Langsung ke konten utama

Menikah Perlu Persiapan~1


Selamat malam, Juni. . . 
Izinkan aku menulis sebuah tema berat yang belakangan kerap mendesakku agar sesegera mungkin menghamburkannya di ruangan ini. Ya, blogku ini adalah ruangan dimana aku bebas mengekspresikan diriku. Tindakan menulis sejauh ini menjadi sarana paling nyaman untukku bercerita. Aku tahu suatu hari akan ada masa aku lupa pernah memikirkan ini, aku tidak ingat bahwa aku pernah ingin menulisnya. Itulah sebabnya menyimpannya disini akan sangat berguna teruntukku yang mau sekedar mengulas hari-hari di masa lalu. 

Beberapa tahun yang lalu, saat masih jadi mahasiswi tingkat atas aku pernah berada di posisi menggebu perihal pasangan. Pernah menjadi tertarik sekali agar menikah muda seperti kebanyakan teman seusiaku pada saat itu. Memang, di semester-semester atas hal ini marak terjadi. Entah mengapa merasa siap jika sudah ada yang datang serius melamar. Tidak muluk, mau yang mapan atau yang paham betul agamanya, apalagi yang rupawan wajahnya. Saat itu, aku cuma butuh lelaki biasa yang benar-benar memberi kepastian dan mau bareng-bareng meniti segalanya dari nol ditambah orangtua ridha. Maka, aku tidak akan mengulur-ulur waktu lama.

Aku kok geli ya kalo dipikir-pikir hehe. Pasti deh kalo yang kenal sama aku dan baca ini bakal ngga nyangka kalo akutuh pernah gini. Manusiawi ya, senyumin aja deh. 

Entah dimulai sejak kapan. Menurutku mungkin karena usia yang sudah semakin mendewasa. Seiring waktu keinginan agar cepat-cepat menikah surut. Seakan terbuka lebar mataku melihat kenyataan disekeliling, dan aku mulai menyadari bahwa; aku belum cukup pantas untuk merasa siap.

Menyimpang dulu sedikit, mengulas para influencer nikah muda yang sejak beberapa tahun belakangan banyak berseliweran di instagram. Mereka yang semenjak menikah tiba-tiba mendadak jadi selebriti karena memposting hal-hal berbau menikah muda yang nampak instan sekali. Pada banyak kasus menarik orang-orang yang awalnya ngga berpikiran nikah jadi ngebet kepingin nikah gara-gara melihat postingan mereka.  Yang akhirnya, banyak memandang pernikahan sebagai ajang balapan, yang paling cepat nikah katanya; dialah yang paling keren dari yang lain. 

Bak dua sisi mata uang. Di satu sisi menurutku sah-sah saja. Bagaimanapun mereka berjasa membuat dunia 'per-medsosan' setidaknya berisi konten yang sifatnya positif. Menyuarakan nikah muda sebagai cara untuk menghindar dari hubungan terlarang alias tidak halal yang disebut; pacaran. Disisi lain, ngga sedikit loh teman-temanku yang akhirnya berpikir bahwa nikah itu adalah urusan yang simple sekali. Mereka pikir menikah adalah kunci utama sebuah penyelesaian masalah. Entah masalah apapun itu, bahkan dari segi yang amat sangat kekanakan menurutku. Contohnya; abis kena marah Mamah. Aneh kan?

Sekali-kali jangan jadikan pernikahan sebecanda itu. Di dalam pernikahan ada pergolakan hidup penuh pengorbanan yang harus diperjuangkan. Nikah dengan terburu-buru tanpa bekal ilmu dan kemantapan mental itu cuma akan menimbulkan masalah baru yang lebih parah.

Baper karena melihat para influencer nikah muda sih boleh saja. Kelewatan baper, jangan sampai ya. Kita juga mesti tahu, setiap yang tampak diluaran itu tidak selalu menjelaskan isinya. Artinya, belum tentu yang terlihat bahagia itu beneran sebahagia itu loh. Di dunia maya aja fotonya senyum, di dunia nyata dia lagi sembunyi nangis gara-gara ngga bisa bayar kontrakan kita ngga pernah tahu, iya kan?

Ekspektasi tidak sesuai realita. Melihat pengalaman teman-temanku yang tadinya memutuskan mantap menikah muda menjadi bahan pembelajaran buatku. 

Ada yang berakhir dengan perceraian macam putus pacaran. 

Ya, aku terkadang ngga habis pikir sama mereka yang memutuskan secepatnya untuk menikah namun secepat itu pula memutuskan berpisah. Apa yang ada dalam pikiran mereka saat memantapkan keputusan-keputusan maha hebat tersebut? Apa yang sedang terjadi sampai ikatan pernikahan terlihat seperti permainan yang bisa dengan mudah dimulai dan diakhiri? Terlebih untuk rentan waktu yang tidak lama, masih hitungan bulan bersama. Apakah pernikahan menjadi semenyeramkan itu sampai tidak sanggup lagi mereka menjalaninya bersama? 

Ah, aku memang heran. Di kepalaku banyak pertanyaan. Tapi, apalah daya bukan ranahku untuk berprasangka dan menilai kehidupan orang lain sesuka hati. Barangkali, banyak yang tidak aku ketahui, dan itu adalah kehidupan pribadi mereka yang tidak perlu aku urusi. 

Aku ingin, urusan pernikahan ini tidak menjadi sederhana di kepalaku, tidak asal-asalan aku memutuskannya, dan bukan lahan bermain-main. Sebaliknya, kelak pernikahan menjadi salah satu perjanjian maha dahsyat yang akan dilakukan bersama pasangan dihadapan Allah. Perjanjian yang disaksikan para malaikat ini, menuntut siapapun yang melakukannya untuk memegang komitmen bersama meskipun ribuan badai datang menghampiri mahligai rumah tangganya kelak. Sebab pernikahan adalah perjuangan saling mempertahankan. Semoga saja aku mengingat kalimatku ini sampai kapanpun dan besar semogaku agar aku bisa seperti kataku ini suatu hari nanti, Aamiin.

Ada pula kisah teman yang menceritakan bahwa dia merasa belum mumpuni untuk berubah status dari yang hanya sebagai istri dalam waktu dekat akan menjadi seorang ibu. Keinginannya untuk menunda kehadiran anak dalam rumah tangga menjadikan masa-masa kehamilannya begitu berat. Ironis memang. 

Mengapa memutuskan cepat menikah kalo belum siap menjadi orang tua? Rasanya ingin aku mengatakan itu padanya saat dia bercerita. Tapi, tidak. Lagi-lagi bukan ranahku untuk berprasangka dan menilai kehidupan orang lain sesuka hati. Barangkali, banyak yang tidak aku ketahui, banyak sekali. 

Kasus seperti ini banyak kejadian. Aku tidak menyalahkan siapapun, mereka punya alasan dan aku tidak berhak mencampuri urusan-urusan orang lain. 

Aku ingin, menekankan kepada diriku sendiri bahwa; anak adalah amanah. Kapanpun Allah beri amanah itu, sebaik-baik cara adalah bersiap diri menyambutnya dengan penuh suka cita. 

Aku ingin, mengingat bahwa ada ribuan orang diluar sana menyerbu langit dengan doa dan air mata, teramat mendamba kehadiran anak bertahun-tahun lamanya menunggu. Semoga saja aku mengingat kalimatku ini, dan semoga kelak suatu hati besar semogaku; dari rahimku Allah hadirkan generasi-generasi Qurani yang menghidupkan dakwah dimanapun mereka berada, Aamiin.

Pernikahan adalah perjalanan panjang penuh liku, tanpa bekal ilmu dan kemantapan mental rasanya belum cukup alasan untuk menyegerakannya. Kehidupan pernikahan itu tidak sebatas tentang; Aku dan Dia saja. Tetapi, lebih kompleks. 

Rumah tangga berisikan episode-episode penuh warna; beban, masalah, pengorbanan, perjuangan, tangis, marah, takut, kecewa, benci, sakit, tawa dan banyak lagi. 

Kepada diriku aku katakan; Jangan lelah untuk belajar sabar dan ikhlas. Hari ini mungkin aku belum mengerti sepenuhnya apa dan bagaimana sebenarnya pernikahan itu. Tapi aku ingin, ia menjadi ikatan yang sampai mati aku sebut dengan; Kebahagiaan.

Tentu saja, tidak ada pernikahan yang sempurna. Tidak mungkin ada pernikahan tanpa badai problema. Kehidupan pernikahanku kelak pun mustahil tanpa cela. 

Karenanya, untuk saat ini aku bersyukur Allah masih kasih waktu yang cukup panjang untukku belajar. Masih punya waktu berbenah, intropeksi diri, berbenah, intropeksi diri, berbenah dan akan seterusnya begitu. Hidup adalah proses berbenah tanpa henti, masih banyak 'PR-ku' sebagai seorang hamba kepada Tuhannya, anak kepada orang tuanya, pun sebagai manusia kepada orang lain dan lingkungan disekitarnya. Belajar, berkarya dan berdaya. Menikmati waktu sendiriku ini pada banyak kegiatan yang bermanfaat sembari bersiap diri. Aku tidak pernah bisa menebak, entah ajal atau jodoh yang menjemputku lebih dahulu. Yang aku ingin, semoga saat ia tiba; aku sudah merasa cukup siap.

Aamiin. . .

~Zulfannisafirdaus
Palembang, 20:08 WIB
Sumber Gambar: Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...