Langsung ke konten utama

Masih Sendiri


Masih sendiri, bukan karena aku masih menunggumu.
Masih tidak ingin ada yang membersamai, bukan karena hatiku masih sulit mengganti posisimu.
Bukan, sekali-kalipun sendiriku tidak berniat menujumu lagi.

Kita sudah kalah pada permainan kemarin. Akui saja. Terima dengan lapang dada.
Sebaliknya, kita juga sudah menang. Iya, kita menang melawan nafsu ingin bersama dalam ikatan tidak suci.

Memang. . . Allah membuat kita terpukul hebat. Aku dan kamu mungkin pernah menangis. Menumpahkan air mata yang tidak sedikit. Secara diam-diam, disuatu malam. Sempat amat sulit menerima. Tapi tidak bisa menyesal karena telah dipisahkan dengan cara yang benar.

Seringnya kebenaran memang sakit. Tapi tidak lebih sakit dari mempertahankan hubungan yang salah. Hubungan yang salah bahkan memiliki alur yang penuh oleh kisah tersakiti dan menyakiti. Itu jauh lebih rumit. Hari demi hari dihabiskan melukis luka di masing-masing hati.

Lihatlah, wanita polos yang kau bangga-banggakan dulu. Dia yang rela disingkirkan, tapi punya miliaran maaf meski tak terucap. Telah berubah. Lebih tangguh. Ini pasti tidak pernah ada dalam benakmu sebelumnya.

Mengapa dia begini? 
Sepertinya kau perlu belajar lagi, bahwa wanita mengumpulkan alasan berkali-kali agar tidak pergi. Juga, bahwa wanita mengumpulkan keberanian berkali-kali agar bisa benar-benar pergi. 

Kemudian, saat dia kehabisan alasan, saat dia punya keberanian amat besar. Dengan yakin, dia pergi membawa seluruh hatinya dan tidak ingin kembali, lagi.

Sepertinya kau juga perlu belajar lagi, mengenai yang lebih penting dari itu. Bahwa ada saat dimana, seseorang berhenti dari sebuah kebiasaan. Karena ia mulai jatuh hati, pada yang lebih sejati. 
Ialah; Allah pemilik semesta hatinya sendiri.

~Zulfannisafirdaus

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...