini punya banyak informasi tentang orang lain. Ada gejolak dalam diri, entah itu perasaan-perasaan berlebihan, atau pikiran-pikiran yang bertandang kemana-mana. Seketika kerap memiliki kemampuan cocoklogi, menyambung-nyambungkan cerita ini sama cerita itu. Berpeluang menjadi ghibah kelak pada kesempatan di kemudian hari. Kadangkali memang yang demikian berawal dari informasi yang tidak sengaja bukan?

Begitu juga aku menyadari, soal memberi batas orang lain mengetahui informasi mengenai aku. Secara otomatis, membantu mereka juga agar tidak memiliki peluang ghibah dan fitnah. Juga, memberi ketenangan kepada diriku sendiri, memperkecil kesempatan untuk dikomentari oleh orang-orang yang tidak aku butuhkan komentarnya.

Semakin dewasa, seiring bertambahnya tuntutan hidup semakin banyak hal yang ingin diubah. Ketenangan diri menjadi kebutuhan yang pokok. Baru-baru sekarang ini jadi kepikiran; "ah ternyata kegelisahan-kegelisahanku di masa remaja dulu tuh belum seberapa, rasanya kemarin-kemarin itu jauh lebih tenang dan menyenangkan ketimbang dewasa ini". 

Yang dulunya berpikir kalo punya banyak teman dan relasi itu bakal bikin diri bahagia, ternyata di kehidupan dewasa punya temen satu atau malah sesekali menghindar dari kehidupan bersosial adalah nikmat bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jauh lebih tenang dibersamai oleh satu saja orang yang sungguh pengertian, atau berkutat dengan diri sendiri seperti aku si introvert ini; adalah kemerdekaan hakiki.

Terlebih pertemanan di dunia maya. Memiliki media sosial itu ujiannya luar biasa. Aku jadi ngerti kenapa bisa ada banyak sekali teman-teman yang memilih untuk tidak mau punya facebook dan instagram. Tadinya aku kira mereka orang-orang yang nggak gaul, secara jaman now gituloh, iya kan? Kupikir, dari mana mereka bisa lihat perkembangan dunia coba? Haha . . . Sempit kali lah pemikiranku dulu.

Apa bedanya dengan aku yang belakangan memilih sering-sering hengkang dari dunia maya? Dengan alasan yang selalu saja sama; mengistirahatkan segala rasa. Menghindar dari banyak informasi yang memusingkan kepala dan memperkeruh suasana hati. Bukankah mereka-mereka yang bahkan sejak awal memutuskan tidak ingin bermain-main di dunia maya justru nampak lebih beruntung bukan?

Ini soal kebutuhan untuk menjadi lebih tenang dan nyaman menjalani hari-hari. Tidak diusik hidupnya oleh prasangka-prasangka orang lain yang tidak benar dan tidak pula terusik oleh hingar-bingar kehidupan orang lain. 

#Random  By:_Zulfannisafirdaus
Gambar: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...