Langsung ke konten utama

Tentang Perjumpaan



Oleh : Zulfannisafirdaus

Pada sebuah perjumpaan, aku menyimpulkan banyak makna darinya. Wajah-wajah baru yang kutemui selalu membawa keunikan masing-masing. Tawa setiap orang bahkan punya kerenyahan berbeda. Setiap perjumpaan adalah proses perkenalan menarik antara satu dan lainnya. Proses menyatukan keragaman dalam satu waktu yang sama. Aku menyukainya, menyukai manisnya mengenal seseorang. Terlebih pada mereka yang semenjak hadir memberi kesan baik di dalam hati.

Hari ini, aku ingin sedikit bercerita mengenai perjumpaan dengan seorang teman baru yang kutemui beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar kemuslimahan. Sedikit menguraikan hikmah yang kudapati selepas mengenali dari dekat seseorang yang kukagumi dalam diam. 

Panggil saja seseorang itu dengan sebutan 'akhwat tangguh'. Seseorang yang sejak setahun belakangan mencuri perhatianku agak kelewatan. Satu dari sekian akhwat yang membuatku gemetaran jika jumpa. Meskipun hanya dalam jarak jauh. Lucu memang aku tuh, aku sendiri juga suka heran sama kebiasaan aneh ini. Bagaimana tidak? kagumnya sama akhwat gitu ya.

Mungkin ini yang namanya rasa suka yang Allah hadirkan untuk sesama saudara muslimah. Aku juga sering mendengar cerita serupa dengan yang kualami ini dari teman-teman sekitarku. Ini bukan tentang rasa suka semacam, "kelainan sesama jenis" begitu ya. Oh bukan, tentu tidak begitu maksudnya. Perasaan suka ini lebih kepada kekaguman terhadap sifat/kepribadian dari si akhwat tangguh ini, bukan sama sekali perihal fisik.

Kenapa? Kok bisa segitu kagumnya sama seorang akhwat?

Nah, jadi begini. Kurasa setiap diri kita punya tipe muslimah ideal masing-masing, bukan? Sosok-sosok yang terbayang di benak kita pertama kali sebagai role model paling ideal pastinya ialah; muslimah-muslimah luar biasa dari zaman kenabian, baik sebelum maupun ketika zaman Rasullullah. Muslimah-muslimah mulia yang namanya dikenang sepanjang sejarah dunia, pun dikenal sampai ke syurga hingga membuat para bidadari syurga cemburu.

Muslimah-muslimah luar biasa itu, seperti; Ibunda Asiah binti Muzahim, muslimah yang keteguhannya mempertahankan keyakinan pada agama Allah tak tergoyahkan, meskipun hidup beliau senantiasa dibayang-bayangi oleh Fir'aun laknatullah. Lalu, Ibunda Maryam binti Imran, seorang wanita yang pandai menjaga kesuciannya. Lalu, Ibunda Khadijah binti Khuwailid, istri pertama baginda Rasullullah SAW yang merupakan sosok wanita cerdas, setia, tangguh dan definisi wanita sukses dunia akhirat pantas dilabelkan kepadanya. Lalu, Ibunda Fatimah binti Muhammad, putri Rasulullah yang terlahir dari rahim Ibunda Khadijah, dibesarkan dengan didikan dari kedua orang tua mulia menjadikannya tumbuh sebagai wanita yang amat sangat taat beribadah. 

Sebagian diatas adalah beberapa contoh muslimah yang betapa sangat kita idolakan sepanjang masa, kita sanjung dan kita teladani. Juga, berharap bisa dipertemukan dalam satu naungan syurga Allah kelak. Lalu bagaimana dengan yang kumaksud si 'akhwat tangguh' ini tadi? Pastinya, tidak melebihi kecintaanku dan kekagumanku terhadap para ummul mukminin. Hanya penggambaran wanita ideal akhir zaman, yang menarik diriku agar kiranya dapat mencontoh dan meneladani kepribadiannya yang menurutku mulia sekali di zaman ini.

Mari ku lanjutkan cerita mengenai pertemuan kami pada hari itu. 

Sebelum bertemu tatap pada kesempatan itu, sebenarnya aku sudah sangat lama mengenal  sosok akhwat ini. Diam-diam menjadikannya sebagai sosok figur teladan seperti yang kukatakan sebelumnya. Beliau ini adalah seorang muslimah keren, cerdas, aktif dan sholihah menurut pandanganku. Jujur saja, sempat ingin sekali menjadi sepertinya, menikmati perjalanan hidup sebagaimana yang dia jalani saat ini. Perempuan yang secara usia tidak  berjauhan denganku, tapi MasyaAllah sudah punya rekam jejak aksi yang luar biasa. Sebuah alur hidup yang amat terstruktur rapih, betapa jauh berbeda dengan alur hidupku yang berantakan.

Keberadaanku dalam satu ruang seminar bersamanya tidak hanya sekali. Namun, kegengsian tingkat tinggi menggagalkan kesempatan agar bisa mengakrabi sosok akhwat tangguh ini lebih dalam. Aku agaknya terlalu enggan menyapa, apalagi sampai berani mengajak berkenalan. Tiba-tiba aku dengan sendirinya menciptakan sebuah 'gap' yang merentang jauh membedakan tingkatan diriku dan si akhwat tangguh ini. Seakan dilingkupi rasa khawatir tidak bisa dibersatukan dalam pertemanan karena mengira tidak adanya kesamaan diantara kami. Takut-takut bila nanti tidak nyambung jika aku diajak ngobrol biasa apalagi diajak diskusi perihal yang berat-berat.

Namun, kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti sama sekali. Entah memang karena Allah sudah merencakanan pertemanan kami di kemudian hari atau karena Allah ingin aku mengubah pemikiran yang selama ini melekat di kepalaku tentang ketidakcocokan antara kami.  Tiba-tiba dalam sebuah kesempatan Allah mengatur skenario perjumpaanku dengan si akhwat tangguh ini. Tempat duduk yang tiba-tiba bersebelahan saat sedang mengikuti seminar kemuslimahan yang sama memberi kesempatan bagiku  mengenalnya dari sebuah jarak amat dekat. Sebuah perkenalan yang pada akhirnya meruntuhkan  'gap' yang kuciptakan di antara kami selama ini.

Duhai, jumpa memang sering menjadi awal terbukanya pembatas-pembatas diri kita satu sama lain. Sejak mengawali obrolan santai yang penuh basa-basi, obrolan kami terus berlanjut. Hingga beberapa saat kemudian suasana berubah menjadi lebih nyaman. Entah mengapa secara sadar, kami mulai membuka satu per satu ruang yang selama ini menjadi agak rahasia, yang sebenarnya tidak pernah tersentuh publik. Namun, hari itu dengan gamblang kami membeberkan semua drama-drama hidup yang pernah di alami. Tentang kegagalan, aib-aib lama, kesalahan-kesalahan kecil dan besar yang pernah dilakukan, kelemahan-kelemahan, juga ketakutan-ketakutan kami pada banyak hal dalam kehidupan ini. Dengan polos kami menjadi dua insan yang sedang memadukan pengalaman hidupnya penuh kejujuran.

Dari panjangnya obrolan kami, atas semua kejujuran yang dibuka olehnya. Akhirnya aku melihat dan menemukan bahwa seorang akhwat tangguh yang selama ini betapa sangat kukagumi, ternyata tetaplah seorang manusia biasa yang mustahil tanpa cela. Perjumpaan dan perkenalan ternyata sedikit merubah kondisi kami dari yang sebelumnya. Saat ketidaktahuan luruh oleh obrolan nyaman yang memanjang, lalu berakhir dengan saling mengetahui dan memaklumi satu sama lain. Bukan ajang berkeluh kesah, bukan pula bermaksud menyebar aib-aib satu sama lain, yang terjadi hari itu adalah berbagi kisah agar satu sama lain bisa mengambil hikmah dan ibroh.

Realita tidak selalu sesuai dengan ekspektasi, perjumpaan sering membuatku menyadari dengan baik hal tersebut. Sebaik mata memandang pun sebaik pemikiran kita terhadap apa-apa yang kita anggap terlalu mudah bagi orang lain. Nyatanya, dibalik itu ada sebuah kebenaran yang mampu menampar kita. Ialah; perihal tabir-tabir yang dibangun untuk menutupi diri kita yang sebenarnya dari hadapan khalayak.

Sering dalam kehidupan nyata seseorang nampak begitu mengagumkan, hanya karena banyak orang terfokus pada kelebihan yang dimilikinya saja. Namun, tidak pernah tau sisi lemah, sisi buruk pun abai terhadap kesulitan-kesulitannya. Seseorang begitu mengagumkan karena mampu tampil sebaik mungkin di depan khalayak. Pun, sejatinya karena Allah yang maha penyayang telah menutupi rahasia-rahasianya dengan amat rapat.

Aku melihat bahwa setelah saling mengenali satu sama lain, tidak banyak kisah yang berbeda antara aku dan si akhwat tangguh. Dari kisahnya kusimpulkan bahwa rata-rata manusia pernah berada pada posisi yang sama. Yaitu, pernah salah dan pernah sulit. Berbeda dengan para ummul mukminin yang dimuliakan. Setiap manusia akhir zaman macam kita ini pasti pernah mengalami fase-fase amat buruk dimasanya, kemudian tidak menutup kemungkinan bisa berubah dan bertumbuh menjadi seseorang yang baik dimasa yang lain setelahnya. Pun pasti pernah mengalami zona sulitnya masing-masing, untuk kemudian menjadi terlatih dan sukses dimasa setelahnya. Selalu ada moment terendah hidup, lalu ada sebuah gebrakan baru yang menjadi pendongkrak perubahan besar seseorang.

Bahwa; dari sebuah kegagalan, boleh jadi seseorang bertumbuh menjadi lebih bijak dalam berpikir dan mengambil langkah yang tepat. Dari sebuah kesalahan, boleh jadi seseorang belajar untuk memperbaiki keadaan. Dari sebuah kelemahan, boleh jadi seseorang akhirnya mampu menyelami arti dirinya sendiri. Dengan sebuah ketakutan dan kekhawatiran, boleh jadi seseorang menjadi mawas diri.

Perjumpaan mengajarkankanku agar memaklumi sisi lain yang tidak pernah ku ketahui dari seseorang. Mengenali sisi lain si akhwat tangguh bagai menatap cermin diriku sendiri dari masa lalu juga diriku yang sekarang ini. Bedanya, seseorang seperti si akhwat tangguh bisa melewati fase pencariannya dengan baik, tepat, dan berprogres sangat cepat. 

Seseorang pernah mengatakan ini padaku, katanya; seseorang boleh jadi mengagumkan hanya saat kita belum pernah mengenal kesehariannya dengan benar. Namun, jika sudah benar-benar mengenal, sudah mengetahui sisi-sisi lain darinya, sudah terbuka wujud aslinya, kita boleh memilih tetap mengagumi atau berhenti saja.

Tidak mudah memberhentikan kekaguman pada orang lain dengan seketika. Walaupun aku akhirnya tahu mengenai masa lalunya, kekurangan, kelemahan serta kekonyolannya. Bagiku, seseorang yang mengagumkan tidak mesti sempurna hingga menandingi malaikat. Kenyataan akan manusia yang tidak luput dari kesalahan adalah sebenar-benar kenyataan yang harus dipahami baik-baik. Seperti pada si akhwat tangguh, dia senantiansa  menjadi figur yang kuteladani dalam banyak hal. Darinya aku seperti mendapat tambahan energi agar dapat berdaya positif kedepan. Tidak peduli seburuk apa diri kita di masa lalu, sekecil dan selemah apa kita hari ini, yang pasti berupaya menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Allah tidak akan berujung sia-sia.

Bandung, 2019
Sumber foto : Pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menata Jejak #2: Hamil Pertama

  Tadinya, berita tentang kehamilan adalah hal yang paling kuhindari. Melihat dan mendengar cerita orang lain pun tak begitu aku hiraukan, bahkan postingan orang tentang anak kecil nan imut saja aku skip seolah tak tertarik untuk mengamati. Bukan tidak suka, hanya saja aku menghindar karena khawatir ada sejumput rasa iri di hati yang berujung menjadi ain yang tidak terniatkan. Sungguh tak pantas bukan, jika kebahagiaan orang lain mesti rusak karena ku. Aku berada di fase pasrah, semacam yaa sudahlah mau kapanpun Allah kasih rezeki buah hati aku santai saja tak begitu menanti tak juga hilang keinginan memiliki. Sekedar menikmati saja, aku tak lagi begitu menggebu seperti yang lalu. Beberapa tespack yang menunjukkan hasil negatif ku simpan sebagai kenang-kenangan bahwa aku pernah sebegitu menanti, hingga sekedar lelah menghinggapi saja membuatku berasumsi tengah berbadan dua hingga bersegera membeli alat pendeteksi kehamilan tersebut. Entah apa yang terjadi pada diri, bagaimana pula...

Jejak Luka #17: Tuntutan Hamil di Usia Satu Tahun Pernikahan

  Terimakasih sudah berjuang... Iya, terimakasih kusampaikan pada diriku yang telah banyak melewati asam dan pahit kehidupan dewasa ini. Melewati satu demi satu hari tersulit sepanjang hidup, menemui beragam peristiwa terpedih dan menjadi penyabar yang berakhir mampu memaklumi segala. Tentu, tidak menyangka aku bisa bertahan, andai saja meniti lagi sedetail mungkin apa-apa yang terjadi belakangan. Boleh jadi, semestinya aku sudah gila. Namun ternyata aku masih mampu berada di titik baik-baik saja begini, sungguh ajaib bukan? Usia pernikahanku baru saja menginjak setahun dua bulan. Masih terlalu belia untuk mendapati banyaknya suara bising mempertanyakan kemampuanku untuk beroleh keturunan. Entah dari mereka yang asing pun dari yang paling dekat. Tidakkah ini terbilang berlebihan? Sering aku bertanya dalam keheningan diri, mengapa demikian tega menyentilku dengan dalih sebagai bentuk perhatian. Apalagi yang terlampau berisik itu justru sesama perempuan, bahkan seorang dengan berlabe...

Menata Jejak #1: Adaptasi Lingkungan Baru

Bandung dan serentetan cerita dibaliknya adalah bagian dari hidup yang tak akan mungkin terlupa dari ingatan. Seluruh jejak yang terekam masih basah, seperti baru kemarin saja terjadi. Iya, seperempat perjalanan menjadi dewasa pernah dihabiskan di kota kembang itu. Dimana pernah kata pulang hanya menjadi angan-angan, tidak terlintas akan kembali ke tanah tempat dibesarkan untuk waktu yang agak panjang apalagi sampai boleh menetap. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak, hingga bagaimana aku bisa berada disini kemudian akhirnya merindukan hawa Bandung dan setiap sudut yang menyimpan kenangan. Tak kusangka, rumah kini bak lingkungan baru yang meminta agar mampu menyesuaikan diri. Kini alamat di kartu tanda penduduk telah berubah lagi, aku kembali resmi sebagai penduduk Desa Campang Tiga Ulu dan bahkan telah berstatus menikah.  Menjalani kehidupan rumah tangga di sebuah desa, kala sebelumnya kami berdua dibuat nyaman oleh kemudahan beraktifitas di kota. Keberadaan gofood atau driv...