Langsung ke konten utama

Jenuh (sebuah refleksi diri)

Pernahkah merasa bahwa hidup ini terlampau rumit untuk dijalani? Jenuh dengan segala problema yang kian hari kian menenggelamkan kita dalam derita. 

Rasanya ingin sekali hanya memiliki satu masalah saja, ya? Hemm, supaya tidak terlalu terbebani dan barangkali bisa sungguh-sungguh fokus mencari solusi. Namun dalam kenyataan hidup, seringnya masalah demi masalah datang tanpa terlebih dahulu bertanya perihal kesiapan kita untuk menghadapinya, bergerombol pun berdesak-desakan menyerbu dalam satu waktu. 

Lelah, bukan sebuah kata yang perlu dipungkiri lagi. Siapapun kita pasti akan merasakan lelah. Walaupun bukan bermakna menyerah. Sekali-kali tidak menandakan ada yang tengah menyerah pada kenyataan.

Hanya saja, acapkali tidak fasih mengendalikan diri membuat segalanya berantakan. Menempatkan diri dalam kondisi yang semakin memburuk. Dimana diri mulai abai dengan orang-orang sekitar, abai dengan kesehatan fisik, dan yang lebih kacau ialah; mulai abai dengan segala urusan ibadah. Banyaknya masalah yang datang membuat merasa sangat malas beribadah. Jangan sampai begini, jangan sampai.

Sayangnya, secara sadar diri terlalu banyak mengeluh. Keluh kesah yang jumlahnya menandingi upaya menyelesaikan masalah itu sendiri. Jika percaya Allah sedang menguji, bukankah semestinya juga harus percaya bahwa diri mampu menyelesaikannya?


Ketika semua terasa sungguh rumit, semoga kita masih tetap menghadirkan Allah didalam kepala. Siap tidak siap menghadapi beragam ujian itu, ya harus siap. Mau bagaimana lagi, semua pasti sudah sesuai dengan takaran Allah yang tidak pernah salah. Allah itu ada; maka dengan adanya kerumitan ini semestinya menjadi ajang mengumpulkan pahala sebanyak mungkin, bukan malah sebaliknya. Meminta Allah memberikan petunjuk. Dia yang memberi masalah, pastilah Dia pula yang memberi solusinya.

Berulang kali semestinya kita mengelus dada sembari mengatakan: apalah daya tanpa sabar dan syukur dalam menjalani skenario hidup di dunia ini. Bersabar atas ujian, juga bersyukur masih diberi ujian. Berarti Allah sedang menempa, pastilah Allah tahu batas kemampuan oleh sebab itu ujian ini terasa pantas diberikan. 

Segala kerumitan semoga segera teratasi. Bukankah hidup ini memang rumit? Namanya juga hidup, keberadaan ujian membuat hidup ini punya warna. Bayangannya saja hidup tanpa ujian itu menyenangkan, padahal bagaimana caranya kita bisa belajar dan bertumbuh jika tanpanya? 

~Zulfannisafirdaus

Sumber Gambar: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...